Republika Online
17 Juli 2006
Aksi Bajak Siswa Cerdas
iman yuniarto dari Singapura

Jumat malam (14/7) pekan lalu menjadi jamuan malam
istimewa bagi 386 jago fisika dari 83 negara.
Bertempat di ruang makan Hall of Residents kompleks
Nanyang Technological University (NTU), Singapura,
Prof Loh Nee Lam, koordinator Office of Admission NTU,
mengundang secara khusus para peserta Olimpiade Fisika
Internasional ke-37 (37th IPhO).

Sang guru besar universitas terkemuka di Singapura itu
hendak memberi wejangan. Namun, lebih dari seperempat
jam sang profesor menguraikan presentasinya, tak
satupun kalimat terucap menyebut perkembangan fisika
mutakhir. Harapan ingin mendapatkan uraian segar
fisika terkini, para peserta justru disodori formulir
pendaftaran.

Ya. Sang profesor tidaklah sedang memaparkan
perkembangan 'Grand Unified Theory', tapi malah
mengajak siswa-siswa cerdas itu untuk bergabung dengan
NTU pada tahun depan. Iming-iming beasiswa pun
ditebar.

Bangun pagi-pagi, Pangus Ho (17 tahun), mengaku
terkejut, saat didapatinya formulir pendaftaran NTU
diselipkan di bawah pintu kamarnya. Sebelumnya,
anggota tim Olimpiade Fisika Internasional ke-37 asal
Indonesia ini sempat dihampiri salah seorang profesor.
Beasiswa penuh baginya bila meneruskan studi di NTU.

Tak ada persyaratan khusus, hanya penerima beasiswa
itu harus merelakan diri bekerja minimal tiga tahun di
perusahaan milik Singapura, usai lulus. Tawaran itu
jelas menggiurkan, terutama bila melihat sulitnya
memperoleh pekerjaan di Tanah Air. Ternyata tak hanya
Pangus. Empat anggota tim 37th IPhO asal Indonesia
lainnya juga ditawari hal serupa.

Bagi NTU, para siswa berkemampuan di atas rata-rata
itu adalah aset. ''NTU tentu saja tertarik memberi
beasiswa buat siswa-siswa berbakat, terutama
peraih-peraih medali emas IPhO,'' kata Jackie Yu Woonn
Chi, asisten director Corporate Communication Office,
NTU, Ahad (16/7), kepada Republika, di sela penutupan
37th IPhO di NTU.

Demi prestise? Jackie tak menolak anggapan demikian.
Kehadiran jago-jago fisika itu, tentu bakal
mendongkrak nama fakultas mereka. Syukur-syukur kelak
mereka bisa berkontribusi untuk almamaternya. Atau,
paling tidak, berguna bagi perusahaan-perusahaan di
Singapura.

Ini bukan berita baru. Kata Jackie, persaingan berebut
siswa-siswa cerdas tak hanya terjadi antaruniversitas
Asia, tapi sudah mengglobal. Massachussets Institute
of Technology (MIT) di Amerika Serikat (AS), misalnya,
dikenal getol menawari beasiswa para peraih medali
emas IPhO.

NTU punya sejumlah program beasiswa. Salah satunya
adalah ASEAN Scholarship atau NTU Scholarship. Tak
kurang dari 4.200 dolar Singapura (Rp 25 jutaan) per
tahun digelontorkan bagi siswa cerdas. Di jurusan
Fisika NTU, salah seorang peraih medali emas IPhO asal
Indonesia adalah hasil rekrutannya. Kini, ada 25
alumnus IPhO Indonesia yang belajar di NTU.

Membajak siswa cerdas? Jackie kurang setuju dengan
pendapat itu. Toh, katanya, mereka bisa
mengaplikasikan pencapaian ilmunya untuk negara
masing-masing setelah tiga tahun bekerja di perusahaan
Singapura. ''Ini kerja sama yang bagus,'' urai dia.

Tapi sesederhana itukah? Fachrian Adi Nugraha, 22
tahun, adalah mantan tim IPhO Indonesia yang
mendapatkan beasiswa NTU. Belum genap setahun lulus,
kini peraih honourable mention IPhO ke-33 di Bali pada
2002 itu bekerja di Motorola Singapura. Sesuai
perjanjian, ia harus menghabiskan masa tiga tahun di
Motorola.

Alumnus SUMN 78 Jakarta ini menegaskan dirinya bakal
balik ke Tanah Air. ''Tapi belum tahu kapan,'' kata
Fachrian yang mengambil jurusan Teknik Elektro di NTU.
Ia merasa belum kenyang menimba ilmu di negeri Singa
Laut tersebut.

Selain faktor pengalaman, fakta uang segepok tak dapat
dimungkiri yang membuatnya betah di Singapura. Sebagai
fresh graduate, upah sekitar Rp 17 juta ia kantongi
per bulannya selaku software enginer di Motorola.
Jelas, gaji itu tak sebanding dengan posisi yang sama
bila ia bekerja di Indonesia. ''Rata-rata insinyur
yang baru lulus digaji Rp 2,5 jutaan per bulan,
kecuali kalau bekerja di perusahaan asing,'' katanya.
Karenanya, ia menunda dulu kepulangan ke Tanah Air,
selagi masih mampu meneruskan sekolahnya.

Fajar Ardian, mantan tim IPhO Indonesia tahun 2002,
juga baru lulus dari NTU. Namun, ia berencana tak
langsung menuntaskan perjanjian kerja di perusahaan
Singapura itu. Ia lebih memilih program PhD selama
empat tahun. ''Bekerja bisa ditunda dulu,'' urai
alumnus SMU Insan Cendekia Serpong, peraih medali emas
IPhO 2002 itu.

Fajar, yang menempuh jurusan Teknik Komputer di NTU,
paling sedikit masih akan berada di Singapura tujuh
tahun ke depan. Apakah akan langsung pulang? ''Kita
lihat kondisi di Indonesia dulu. Kalau kondusif, ya
pulang, Kalau tidak, ya tidak perlu. Percuma,''
katanya.

Banyaknya cerita soal orang-orang potensial yang
kembali ke Indonesia, tapi justru menjadi tak
produktif lantaran tak kondusifnya dunia kerja,
menguatkan tekadnya itu. ''Di sini fasilitas lengkap
dan kompetisi keras,'' jelasnya.

Pandangan menguatkan disampaikan Ali Sucipto, mantan
tim IPhO Indonesia 2005 di Spanyol. Menanggapi isu
'brain drain' jago-jago fisika itu, Ali yang kuliah di
jurusan Fisika NTU jalur nonbeasiswa menyatakan tak
sederhana menilai banyak hengkangnya siswa Indonesia
ke luar negeri.

Siapa pun yang pernah bekerja di luar negeri beberapa
lama, menurut hematnya, akan memiliki mind-set yang
lebih global dan visi lebih luas. ''Mereka akan
berpikir ulang, untuk apa kembali ke Indonesia yang
tidak kondusif.'' Apalagi, upahnya tak sebanding.

Tapi bagi Pangus Ho, kuliah di luar negeri bukan
'hidangan' yang menarik, meski ia ditawari kuliah
gratis di NTU tahun depan. ''Saya tidak suka suasana
belajar di Singapura. Di sini semua orang takut
kalah,'' selorohnya.

Pangus menyebutnya kiasu, istilah populer di Singapura
yang artinya persaingan amat keras. Ia khawatir,
semangat yang menjadikan setiap orang tak mau kalah
itu, membuatnya mementingkan diri sendiri alias
individualis. ''Kondisinya amat stres, tidak ada
kebebasan, tidak enak.''

