***********************
No virus was detected in the attachment no filename
No virus was detected in the attachment no filename

Your mail has been scanned by InterScan.
***********-***********


http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=257&Itemid=156

Aku bukan hanya Anak PKI, tapi Aku adalah juga PKI


Oleh Tri Ramidjo


Aku terduduk lesu di kursi kayu. Di depanku ada sebuah meja dan di atas meja 
itu ada cambuk yang terbuat dari ekor ikan pare dan di ujung cambuk itu diberi 
paku kecil, sehingga kalau cambuk itu dipukulkan pakunya menancap ke  tempat 
yang dipukul dan kemudian cambuk itu ditarik keras, maka tergoreslah kulit dan 
mengalirlah darah merah segar. Selain cambuk itu juga ada kabel dengan alat2nya 
untuk menyetrom yang dilakukan oleh para interogator bukan hanya dengan setrom 
battery tapi setrom listrik sungguhan. Melihat alat-alat penyiksa itu saja, 
siapa pun orangnya pasti merasa bergidik.Tiga orang interogator, seorang letnan 
RPKAD, seorang sersan dan seorang lagi kelihatannya bukan militer.



Perhatianku tertuju kepada interogator yang bukan militer ini. Pakaiannya 
berwarna kebiru-biruan. Perawakannya sedang, raut mukanya berbentuk daun sirih 
dan warna kulitnya Sawo matang.




"Do you remember me?" katanya tertuju kepadaku.




"Tidak". Jawabku.




"Jangan bohong, terus terang saja. Semuanya akan lancar dan tak perlu 
penyiksaan," katanya.


"Maaf, saya tidak kenal bapak." Kataku menegaskan.




"Bagus. Tapi kamu kenal Nyoto 'kan? Zain Nasution, Suripto, Karel Supit?" 
katanya dengan suara menghardik. Dia menyebut beberapa nama lagi yang tak bisa 
kuingat lagi.




Dia mulai menamparku dan aku tidak mengelak. Tamparan ketiga membuat kacamataku 
jatuh dan pecah sebelah. Kuambil kacamata yang jatuh dilantai tapi dia 
menginjaknya dan jadilah kacamata itu berkeping-keping.




Aku meludah keluar darah dari mulutku dan aku  berdiri tegak. Aku tidak kembali 
duduk di kursi walau berkali-kali diperintahkan. Aku berusaha berdiri mendekati 
tembok. Ketiga orang interogator itu berdiri di depanku. Interogator yang 
bermuka bentuk daun sirih itu meninjuku dengan keras. Dengan gerak refleks aku 
mengelak dan dengan begitu dia meninju tembok yang keras itu.




"Aduh!" teriaknya. "Kamu bisa karate, ya?" sergahnya.   


Tapi rupanya karena aku mengelak ditinju mereka bertiga mengerubutiku seperti 
mengkroyok maling ayam.




Aku benar-benar tak berdaya menghadapi tiga orang. Kursi kayu jati itu 
dipakainya sebagai bahan pemukul sampai remuk.




Aku tidak menghindar lagi. Aku hanya pasrah dan tidak mengelak. Hanya setiap 
pukulan yang mengarah ke kepala aku elakkan.




Akhirnya mereka meletakkan kaki meja ke kuku jempol kaki kananku. Mereka duduki 
meja itu bertiga,.
Aku tidak mengaduh sepatah kata pun. Aku hanya mengucapkan kata tauhid terus 
menerus. Laillahaillallah....Hanya kata itu yang bisa kuucapkan terus menerus.




Mukaku penuh berlumuran darah. Kuusap darah itu dengan baju putihku. Merah, 
merah darah. Aku sangat geram dan marah. Dalam hatiku bernyanyi:


"Darah Rakyat masih berjalan menderita sakit dan miskin.
Pada datangnya pembalasan Rakyat yang menjadi hakim.
Rakyat yang menjadi hakim hayo hayo bersiap sekarang.
Pasanglah di tembok dan tiang, panji-panji warna merah.
Yakni warna darah Rakyat, yakni warna darah Rakyat."


