Ngomong-omong masalah bius memang harus agak hati-hati,
kejadian ini dialami oleh istri saya sendiri saat 3 bln yang lalu 
harus operasi gigi, dilakukan pembaalan sekitar lidah, entah
kenapa namun sampai saat ini lidahnya masih tidak berfungsi
alias kehilangan indra perasanya.

Kata dokter gigi ybs, katanya ditunggu hingga 1 bulan, namun
sampai saat ini hingga telah lebih dari 3 bulan koq masih juga
kebal terhadap rasa.

demikian, sekedar sharing kisah nyata

Salam

Rasdi
  ----- Original Message ----- 
  From: [EMAIL PROTECTED] 
  To: balita-anda@balita-anda.com 
  Sent: Tuesday, August 01, 2006 12:50 PM
  Subject: [balita-anda] Hati Hati Dikhitan dng bius Total





  Subject
  Hati Hati Dikhitan





  > Hati Hati Dikhitan,
  > Ghaza Meninggal Usai Dikhitan
  >
  >  "PADAHAL KAMI SUDAH MILIH PAKET TERBAIK"
  >     Tampaknya khitan hanya operasi kecil biasa. Tak terduga, bocah 
  berusia
  >   sembilan tahun ini meninggal usai disunat.
  >     Sebelum libur sekolah, Jevendra Ghaza Bramasta (9) ngebet minta
  >  dikhitan.
  >  Sang ayah, Risyam Suparno (35) berjanji akan mengkhitankan Ghaza, bila
  >   siswa SDN Kembangarum, Manyaran, Semarang itu, naik kelas. Ghaza
  >  memang  naik ke kelas 4. Sang ayah pun menepati janji.
  >     "Seminggu sebelum dikhitan, Ghaza dan adiknya minta dibelikan baju
  >  muslim  baru. Rencananya, akan dikenakan untuk acara syukuran khitanan
  >  dan akikah.
  >  Sepulang dari toko busana, Ghaza dan adiknya foto bareng di studio
  >  foto,"  cerita Risyam, saat ditemui di rumahnya di Jalan Mendut Utara 
  IV,
  >  Kamis (6/7).
  >       Risyam memilih Sabtu (1/7) sebagai hari Ghaza dikhitan. Dua hari
  >   sebelumnya, Risyam bermaksud konsultasi ke dr. Muhammad Rifki di
  >  Citarum untuk konsultasi rencana khitanan. Namun, Ghaza tidak mau ikut.
  Ia
  >  lebih  memilih ke masjid dekat rumahnya untuk ikut pengajian rutin
  membaca
  >  Surat Yaasin. Risyam pun berangkat bersama istri , Meliana Umijati (35)
  dan
  >  si bungsu Rafael ke dr Rifki di daerah Citarum.
  >    Saat Risyam konsultasi, dokter menawarkan, "Mau pakai bius total atau
  >   lokal?" demikian yang ditawarkan Dr Rifki. Risyam menjawab, ia hanya
  >  ingin yang terbaik untuk anaknya. "Dr Rifki menerangkan, yang terbaik
  bius
  >   total. Begitu si anak siuman, luka habis dikhitan sudah sembuh.
  >  Biayanya Rp 1,5 juta. Saya berharap meski biayanya mahal, hasilnya
  > memuaskan."
  >    Sebelum pulang, Risyam dibekali surat pengantar dan rujukan untuk
  >  dibawa   ke RS Roemani Muhammadiyah, Semarang, tempat Ghaza dikhitan 
  pada
  >  tanggal 1 Juli 2006 pukul 07.00.
  >
  >  BERTERIAK DUA KALI
  >   Hari yang dinantikan tiba. Segala persiapan sudah matang. Keluarga di
  >   rumah sudah menyiapkan masakan nasi urap dan bubur beras merah-putih
  >  untuk dibagikan ke tetangga dan teman-teman Ghaza setelah khitanan
  selesai.
  >    Ghaza pun diantarkan ayah dan ibu tirinya, Meliana, ke RS sejak pukul
  >   06.30. (Ibu kandung Ghaza sudah meninggal akibat sakit komplikasi saat
  >   Ghaza berumur 11 bulan. Setelah Ghaza berumur dua tahun, Risyam
  >  menikahi   Meliana Red.) Nenek Ghaza dari ibu kandungnya yang tinggal 
  di
  >  Purworejo juga menemani Ghaza.
  >
  >  Di RS, Risyam disambut perawat di loket pendaftaran dan langsung
  >  disuruh   menuju ke ruang operasi. Risyam dan istrinya sempat kecewa
  karena
  >  tidak diperbolehkan masuk ruang operasi. "Nak, kamu berani sendiri, 
  kan?"
  >  tanya   Risyam pada anaknya. Ghaza yang hobi nonton pertandingan sepak
  bola
  >  itu mengangguk. "Saya pesan, supaya dia membaca surat Al-Fatihah 
  berulang
  >  kali  sampai menjelang dibius," ujar Risyam seraya menjelaskan pagi itu
  > yang
  >   akan mengkhitan anaknya adalah Dr Rifki, sedangkan pembiusan dilakukan
  >  Dr  Adi SpAn.
  >
  >  Tak berapa lama berada di ruang operasi, Risyam dan istri mendengar
