> www.rahima.or.id > > Masalah perkosaan incest bukan lagi masalah privat! > > Di sela-sela kesibukannya sebagai anggota DPRD Cirebon, redaksi Swara Rahima > berhasil melakukan wawancara dengan KH. Husein Muhammad dan meminta > komentarnya seputar Incest. Laki-laki kelahiran Cirebon, 09 Mei 1953 ini > pernah "nyantri" di Universitar Al Azhar KAIRO pada program Dirasah Khassah > dan sekarang tercatar sebagai salah satu pengasuh Pondok Pesantren Dar El > Tauhid, Cirebon. Berikut komentarnya seputar masalah incest. > > Swara Rahima (SR): Dalam kasus incest (perkawinan sedarah) sebenarnya secara > historis dapat dilihat dari kasus Habil dan Qabil dengan kawin silangnya. > Apa komentar Bapak tentang ini. > KH. Husein Muhammad (HM) : Benar. Kisah ini diceritakan dalam sejumlah > tafsir al Qur-an. Disebutkan bahwa Siti Hawa isteri Nabi Adam setiap > melahirkan selalu kembar. Pertama Qabil dan Iqlima dua tahun kemudian > melahirkan Habil dan Labuda. Al Qur-an sendiri tidak menyebutkan nama-nama > anak mereka, melainkan hanya menyebutkan dua anak nabi Adam. Begitu mereka > dewasa Adam ingin mengawinkan secara silang. Qabil dengan kembaran Habil > yaitu Labuda, sedangkan Habil dengan kembaran Qabil yang bernama Iqlima. > Qabil tidak setuju, karena Iqlima lebih cantik daripada Labuda. Kisah ini > kemudian berakhir dengan pembunuhan Qabil terhadap Habil. Saya belum tahu > persis apakah perkawinan sedarah secara silang ini kemudian berlangsung. > Taruhlah bahwa perkawinan itu berlangsung. Maka yang terjadi saat itu dalam > bayangan kita adalah karena tidak ada orang lain, kecuali mereka. Perkawinan > itu berlangsung secara silang, jadi sedikit agak jauh, yakni tidak dengan > pasangan kembarnya. Menurut definisi incest yang anda sebutkan perkawinan > itu juga disebut incest, kan? > > SR : Apa komentar bapak mengenai pendapat bahwa perkawinan sedarah tidak > boleh karena alasan konstruksi sosial (sama seperti pertanyaan kegelisahan > dari kaum heteroseksual yang menganggap bahwa homoseksualitas dianggap tidak > pantas karena konstruksi sosial telah membentuk bahwa hanya heteroseksual > yang dianggap pantas dan normal) ? > HM : Saya kira analogi ini tidak pas, karena perkawinan homoseksualitas > tidak punya tujuan lain kecuali karena alasan saling mencinta. Sementara > perkawinan heteroseksual punya tujuan lain, yaitu melahirkan keturunan. > Tetapi bahwa keduanya merupakan konstruksi sosial memang dapat dimengerti. > Saya kira hubungan-hubungan antar manusia merupakan konstruksi sosial. > Perkawinan sedarah dalam pandangan Islam dan agama-agama yang lain tidak > dapat dibenarkan atau tidak dikehendaki. Alasan atau lebih tepatnya hikmah, > yang banyak dikemukakan para ulama Islam adalah perkawinan tersebut dapat > memutuskan rahim, (qath' al arham) atau memutuskan hubungan kekeluargaan. > Memutuskan hubungan dengan orang lain saja yang tidak sedarah dilarang > agama, apalagi sedarah. Hubungan suami isteri dalam perkawinan tidak > selamanya berjalan baik-baik, tetapi sering kali terjadi bentrok, mungkin > saling membenci. Nah di sini ada kemungkinan pisah, cerai dan seterusnya. > > SR : Incest terbagi dua : secara sukarela yang berarti perkawinan sedarah > dan perkosaan incest, lalu bagaimana bapak memandang dua hal ini dilihat > dari perspektif Islam. > Saya tidak setuju dengan incest meskipun dengan sukarela, apalagi dengan > perkosaan. Seluruh pandangan mazhab fiqh Islam mengharamkan perkawinan ini. > Mereka menyamakannya dengan zina yang harus dihukum. Tetapi ada perbedaan di > antara mereka soal hukumannya. Mazhab Maliki Syafi'i, Hambali, Zhahiri, Syi' > ah Zaidi dan lain-lain menghukumnya dengan pidana hudud (hukum islam yang > sudah ditentukan bentuk dan kadarnya seperti hukum potong tangan), persis > seperti hukum bagi pezina. Sementara Abu Hanifah menghukumnya dengan pidana > ta'zir (peringatan keras atau hukuman keras). Itu untuk incest sukarela. > Incest perkosaan tentu lebih berat lagi, karena ada unsur pemaksaan