Aku tak tahu dan tak sadarkan diri kalau aku sudah berada di sel tahananku. Sel 
ini berdinding papan dan di depan dan di atas sel diberi kawat berduri.


Teman seselku membantuku bangkit.  Aku minta tolong dibawa ke kamar mandi. Aku 
mandi sepuasnya. Kusirami seluruh tubuhku dengan air. Kuminum air mentah itu 
sebanyak-banyaknya. Dan aku berdo'a semoga Allah memberiku kekuatan dan 
menyembuhkan seluruh luka-luka di tubuhku. Alhamdulillah, aku merasa segar. 
Punggungku yang dipukuli dengan kursi kayu jati itu tidak terasa jarem lagi.


Setelah kembali dari kamar mandi aku meminjam buku kecil Surat Yasin teman 
seselku. Ayat demi ayat kubaca pelan-pelan. Aku tidak pintar mengaji. Hanya 
sekedar bisa dan mengerti apa yang kubaca.Akhirnya setelah makan malam walau 
dikerubuti nyamuk, aku tidur nyenyak sampai pagi.




Hari berikutnya aku diinterogasi lagi.




"Kamu hebat, ya, Kemarin kamu pura-pura pingsan, ya. Sekarang kamu segar 
bugar." Kata interogator itu.




Aku diam saja. Tak sepatah pun kuucapkan.




"Jawab! Kamu PKI kan? Kamu anak Digul, kan? Bapakmu dedengkot  PKI."  Hardiknya.




"Di Digul kamu tinggal di kampung B, kan? Bapakmu tukang pancing dan teman 
mancingnya pak Maskun, kan?"




"Pamanmu, adik bapakmu yang menulis laporan ini. Jadi ini fakta actual. Jangan 
coba-coba membantah. Mengaku saja. Pamanmu orang besar dan kamu bisa ikut 
pamanmu," katanya.




"Sekarang  jawab, bapakmu PKI dan kamu sendiri  PKI kan? Jawab !" Hardiknya.




"Ya, betul. Ayahku memang PKI dan mendapat pengesahan dari Departemen Sosial 
R.I. Ayahku  tercatat  sebagai anggota PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) dan 
setiap bulan menerima tunjangan sosial dari pemerintah. Dan saya sendiri 
walaupun tidak diasingkan oleh Belanda ke Digul tapi karena sejak bayi abang 
mengikuti orang tua yang dibuang ke Digul  saya adalah juga PKI (Perintis 
Kemerdekaan Indonesia)." Jawabku tegas.




Bagaimana reaksi interogator mendengar jawabanku? Dapat dibayangkan. Seterom 
listrik dan alat-alat penyiksa lainnya segera beraksi. Dan di hari tuaku 
sekarang ini, baru kuketahui bahwa penyakit stroke yang tidak sembuh-sembuh ini 
juga adalah akibat siksaan 40 tahun yang lalu. Ini kuketahui ketika seorang 
tukang urut ahli bertanya kepadaku. "Apakah bapak pernah tertimpa pohon atau 
barang berat di punggung kanan? Banyak urat-urat syarafnya yang putus", katanya.


Aku tidak bisa menjawab. Hanya kukatakan mungkin aku pernah terjatuh waktu 
kecil? Dan ketika aku terdampar di Pulau Buru dari kawan-kawan tapol (tahanan 
politik), baru kuketahui nama interogator yang menginterogasiku dengan sangat 
kejam itu tidak lain adalah salah seorang anggota pimpinan pusat IPPI (Ikatan 
Pemuda Pelajar Indonesia) yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika 
pernikahannya mendapat sambutan dari ketua CCPKI D.N.Aidit, dikudang-kudang 
untuk menjadi keluarga teladan. Interogator itu tidak perlu kusembunyikan 
namanya, namanya ialah DATONG SUDIARTO

Kirim email ke