  >  Ghaza   berteriak dua kali memanggil mamanya. Risyam berpikir, anaknya
  > takut
  >   dibius. Meliana dan Risyam seketika sangat ingin masuk untuk
  >  mendampingi    Ghaza, tapi ditolak perawat. "Kata suster, Ghaza 
  menangis
  > karena takut dibius."
  >   Setelah itu, Ghaza tak berteriak lagi. Risyam menduga anaknya sudah
  >  kena pengarus obat bius. Sekitar satu jam kemudian, dr Rifki keluar dan
  >  mengabarkan, khitanan sudan selesai. "Dokter mengatakan, buru-buru mau
  >  ke RS Sultan Agung. Saya diingatkan agar Selasa (4/7) membawa Ghaza 
  untuk
  >  kontrol. Mendengar penuturan dokter, saya jadi lega," papar Risyam.
  >
  >  Risyam dan Meliana sempat waswas ketika Ghaza belum juga siuman.
  >  Beberapa  saat kemudian, suami-istri ini dipanggil direktur RS, Dr. 
  Shofa
  >  Chasani Sp.PD. KGH., di ruang khusus. "Anak Anda masih ada masalah.
  Hingga
  >  saat ini belum sadar. Kami masih mengupayakan." tutur Shofa pada 
  Rizyam.
  >
  >  TAK KUNJUNG SIUMAN
  >  Sampai di sini, emosi Risyam tak terbendung lagi. "Saya tidak mau tahu.
  >  Pokoknya, saya ingin anak saya sadar dan selamat. Saya kemari untuk
  >  mengkhitankan anak dan sudah memilih paket yang terbaik. Biaya berapa
  >  pun saya akan tanggung," ujarnya setengah memekik.
  >
  >  Untuk meredam emosi, Risyam dan Meliana yang syok berat diizinkan masuk
  >  ke ruang operasi untuk melihat kondisi Ghaza. Tubuh Ghaza sudah
  >  dipasangi alat medis. "Saya melihat dada anak saya dipacu oleh suster
  >  dengan tangan.
  >  Katanya agar paru-paru Ghaza bergerak lagi."
  >
  >  Risyam menahan gundah melihat putra kesayangannya terbujur dan semakin
  >  tak berdaya. Dalam kondisi seperti itu, pihak RS mengizinkan seluruh
  >  keluarga yang mengantar masuk ruang operasi. Semua kerabat syok melihat
  >  Ghaza tak kunjung siuman. Sampai pukul 11.00, kondisi Ghaza belum juga
  >  membaik.
  >  "Selanjutnya, Ghaza dibawa ke ruang ICU. Sekitar 15 menit kemudian,
  >  Ghaza meninggal," ucap Risyam penuh nada duka.
  >
  >  Duka merajam hati Risyam dan Meliana. Tangis Meliana pecah meratapi
  >  kepergian anak yang sangat disayangi. Dalam kondisi seperti itu, Risyam
  >  kembali dipanggil oleh direktur rumah sakit. Di ruangan sudah ada Dr 
  Adi
  >  dan seorang dokter anak yang namanya tidak diketahui Risyam.
  >   "Intinya mereka mengatakan anak saya sudah meninggal. Saya dijelaskan
  >  pakai bahasa medis, tapi tidak bisa masuk otak saya. Saya masih syok
  >  dan
  >  menahan emosi," ujar Risyam seraya mengatakan, jasad Ghaza dimakamkan
  >  di
  >  TPU Manyaran. "Istri saya benar-benar syok meratapi kepergian Ghaza,"
  >  imbuh Marketing Forwarding di PT Arindo Jaya Madi, Semarang ini.
  >
  >  ALERGI OBAT BIUS
  >  Tiga hari kemudian, Selasa (4/7), pihak rumah sakit datang menemui
  >  Risyam di rumah. Mereka adalah Dr Adi dan Dr Sofyan Dahlan. Keduanya
  >  didampingi Dr Bambang, tetangga Risyam. "Mereka intinya mengatakan ikut
  >  berbela sungkawa dan mengakui kesalahan serta meminta maaf."
  >
  >  Dalam pertemuan itu, Dr Adi sempat menceritakan, Ghaza meninggal karena
  >  alergi obat bius. Dr Adi juga mengatakan, salah satu organ tubuh Ghaza
  >  tidak dapat menerima obat bius sehingga mengakibatkan penghambatan
  >  pernapasan. "Alasan itu bisa saya terima, meski itu istilah kedokteran
  >  dan saya tidak tahu apa maksudnya."
  >
  >  Sehari kemudian utusan RS datang lagi. Kali ini pihak rumah sakit
  >  menyerahkan surat belasungkawa dan menyerahkan surat kematian Ghaza,
  >  berikut santunan sejumlah uang. Hari itu juga uang santunan diserahkan
  >  ke Panti Asuhan Ahmad Bisri. "Biarlah itu menjadi amal anak saya," ujar
  >  Risyam yang belakangan baru tahu, uang itu berjumlah Rp 2,5 juta.
  >  "Sampai kapan pun jumlah uang itu tak akan pernah sepadan dengan nilai
  >  nyawa Ghaza."
  >