dan > kekerasan. Dalam hal perkosaan, pihak perempuan yang diperkosa tidak > dihukum. Ini kesepakatan ulama. > > SR: Dari sisi kesehatan, beberapa anak dari hasil incest memang mengalami > kecacatan, akan tetapi kalaupun tidak mengalami kecacatan fisik, anak > tersebut juga akan sangat terganggu psikologisnya, bagaimana kaitan ini > dengan larangan dalam agama untuk tidak menikahi saudara semuhrim ? > HM : Ayat-ayat suci al Qur-an telah menyebutkannya dengan jelas. Kalaupun > secara psikologis hubungan itu menimbulkan masalah, tentu merupakan > penjelasan bahwa perkawinan tersebut perlu dilarang, apalagi dengan > perkosaan. Agama berfungsi menentukan arah bagi kebaikan manusia. Nabi > pernah mengatakan : "ightaribu la tadhwu", kawinilah perempuan dari keluarga > jauh supaya anak yang dilahirkannya tidak lemah. Dalam Islam dianjurkan agar > anak-anak yang sudah besar dipisahkan tempat tidurnya, baik dengan orang > tuanya sendiri maupun antara laki-laki dan perempuan. Dalam ayat al Qur-an > disebutkan agar anak-anak yang sudah besar, menjelang dewasa tidak memasuki > kamar orang tuanya pada tiga waktu : sebelum shalat fajar (subuh), waktu > istirahat siang hari dan sesudah shalat Isya. Tiga waktu ini tentu merupakan > waktu-waktu di mana orang tua biasanya beristirahat, membuka pakaiannya dan > mungkin saja berhubungan intim. Al Qur-an menyebutnya waktu-waktu "aurat". > Pada sisi lain orang tua juga harus menjaga kesucian anak-anaknya.(Q.S. al > Nur, 58-59). > > SR : Kasus incest terutama perkosaan incest sampai saat ini masih sulit > diungkap, alasan utamanya karena mengungkap kasus incest seperti membuka aib > sendiri, apa saran bapak untuk alternatif solusi yang berpihak pada korban > incest dalam hal ini ? > HM : Kesulitan membongkar kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga apalagi > incest, karena memang konstruksi sosial kita masih menempatkan persoalan > keluarga sebagai urusan privat yang tidak boleh ada intervensi pihak luar, > padahal di sana ada persoalan kemanusiaan, pelanggaran hak-hak asasi > manusia. Lagi pula banyak pandangan yang seringkali menyalahkan pihak > perempuan. Misalnya karena pakaiannya yang terbuka dan seterusnya, padahal > yang melakukan kekerasan adalah laki-laki atau orang-orang yang memiliki > kekuasaan di dalam rumah tangganya. Perempuan selalu berada dalam posisi > yang dilemahkan. Saya kira harus ada pandangan baru dalam konstruksi sosial > kita yang menempatkan perempuan sebagai makhluk Tuhan yang sederajat dengan > laki-laki. Dengan begitu pandangan kita akan melihat kepada pihak yang > melakukan kesalahan atau kekerasan atau kejahatan. > > SR : Apakah bapak setuju untuk digalakannya sex education antara lain > sebagai upaya pencegahan dini agar kasus perkosaan incest tidak semakin > merajalela ? Apa alasan bapak tentang ini ? > HM : Ya saya setuju pendidikan seks, tetapi bahasanya mungkin diganti > misalnya pendidikan reproduksi. Istilah pendidikan seks seringkali > diasosiasikan atau dimaknai secara negatif, yakni pendidikan hubungan seks, > bukannya menjelaskan tentang fungsi-fungsi alat reproduksi, apa bagusnya > menjaga alat-alat reproduksi, apa bahayanya melakukan hubungan seks dengan > perkosaan dan seterusnya. Al Qur-an sendiri selalu menyebut katagori > orang-orang mukmin yang baik adalah antara lain orang-orang yang menjaga > alat kelaminnya (Q.S. al Mukminun,1-7). > > SR : Bagaimana bapak melihat perbandingan hukum positif dengan hukum Islam > dalam memandang dan memberikan hukuman kepada pelaku perkosaan incest ? > HM : Saya melihat bahwa hukuman perkosaan dalam hukum positif masih terlalu > rendah, belum cukup maksimal untuk dapat menghentikan atau mengurangi > perbuatan itu. Saya setuju dengan hukuman yang berat, lebih berat dari > sekedar 12 tahun penjara, seperti yang ada dalam hukum positif itu. > (daandeka) > > --------------------------------------------------------------------- >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]