> Catatan Dari Masa Kecil: Aha! Si Kuncung
> Oleh: Mula Harahap
>
> Tadi siang, saya mendapat kiriman majalah-majalah dan buku-buku lama dari
Medan. Majalah dan buku tersebut sebenarnya adalah milik saya, hampir 40
tahun yang lalu. Rupanya, ketika sedang membongkar-bongkar gudang, adik saya
yang kini menempati rumah ibu dan ayah, menemukan kembali barang-barang
tersebut dan mengirimkannya kepada saya.
>
> Di antara buku-buku terbitan Balai Pustaka, Pradnya Paramita dan
Nusantara--Bukit Tinggi itu, terselip pula majalah anak-anak SiKuncung. Mata
saya berkaca-kaca dan tangan saya gemetar ketika  mengangkat dan mencium
majalah tua tersebut. Kiriman dari Medan itu adalah "kapsul waktu" yang
membawa kenangan saya kembali ke masa-masa 40 tahun yang lalu.
>
> Rasanya, tidak ada hari yang lebih mendebarkan, daripada hari ketika Ayah
pulang dari kantor membawa bungkusan Si Kuncung yang digulung padat dan
dikirim lewat pos dari Jakarta. Saya masih ingat, bagaimana  ketika jam
"keluar-main" sekolah, saya menyelinap ke kantor pos dan mengirim wesel
untuk berlangganan Si Kuncung. Untuk seorang anak SD, 40 tahun yang
lalu,mengisi blangko pos wesel dan menyerahkan uang  tabungan sendiri
sungguh adalah suatu upacara yang besar.... .
>
> Waktu itu, Si Kuncung masih terbit sebulan sekali. Ia belum dipasarkan
secara langsung ke sekolah-sekolah, dan di seantero Medan tidak ada toko
buku yang menjual majalah seperti itu!
>
> Tentu saja dalam waktu satu jam, majalah bulanan yang terbit 16 halaman
itu, segera habis saya lahap. (Dan sampai sekarang saya masih bisa
membayangkan rasa "haus" yang terjadi, ketika majalah itu selesai
dibaca....).
>
> Ketika saya meneliti kembali cerita-cerita yang ada di dalamnya, sekarang,
maka menurut penilaian saya ceritanya "biasa-biasa" saja. Ia lebih banyak
merupakan sketsa dari kehidupan anak-anak di berbagai wilayah Indonesia.
Tapi waktu itu, ia bisa begitu menggetarkan.
>
> Tiga bulan lalu, saya bermobil dari Surabaya ke Yogyakarta, melalui
Madiun. Dan sore hari, ketika melintasi perkebunan tebu di kiri-kanan jalan,
tiba-tiba saya dihinggapi oleh perasaan seperti pernah berada di daerah
tersebut. Ternyata saya telah dipukau oleh tulisan-tulisan Trim Suteja dan
Sujono HR, yang saya baca 40 tahun lalu. Begitu pula, ketika melintas dari
Surabaya ke Situbondo, sepanjang jalan, yang muncul dalam benak saya
hanyalah fragmen dan tokoh dari cerita-cerita Soekanto SA). Orang Madura
yang saya kenal dalam cerita bersambung "Si Mulus Opelet Tua" karangan
Soekanto SA atau orang Flores yang saya kenal dalam "Berburu Ikan Paus"
karangan Ris Therik (atau Yan Armerun?) jauh dari stereotype orang Madura
atau orang Flores yang dibangun oleh para provokator dan yang menjadi sumber
pertikaian etnis dewasa ini...
>
> Dengan berbaring di tempat tidur sepulang dari sekolah, Si Kuncung dan
buku bacaan anak-anak pada zaman itu membawa saya berjalan ke mana-mana.
Saya berkenalan dengan anak Bali dalam buku "Si Reka Anak  Bali", dengan
anak Minang dalam buku "Si Jamal" atau "Pestol Si Mancil" dan--tentu
saja--dengan anak Betawi dalam Berandal-berandal Ciliwung" atau "Si Dul Anak
Betawi" (Oleh Balai Pustaka sekarang judulnya diubah menjadi "Si Dul Anak
Jakarta").
>
> Cerita-cerita Si Kuncung juga merangsang saya untuk menulis. Generasi
anak-anak seperti saya juga merasa diberkati Tuhan, karena Si Kuncung
memiliki seorang editor--Soekanto SA--yang dengan sabar dan telaten  mau
membaca tulisan "cakar-ayam" di atas kertas buku tulis dan mencari
kalau-kalau ada yang menarik untuk dimuat...(Saya masih ingat, cerpen saya
yang pertama dimuat di Si Kuncung ketika saya duduk di kelas satu SMP...dan
Soekanto SA mengirimkan honornya 200 rupiah dengan pesan pada pos wesel
"untuk membeli pisang goreng..." Pada waktu itu 200 rupiah sudah dapat
mentraktir pisang goreng untuk anak seisi kampung).
>
> Dua minggu lalu, secara tak sengaja, saya memperhatikan majalah dan buku
yang dibaca oleh anak teman saya, yang masih duduk di kelas 2 SD. Saya sudah
tidak mengerti apa yang ditulis di sana. Ada rubrik tentang penyanyi cilik,
ada latihan menyelesaikan soal-soal (Bukankah hal ini adalah sesuatu yang
harus dikerjakan di sekolah?) dan hanya ada sebuah cerpen. Cerpennya
bercerita tentang seorang anak yang tinggal di lantai sekian dari sebuah
apartemen dan belanja di "convenient store" di lantai dasar.
>
> Ketika masih SD dahulu, cita-cita saya adalah bagaimana bisa menulis di Si
Kuncung atau Kawanku dan membanggakannya kepada seluruh teman sekelas.
Cita-cita anak saya adalah bagaimana menjadi "gadis sampul", "main basket di
NBA" atau punya grup musik. (Tadi malam saya berbincang-bincang dengan kedua
anak saya mengenai idola dan pilihan hidup. Saya katakan kepada mereka, agar
jangan terlalu terpukau pada  hal-hal yang lahiriah--seperti kecantikan
wajah, keindahan tubuh atau popularitas yang didongkrak oleh publisitas.
Saya meminta mereka agar melirik juga idola-idola dalam bidang lain."Emang,
waktu seumur kami, Bapak idolanya siapa?" tanya salah seorang dari anak
saya. "Saya mengagumi Rendra, Taufiq Ismail, Iwan Simatupang dan Pramoedya
Ananta Toer...." kata saya. "Emang, orang-orang itu siapa?" Lalu saya jawab,
bahwa mereka adalah para penyair dan novelis kita. "Akh, Bapak sih kurang
gaul..." Itulah jawaban yang saya terima.
>
> Malam ini saya membaca koran dan beberapa majalah. Kembali saya
dipusingkan oleh isyu politik yang tak karu-karuan. Lalu, tiba-tiba, saya
keluarkan Si Kuncung dari tas. Kalaulah ada "mesin waktu", ingin saya
mengajak anak-anak saya kembali ikut menikmati "ecstasy" yang saya rasakan
40 tahun lalu. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Masa depan ini, negeri
yang porak-poranda ini adalah milik mereka. Biarlah mereka yang
membereskannya, dengan caranya sendiri.
>
> Catatan:
> Tulisan ini sudah pernah saya posting di sebuah milis perbukuan beberapa
tahun yang lalu, ketika saya tidak bisa tidur karena "hiruk-pikuk" krisis
negeri ini.(MH).

Kirim email ke