_____  

From: Eka Putrabagia 



IPB Tawarkan Teknologi Biopori untuk Atasi Banjir 

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=281898&kat_id=13

BOGOR -- Sebagai salah satu upaya mengatasi banjir yang melanda Jakarta
dan sekitarnya setiap tahun, Institut Pertanian Bogor (IPB)
memperkenalkan teknologi lubang serapan biopori. Teknologi ini relatif
mudah diaplikasikan mulai dari skala rumah tangga hingga skala lebih
luas. Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100
persen kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka. ''Juga bisa
digunakan di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan,''
kata dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Kamir R
Brata di Bogor, Selasa (6/2).

Prinsip dari teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke
daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah
melalui lubang resapan tersebut. ''Selama ini yang menjadi salah satu
faktor penyebab banjir adalah air hujan yang mengguyur wilayah hulu
tidak bisa diserap dengan baik karena berkurangnya pepohonan dan
banyaknya bangunan, sehingga wilayah hilir kebanjiran,'' kata dia.

Dinamakan teknologi biopori atau mulsa vertikal karena teknologi ini
mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk
membentuk pori-pori alami dalam tanah dengan bantuan sampah organik.
Sehingga, air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki. ''Cara ini di
samping membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan
menjadi solusi atas bencana banjir yang selalu melanda Jakarta,'' kata
Kamir.

Di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air, teknologi lubang serapan
biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di
areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor.
Kemudian, ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau
maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa
daun atau ranting kering serta sampah rumah tangga. Keberadaan sampah
organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap
yang nantinya akan membuat biopori.

Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan
pada ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke
hilir namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang. ''Tidak perlu
khawatir sampah organik akan meluap karena air akan begitu cepat
terserap ke dalam lubang. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari
sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik,'' ujarnya.
Penyerapan air ini juga tidak akan merusak pondasi bangunan karena air
meresap secara merata. Teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah
yang memiliki lahan terbuka. ''Saya sudah membuktikan, dengan membuat
lubang-lubang semacam ini di dekat pohon, pohon menjadi semakin subur,''
katanya.

Sementara itu, untuk kawasan persawahan di lahan miring, sebaiknya
ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air. Air justru
diserapkan ke dalam tanah dengan cara diberi serasah di dasar saluran
atau dengan membuat cekungan berisi serasah. Prinsip ini sama dengan
lubang serapan yang diisi dengan sampah organik. ''Jangan khawatir ada
tikus atau ular karena cekungan ini akan selalu tergenang air,'' kata
Kamir. Lebih lanjut ia menegaskan, aplikasi teknologi tepat guna ini
memerlukan dukungan masyarakat untuk mengubah kebiasaan mencampur sampah
organik dan anorganik. Diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas,
dari wilayah hulu hingga hilir, sehingga teknologi ini bisa dirasakan
manfaatnya untuk mengatasi banjir, kata Kamir. n ant

Kirim email ke