sedih rasanya membaca artikel ini.
kapan bangsa kita sadar dan kapok menjadi bangsa yang semakin bodoh dan
dibodohi ya?.
iya, teknologi terus berkembang, segala kemudahan berhasil kita nikmati
setiap hari tanpa, atau (apalagi) dengan uang.
tapi kita sebenarnya sedang mundur dengan sangat teratur.
dan kita semua sibuk dengan urusan yang serba high tech tanpa mempedulikan
sisi kemanusiaan.
saya di cikarang setiap hari memperhatikan tanaman "beton" yang tumbuh
terus di setiap jengkal tanah dan itu berarti semakin panas dan
sumpek/sesak pernafasan ini, nafas kehidupan dan nafas yang sebenarnya.
belum 1 tahun beroperasinya hypermarket carrefour di dekat pintu tol
cikarang, malah belum bener pelayanan gaya kampungnya, di dekat pintu masuk
lippo cikarang sudah ada perataan tanah untuk ditanami beton lagi yang
bernama giant.
malah dengar-dengar masuk kedalam lagi sudah disiapkan tanaman lain bernama
hypermart.
sampai kapan kita ini berlomba-lomba untuk jadi "konsumen" yang baik?
kemarin saya hampir menangis membaca di koran republika.
salah satu pojok berita memuat acara arisan salah satu radio terkenal di
jakarta yang diadakan di bandung (atau jogja ya?), disitu dinobatkan "miss
boros" yang dengan bangganya membelanjakan Rp 33 juta dalam 1 bulan (atau 2
bulan saya lupa)....
saya salut dengan teman2 komunitas yang repot2 mau mengadakan world book
day atau kegiatan lainnya yang tidak menghasilkan uang, dimana mereka harus
tidur lesehan di lokasi, atau kurang tidur "hanya" untuk membuat anak2
indonesia melek buku dan membaca.
belum selesai staf saya membuat laporan kegiatan world book day ini, sudah
ada berita yang menyayat hati gini.
masih binun harus nulis apa lagi....mudah2an ada yg lebih peduli
wassalam
At 07:38 01/05/07 +0700, you wrote:
Robohnya Perpustakaan Hatta di Jogjakarta
Oleh Reni Nuryani
Hari ini, 26 April 2007, adalah hari ketika Perpustakaan Hatta di
Jogjakarta roboh. Tak ada memang angin puting beliung mengipas-ngipasi
daratan Jogja sebagaimana kabar-kabar sebelumnya. Bukan juga para petugas
Kamtib kota melakukan vandalisme dengan menggaruk sebuah monumen buku.
Perpustakaan Hatta roboh karena disungsep sepi yang tiada berkesudahan.
Hatta pernah bilang bahwa lawan utama di Digul adalah kesepian. Jika tak
mampu melawan kesepian itu, maka hitunglah detik-detik kematianmu.
Tapi Perpustakaan Hatta bukan di neraka Digul. Perpustakaan itu menggigil
setengah mati di tengah-tengah kota yang disekelilingnya mengacak dengan
sombong mal-mal supermewah.
Tepat di depannya pula yang jaraknya hanya sepelontaran ludah, di Gedung
Wanitatama Jl Solo, tiap tahun pesta buku digelar dan digeber. Tapi
masihkah orang yang datang dan pulang menenteng buku-buku baru atau
buku-buku obralan Jusuf Agency tahu bahwa di seberang jalan itu terdapat
tonggak-tonggak yang merinci jejak pemikiran Hatta. Sadarkah orang-orang
dalam pesta itu bahwa di sana, buku-buku itu berjibaku; bukan dengan
tangan-tangan intelektual yang haus ilmu, tapi berusaha bertahan dari
rayapan kutu dan sapuan debu langit-langit tripleks gedung yang terjuntai.
Pada Juli 2006 silam, setuturan salah satu petugas, Pak Tulus,
Perpustakaan Hatta akan diakuisisi UGM. Semua isinya dipindahkan di UPT
lantai dua. Namun rencana itu tak kunjung dilakukan. Baru sesiang yang
redup itu, semua buku tonggak itu diangkut. Melihat proses pemindahan itu,
bagi mereka pernah menjadi pembaca di perpustakaan itu, akan miris.
Bayangkanlah seperti para perempuan malam digaruk, dikejar, dicengkeram,
lalu tubuhnya dilempar ke atas truk.
Bagi Hatta buku adalah "perempuan" dan sekaligus menjadi "istri
pertamanya" selain Bu Rahmi. Dan perempuan yang membebaskan pikirannya
selama menjalani hari-hari neraka di Digul itu, hari ini, diperlakukan
dengan tak terhormat. Raga buku itu dibanting dan dilempar ke dalam mobil
dengan mental seorang kuli memperlakukan karung-karung beras impor.
Majalah-majalah seperti Sarinah dan bundelan-bundelan macam-macam majalah
berserak-serakan. Saya kemudian berjalan masuk ke dalam mengitari ruangan
tempat saya biasanya baca dan duduk sendiri. Tepat di depan foto Hatta
yang ada di ruang tengah saya benar-benar terpaku. Foto itu seolah meliuk
perlahan, mengangkat bahu yang rentan dan menggeser tubuh rentanya. Ia
seperti gumun dan menggumamkan sedih melihat buku-buku penggembleng
kecerdasan itu terantuk oleh tangan-tangan keras.
Cara Hatta mencintai buku bukanlah mitos dari sebuah gadangan nama yang
besar. Buku adalah monumen pikiran manusia dan dengan buku
manusia menjadi waras dan tahu sejarah pertumbuhannya dalam buana yang
sempit ini. Dengan tahu sejarah, manusia akan tahu diri dan
berendah hati di hadapan mahkamah kehidupan.
Maka jangankan dibuang, dibanting, dan dilempar, dilipat saja kertas
bukunya, Hatta bisa meradang dan tak bisa tidur.
Sudut mata dari foto tua itu menggeletar dengan tangan kiri yang bergetar
memegangi sebuah buku yang terbuka. Jika Hatta bisa bicara, mungkin ia
menghardik parau: "Kejamnya negara yang kubangun ini, vandalnya
manusia-manusia di dalamnya yang tak terbiasa hidup dalam pelukan ibu-ibu
pengetahuan. Sungguh mereka tak bisa menghargai sejarah bangsanya."
Kemudian saya berjalan dan menghampiri Pak Fauzi, sang kepala jaga. Saya
bertanya, kapan pertama-tama perpustakaan ini berdiri. Kata Pak Fauzi
Perpus Hatta sudah berdiri sejak tahun 1950-an di Malioboro. Saya
merinding juga. Sudah tua betul prasasti Hatta ini. Dalam sejarah,
kebetulan saya mahasiswa sejarah, tua bukanlah kerapuhan dan karena itu
mesti enyah mesti musnah. Ketuaan adalah monumen. Ia adalah rumah pulang
ingatan ketika tiap hari kita disesaki luapan informasi yang datang
menyerbu setiap harinya.
Mestinya Perpustakaan Hatta bisa menjadi wisata pengetahuan, sekaligus
merefleksikan kembali bagaimana pergumulan Hatta dengan buku. Tapi siapa
mau peduli. Kata Pak Fauzi, kondisinya memprihatinkan seperti ini karena
memang tak ada yang mau mendonasi. Statusnya juga sebagai "perpustakaan
swasta" sudah menjurus pada jauhnya uluran tangan pemerintah. "Sejak Orde
Baru memang sama sekali tak terurus dengan alasan Bung Hatta menolak
terima bantuan dari Soeharto. Ya alasannya beda pahamlah."
Dan inilah berita ketika sebuah perpustakaan terasing(kan) dari
pembacanya. Perpustakaan Hatta adalah kesempurnaan kisah bagaimana rumah
para buku berteduh dilamun sangsai. Bahkan Meutia-yang kini sudah jadi
menteri-dan dua saudaranya, Halida dan Gemala, juga tak banyak membantu.
Kalaupun membantu-sedikit sekali dan tak mengubah apa pun.
Berjalan tanpa navigasi dan donasi, Pak Fauzi pun limbung untuk menggaji
karyawan perpustakaan ini. Ia juga heran kenapa Pemda Jogja tak prihatin
dan tak pernah memberi santunan sama sekali. Yang lebih menyedihkan
lagi... ternyata tanah di mana perpustakaan ini berdiri, tiada lain milik
UGM. Bahkan dalam hidupnya yang sudah setengah abad itu pun, ia hanya
numpang di lahan orang. Betapa antiklimaksnya kisah perpustakaan historik ini.
Dan setelah perpustakaan ini disingkirkan, entah diperuntukkan untuk apa
tanah itu. Semoga saja bukan untuk mall. Kalau itu terjadi lengkaplah
nestapa Hatta. Ia dengan berdarah-darah membangun konsepsi ekonomi
Indonesia dengan menulis buku-buku babon ekonomi; dan justru ekonomi pula
yang mengalahkan dan menghancurkan buku-buku warisannya.
Boleh jadi buku-buku Hatta itu akan terawat dengan baik di Perpustakaan
UGM, yang kabarnya sih akan diberi rak khusus yang diberi nama Hatta
Collection. Namun kisah tentang pemindahan itu menandai bahwa begitu
rapuhnya kita ini menjaga monumen-monumen ingatan tentang Hatta. Urusannya
memang tiadanya perawatan atas buku-buku lawas Hatta itu. Ujung urusan
juga pada akhirnya ketiadaan uang. Susah untuk mengandai-andai, mana yang
duluan: uang atau kreativitas mengelola perpustakaan. Sebab nyaris semua
orang juga tahu, bahwa jika tak ada sepotong nama Hatta di bangunan yang
berdiri di atas tanah yang jembar itu, bangunan itu sangat representatif
untuk syuting film-film horor saking wingitnya.
Dan sekarang, bukan cuma tripleksnya yang menggelambir dari langit-langit
dan cat dindingnya yang kusam dicengkeram lumut dan rumput-rumput liar;
tapi juga nama Hatta pun ikut musnah dari Jalan Solo itu. Inilah akhir
dari pertarungan Perpustakaan Hatta melawan rasa sepi menyayat di tengah
kota yang kian gila ini.
Nasib perpustakaan ini memang hanya mengulang setepat-tepatnya ucapan
Hatta lebih dari setengah abad silam di Tanah Merah sebagaimana sudah saya
kutipkan di awal artikel ini.
(Artikel ini disunting Muhidin M Dahlan)
dikutip dari www.indonesiabuku.blogspot.com
----------
Information Security Management / EDP (IT) Dept.
MIC: 7-776-2295 FAX: 2280/1
Ibnu Qosim (Mr)
--------------------------------------------------------------
Beli tanaman hias, http://www.toekangkeboen.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]