Andika Putra, peraih medali emas IPhO ke-36 di
Spanyol, serupa dengan Pangus. Ia menolak
mentah-mentah tawaran beasiswa NTU. Kuliah di ITB
lebih ia pilih, setelah diterima lewat jalur Ujian
Saringan Masuk Prestasi tahun ini. ''Bukan karena ada
kontrak kerja selama tiga tahun, tapi iklim di sini
(Singapura) tidak menyenangkan. Saya dengar banyak
cerita teman-teman. Ego para siswa amat besar. Tidak
enjoy untuk kuliah,'' katanya.

Peraih medali emas IPhO ke-37, Andy Octavian Latief,
juga memilih jurusan Fisika UI melalui jalur PMDK,
meski ia telah didatangi seorang profesor di NTU. Saat
ditanya bukankah kuliah di luar negeri lebih terjamin
kualitasnya? Andy menjawab, ''Nggak juga. Sama
saja-lah.''





-----Original Message-----
From: Bunda_Salwaa [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, July 19, 2006 2:13 PM
To: balita-anda@balita-anda.com
Cc: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED];
[EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
Subject: Re: [balita-anda] OOT: TOFI indonesia.. superb!

Alhamdulillah,

Ditengah cemarutnya bangsa yang didera bencana tanpa jeda,
masih ada yg membuat mata berlinang oleh rasa bangga,
dan,
masih terselip juga harap,
bahwa masa depan kita sebagai Bangsa masih ada, selalu ada.

Smoga prestasi semacam ini selalu membantu kita utk survive berbangga diri
menjadi seorang Indonesianis sejati.
Amin

On 7/18/06, Dini Febrina <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> Berikut ini sedikit cerita yang berkesan dari hasil
>
> IPHO 2006, Singapore.
> 1. Waktu upacara pembagian medali, Dutabesar kita duduk disamping para
> dutabesar dari berbagai negara seperti filipina, thailand, dsb. Waktu
> honorable mention disebutkan, ternyata tidak ada siswa Indonesia.
> Dubes-dubes bertanya pada dubes kita (kalau diterjemahkan) "kok nggak ada
> siswa Indonesia". Dubes kita tersenyum saja. Kemudian setelah itu
dipanggil
> satu persatu peraih medali perunggu. Ada yang maju dari filipina,
thailand,
> kazakhtan dsb. Lagi-lagi dubes negara sahabat bertanya "kok nggak ada
siswa
> Indonesia?" Kembali dubes kita tersenyum.
> Dubes kita menyalami dubes yang siswanya dapat medali perunggu.
>
> Kemudian ketika medali perak disebut, muncul seorang anak kecil (masih
> SMP) dengan peci dengan mengibarkan bendera kecil, dan namanya diumumkan
> Muhammad
> Firmansyah Kasim...dari Indonesia... Saat itu dubes negara sahabat
> kelihatan bingung, mungkin mereka berpikir "nggak salah nih...".
> Ketika mereka sadar, mereka langsung mengucapkan selamat pada dubes kita.
> Tidak lama kemudian dipanggil mereka yang dapat medali emas. Saat itu
> dubes negara sahabat kaget luar biasa, 4 anak Indonesia maju ke panggung
> berpeci hitam dengan
> jas hitam, gagah sekali. Satu persatu maju sambil mengibar-ngibarkan
> bendera merah putih . Mengesankan dan mengharukan. Semua dubes langsung
> mengucapkan selamat pada dubes kita sambil berkata bahwa Indonesia hebat.
>
> Tidak stop sampai disitu. ketika diumumkan "the champion of the
> International physics olympiade XXXVII is......."
>
> "Jonathan Pradhana Mailoa". Semua orang Indonesia bersorak. Bulu kuduk
> merinding.... Semua orang mulai berdiri, tepuk tangan menggema cukup
lama...
> Standing Ovation....Hampir semua orang Indonesia yang hadir dalam upacara
> itu tidak kuasa menahan air mata turun. Air mata kebahagiaan, air mata
> keharuan.... Air mata kebanggaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang
> besar.....Segala rasa capai dan lelah langsung hilang seketika... sangat
> mengharukan....
>
-del



--------------------------------------------------------------------------
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
unsubscribe dari milis, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke