fyi, dari milis tetangga ----- Original Message ----- From: Rita Setyaningrum
Kita Sudah Merdeka Oleh : Zaim Uchrowi Anak perempuan dianggap orang tua sebagai aset karena bisa dijadikan walet. "Sayang kalau tidak diduitin." Sekolah Dasar belum tamat saja, menstruasi belum keluar, dalam diri anak-anak itu sudah ditanamkan nilai-nilai untuk tidak perlu takut menjadi PSK. Anak-anak itu dicekoki, "Sampai kapan kamu Nok hidup susah terus, rumah begini, cobalah menyenangkan badan, menyenangkan orang tua".' Itu sepenggal potret dari Indramayu. Sebuah wilayah di pesisir utara Jawa. Kini kabupaten itu terbilang terkaya di Jawa Barat. Mereka punya ladang minyak di Balongan. Di kancah olahraga provinsi, wilayah ini juga sudah masuk papan atas. Di tanah itu pula terdapat pesantren paling gegap gempita di dunia: Al-Zaytun. Namun, di Indramayu pula label 'daerah penyuplai pelacur' tertempel. Simak saja laporan tabloid Wanita Indonesia Agustus ini. Penulisnya, seorang berinisial 'Virgo', mencoba menggali fenomena masyarakat setempat. Ia mendapati kenyataan bahwa begitu mudah jalan menjadi 'walet' di situ. Rumah-rumah walet yang sebenarnya memang tersebar. Dengan memiliki satu rumah walet yang sudah jadi, pemiliknya telah hidup lebih dari berkecukupan. Cukuplah hidup dengan ongkang-ongkang kaki. Gantungkan nasib sepenuhnya pada lendir burung-burung walet itu. Tak ada walet sebenarnya, anak-anak perempuan pun dijadikan 'walet'. Tugas orang tua cukup menghubungi perantara. Selanjutnya, sistemlah yang bekerja. Sistem akan menilai 'potensi' si anak perempuan. Bersama yang lain, perempuan itu akan ditaksir 'nilai'-nya. Mulai dari wajah, potongan tubuh, juga 'keramahannya'. Selanjutnya, mereka akan disebar ke berbagai tujuan sesuai standar masing-masing. Jakarta, Bali, Batam, bahkan Malaysia menjadi penampung mereka. Sekolah? Cukuplah untuk sampai bisa baca-tulis. Selanjutnya adalah luru duit. Dengan itu orang tua akan mendapat kiriman uang bulanan, membangun rumah gedong, dan yang paling cepat adalah uang 'kasbon'. Anak gadis dapat diijon. Keperawanan berharga Rp 2,5 juta. Sejuta yang menjadi hasil bersih si gadis dan keluarganya. Jumlah yang setara dengan lebih dari enam bulan nonstop menjadi buruh tani. Itu pun kalau ada yang memberi pekerjaaan. Lebih hebat lagi bila menjadi gundik Chinese. Lebaran bisa pulang dengan gaya selebritis. Lengkap pula dengan mobil mewah yang mengantarkannya. Maka, orang akan bilang "bodoh" pada tetangganya yang punya anak gadis lumayan tapi tak mau "menduitin-nya. Tak sedikit pula orang tua yang mendamprat anak perempuannya yang memilih kabur menolak menjual keperawanannya. Mereka telanjur berutang buat menjadikan anaknya sebagai walet. Bila waktu membengkakkan sekaligus mengeriputkan badan, para walet itu pun pensiun setelah sempat hijrah ke tempat pelacuran murah. Mereka ganti mengandalkan anak atau kemenakan perempuannya yang masih di bawah umur menjadi walet baru yang dapat diperah duitnya. Begitu seterusnya. Begitulah hidup yang mereka pahami. Begitulah hidup yang kita semua memakluminya. Tak ada rasa bersalah. Kalau kita pejabat pemerintah, "kita telah sibuk mengurus negara dengan membuat kebijakan-kebijakan". Kalau kita ustaz, "kita tak pernah sehari pun tidak memberi nasihat". Kalau kita yang lainnya, "Oo ... ada ya yang seperti itu, kasihan ya!" Itulah satu dari bertumpuk potret buram kita setelah 58 tahun merdeka ini. 'Sementara anak perempuan menjadi walet, anak lelakinya malas bekerja, tapi sudah terbiasa hidup enak. Mereka menggantungkan hidup pada adik atau kakaknya yang menjadi walet. "Ibaratnya mereka itu didulang mangap. Bagi mereka uang sebulan hasil kerja saudara perempuannya itu habis dalam sehari". Jumat Kliwon, ramai-ramai mereka manggang ayam, kemudian minum-minum racikan hemaviton plus anggur. "Wow, istilah sininya tuh mayoran." Setelah itu mereka main walet dengan perempuan lain.'