  >  Kini, Risyam sudah mengikhlaskan kepergian anaknya yang hobi menyanyi
  >  dan menari itu. Ia berharap, kasus ini tak terjadi pada anak-anak yang
  >  lain. Ia akan lebih hati-hati bila kelak mengkhitankan Rafael. "Dia
  >  sempat berucap tak mau dikhitan. Takut salah obat seperti kakaknya.
  >  Kasihan Rafael sangat kehilangan kakaknya. Biasanya kalau malam, mereka
  >  suka bercanda. Sekarang rumah jadi sepi."
  >
  >  Meliana menambahkan, "Ya, tak ada lagi Ghaza di sisi kami. Saya
  >  menyayangi Ghaza melebihi anak sendiri. Setahu dia, sayalah ibu
  >  kandungnya."
  >
  >  Baju muslim baru urung dikenakan Ghaza saat acara akikah dan syukuran.
  >  Akan tetapi, rencana menyembelih dua ekor kambing untuk tanda
  >  berlangsungnya akikah, tetap dilaksanakan. "Semua sudah nazar dan
  >  dipersiapkan jauh-jauh hari. Nanti, kambingnya akan kami serahkan ke
  >  yatim-piatu," ucap Risyam.
  >
  >  BIUS TOTAL SUDAH BIASA
  >  Saat ditemui, humas RS Roemani Syaifulloh SKom. menjelaskan, paket bius
  >  total memang ada. Biayanya Rp 1,5 juta. "Penawaran paket bius total
  >  memang dimungkinkan karena ada anak yang takut saat dikhitan.
  >  Pelaksanaan bius lokal biasanya hanya disuntikkan pada alat kelamin
  >  anak. Jadi, orang tua atau keluarganya boleh menunggui selama anaknya
  >  dikhitan," tambahnya.
  >
  >  Kenapa orang tua tak boleh menemani anaknya di ruang operasi?
  >
  >  "Prosedurnya memang seperti itu. Di ruang bedah itu, kan menggunakan
  >  alat-alat anestesi. Jadi, tidak semua orang boleh masuk," tandas
  >  Syaifulloh seraya menyebutkan, kejadian yang menimpa Ghaza merupakan
  >  kasuistik. "Sudah banyak, kok, anak yang dikhitan di RS Roemani dengan
  >  bius total dan enggak masalah."
  >
  >  Apa tanggapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Semarang atas kasus
  >  khitanan Ghaza? Ketua IDI Cabang Semarang, Dr Suwido Magnadi SpM, yang
  >  dimintai pendapat oleh NOVA Sabtu (8/7) mengatakan, belum bisa
  >  memberikan komentar. "Saya baru akan ketemu semua pihak 15 Juli ini.
  >  Jadi saya belum bisa kasih komentar. Saya baru mendengar sekilas kasus
  >  ini," tegasnya.
  >
  >  Lantas, apakah proses khitanan boleh menggunakan bius total? Secara
  >  diplomatis Suwido mengatakan, "Semua tindakan medis, sesuai prosedur
  >  dan
  >  etika medis boleh dijalankan. Hanya ada untung dan ruginya. Soal biaya,
  >  misalnya, khitanan dengan menggunakan bius jelas biayanya lebih tinggi
  >  karena ada biaya obat bius yang cukup mahal, sewa alat bius, dan honor
  >  dokter yang membius."
  >
  >  Yang penting diketahui pasien atau keluarganya sebelum dokter melakukan
  >  tindakan. "Dokter akan selalu menjelaskan risiko dan untung-rugi
  >  penggunaan obat bius kepada keluarga/pasien. Cara menjelaskannya setiap 
  >  dokter berbeda tapi tujuan sama."
  >  Untuk kasus itu, tambah Suwido, "Kita serahkan pada Majelis Kode Etik
  >  Kedokteran (MKEK) saja. Nanti MKEK yang aka menilai kasus itu. IDI
  >  hanya
  >  memfasilitasi saja," ucapnya mengakhiri perbincangan.


  ,"



------------------------------------------------------------------------------


  This email is confidential. If you are not the addressee tell the sender 
immediately and destroy this email
  without using, sending or storing it. Emails are not secure and may suffer 
errors, viruses, delay,
  interception and amendment. Standard Chartered PLC and subsidiaries 
("SCGroup") do not accept liability for
  damage caused by this email and may monitor email traffic.




------------------------------------------------------------------------------


  --------------------------------------------------------------
  Kirim bunga, http://www.indokado.com
  Info balita: http://www.balita-anda.com
  Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
  menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke