Kamis, 05 Oktober 2006 Kosmetik Berbahan Berbahaya Ingin Cantik Malah Dapat Penyakit
Bahan berbahaya itu antara lain merkuri (Hg), hidroquinon, zat warna rhodamin B, dan merah K3. Sudah tiga hari, Linda (bukan nama sebenarnya), menggunakan cream pembersih wajah yang dia beli di sebuah pusat pertokoan. Mereknya Y, dari kemasannya dapat diketahui bahwa kosmetik itu berasal dari Cina. Cream ini dijual cukup murah, hanya sekitar Rp 4.000. Bandingkan dengan produk sejenis bermerek terkenal yang mungkin bisa mencapai di atas Rp 10 ribu. Tapi, belakangan, Linda yang berprofesi sebagai penjaga toko pakaian ini merasa ada sesuatu yang aneh di kulit wajahnya. ''Rasanya agak perih dan timbul bercak merah kayak alergi,'' kata dia. Sadar bahwa itu adalah efek dari kosmetik yang dia gunakan, Linda segera menghentikan penggunaan cream tadi. Dia pun segera pergi ke dokter kulit dan benar saja, apa yang terjadi pada wajahnya yakni akibat iritasi dari bahan kosmetik tadi. Tak sedikit kaum hawa yang punya pengalaman pahit seperti Linda. Alih-alih ingin tampil cantik, namun yang didapat justru penyakit. Dan, itu terjadi lantaran kurang cermat dalam memilih kosmetik. Memang jika ditilik lebih jauh, beragam produk kosmetik telah beredar di pasaran, baik yang lokal maupun impor, yang legal maupun ilegal. Semua bisa diperoleh dengan mudah, mulai di pertokoan papan atas, mal, pasar tradisional hingga lapak pinggir jalan. Harga juga ditawarkan bervariasi. Mau yang mahal ada, yang murah juga lebih banyak. Di satu sisi, ragam tawaran seperti ini tentu memudahkan konsumen untuk memilih sesuai selera dan kemampuan. Tapi di sisi lain, maraknya peredaran produk tadi, terutama yang ilegal, patut dicermati kualitasnya jika tak ingin bernasib seperti Linda. Bukti terbaru dipaparkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Menurut penjelasan Kepala Badan POM, Husniah Rubiana Thamrin Akib, pihaknya menemukan ada sekitar 27 merek kosmetik yang mengandung bahan yang dilarang digunakan untuk kosmetik. Bahan berbahaya itu antara lain merkuri (Hg), hidroquinon, zat warna rhodamin B, dan merah K3. Temuan tersebut adalah hasil pengawasan yang dilakukan dari tahun 2005 hingga kini. Produk-produk seperti cream pemutih, cream pembersih wajah, lipstik, lotion, make up, serta eye shadow, didapatkan dari berbagai pusat pertokoan, mal, dan toko kosmetik di sejumlah provinsi. Husniah menjelaskan bahwa adanya bahan-bahan tadi dalam sediaan kosmetik dapat membahayakan kesehatan. Oleh karenanya, berdasarkan Peraturan Menkes RI Nomor 445/Menkes/PER/V/1998 tentang bahan, zat warna, substratum, zat pengawet, dan tabir surya pada kosmetik serta Keputusan Kepala Badan POM No.HK.00.05.4.1745 tentang kosmetik, penggunaannya sudah dilarang. Lebih lanjut dicontohkan. Merkuri atau air raksa, termasuk logam berbahaya yang dalam konsentrasi kecil pun dapat bersifat racun. Pemakaian merkuri dalam krim pemutih dapat menyebabkan bintik hitam pada kulit, alergi, dan iritasi kulit. Tak hanya itu, pemakaian dalam dosis tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak permanen, ginjal, serta gangguan perkembangan janin. Hidroquinon termasuk obat keras. Bahaya pemakaiannya tanpa pengawasan dokter dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit menjadi merah dan rasa terbakar. Selain itu juga dapat mengakibatkan kelainan ginjal, kanker darah maupun kanker sel hati. Adapun bahan pewarna merah K.10 (rhodamin B) dan merah K.3 adalah zat warna sintetis. Umumnya digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil, atau tinta. Jadi bayangkan jika ini dipakai sebagai kosmetik, efek yang diakibatkan dapat berupa iritasi saluran napas serta kerusakan hati. Kebanyakan kosmetik bermasalah itu adalah yang masuk secara ilegal, terutama dari Cina dan Taiwan. ''Itu'kan barang yang kecil-kecil, jadi sangat mudah dibawa masuk, bisa pakai koper atau disusupkan pada kontainer garmen. Makanya cukup sulit mengawasi peredarannya,'' papar Husniah, Rabu (4/10) di Jakarta. Lain dengan produk yang memang diproduksi di dalam negeri. Umumnya produk resmi tersebut sudah lulus pemeriksaan dan mendapat nomor pengesahan. Sementara yang ilegal, biasanya masih berbahasa asing dan tanpa nomor registrasi apa pun. ''Tapi, tak tertutup kemungkinan, yang asli pun dipalsukan. Nomor registrasinya dibuat sendiri sehingga dapat menipu konsumen,'' ungkapnya. Dari catatannya, pada tahun 2005 setidaknya ada empat merek produk yang dipalsukan, antara lain Dove (1647 produk), Ponds (4003 produk), Pantene (lima produk), dan Biore (10 produk). Sedangkan tahun 2006, ada tiga merek dipalsukan, yakni Dove (683 produk), Ponds (3605 produk), serta Biore (10 produk). Pada produk palsu ini positif ditemukan kandungan merkuri. Oleh sebab itu, pihaknya bersama instansi terkait terus melakukan pengawasan terhadap produk-produk kosmetik itu. Apabila ditemukan ada kandungan bahan berbahaya, Badan POM tak segan memerintahkan untuk menarik produk tadi dari peredaran dan memusnahkannya. Begitu pula pengenaan sanksi hukum bagi pelaku pemalsuan. Tahun 2004 misalnya, sudah ada 97 kasus yang dilakukan proyustisia. Pun tahun 2005 sebanyak 47 kasus serta tahun 2006 sebanyak 10 kasus. Hanya saja, hal itu belum mampu menekan peredaran produk kosmetik berbahan berbahaya. ''Sebabnya adalah hukuman yang diberikan masih sangat ringan. Ada yang hanya didenda Rp 200 ribu dan hukuman percobaan tiga bulan. Jelas ini tidak menimbulkan efek jera,'' kata Husniah. Meski demikian, penanganan harus terus diupayakan. Badan POM bersama Depkes, imbuh dia, saat ini tengah mengkaji kemungkinan revisi dari Ordonansi Obat Keras tahun 1949 yang selama ini dijadikan dasar hukum pengenaan sanksi. Dengan revisi itu nantinya diharapkan, ganjaran yang diberikan terhadap pihak-pihak yang bertanggungjawab dapat menghadirkan efek jera. Semoga. yus ( ) http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=267321&kat_id=13