***********************
No virus was detected in the attachment no filename
No virus was detected in the attachment no filename

Your mail has been scanned by InterScan.
***********-***********



      Curhat Ibunda Pianis "Empat Jari"
      "KARENA KAMU KEKURANGAN, TUHAN MEMBERI LEBIH"

      Membesarkan putri yang dikaruniai empat jari, bukan hal mudah bagi Woo 
Kap Sun (50). Namun, ketabahan dan kesabarannya, kini membuahkan hasil. 
Putrinya, Hee Ah Lee (21), tumbuh menjadi pianis kondang di Korea. Berikut 
penuturan Woo pada NOVA melalui penerjemah.

       (Suara lengkingan tembang My Way milik Frank Sinatra bergema di lounge 
sebuah hotel berbintang di Jakarta. Suara itu diikuti dentingan piano yang 
dimainkan Hee Ah Lee. Jari-jari pianis berusia 21 tahun tersebut dengan lincah 
menekan tuts piano. Hebatnya, Hee Ah, sapaan akrabnya, melakukannya hanya 
dengan keempat jarinya!

      Berbagai nomor dari pianis kondang seperti Chopin, Bethoven, dan Mozart 
telah dikuasainya. Pianis yang telah diangkat sebagai warga kehormatan Korea 
ini telah mengeluarkan satu album bertitel Hee Ah, A Pianist with Four Finger.

      Dia juga pernah pentas bersama pianis kondang Richard Clayderman di 
Gedung Putih, Washington. Sabtu [31/3], Hee Ah menggelar konser di Jakarta 
dengan tema Sharing the Strength of Love, yang merupakan rangkaian turnya 
keliling Asia.)

      Memiliki seorang anak adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupku. 
Hari itu, 9 Juli 1985 di Seoul (Korea), aku melahirkan seorang bayi perempuan 
yang cantik. Cantik bagiku tetapi tidak bagi keluargaku. Bayiku terlahir cacat. 
Dia hanya mempunyai empat jari tangan yang dalam istilah kedokteran disebut 
lobster claw syndrome dan kedua kakinya hanya sebatas lutut. Tak hanya itu, dia 
juga mengalami keterbelakangan mental.

      Saat dia masih dalam kandungan, aku sudah tahu anakku akan terlahir 
cacat. Mungkin ini disebabkan selama mengandung aku banyak minum obat. Saat 
itu, keluarga besar melarang aku melahirkan anak itu. Aku tidak bisa. Bagaimana 
pun juga, ini anakku. Darah dagingku sendiri dan tidak mungkin aku gugurkan.

      Aku pun melahirkan anak ini tanpa adanya dukungan dari keluarga. Saat 
anak ini lahir pun, keluarga menganggapnya suatu aib dan memintaku agar 
menyerahkan anak itu ke panti asuhan. Tetapi aku tetap mempertahankan bayi ini.

      Aku menamakan buah hatiku Hee Ah Lee. Hee berarti sukacita dan Ah adalah 
tunas pohon yang terus tumbuh. Sedangkan Lee merupakan nama keluarga. Jadi, 
harapanku, Hee Ah Lee berarti sukacita yang terus tumbuh seperti tunas pohon.

      DIDIDIK LIMA GURU
      Saat umur Hee Ah menginjak tujuh tahun, tangannya masih belum bisa 
berfungsi. Memegang pensil pun tak bisa. Aku menggunakan piano kecil kami di 
rumah untuk melatih tangan Hee Ah. Tidak mudah mengajarinya main piano. (Kaki 
Hee Ah tak bisa menginjak pedal piano. Karena itu, pedal piano ditinggikan agar 
bisa diinjak.) Apalagi, bermain piano, kan, tidak hanya asal main. Ada 
nada-nada yang harus "dihitung-hitung". Padahal, Hee Ah tak bisa berhitung 
karena menderita keterbelakangan mental.

      Aku membantu Hee Ah memindah-mindahkan tangannya dan memberi tahu 
perpindahan nada. Aku perlihatkan juga partiturnya. Saya perkenalkan nada-nada, 
do re mi….

      Hee Ah juga didampingi guru. Jou Mi Kyung merupakan guru pertamanya. 
Dialah guru yang paling berkesan bagi aku dan Hee Ah. Guru inilah yang 
mengajari Hee Ah dasar-dasar bermain piano. Jou juga memperlakukan Hee Ah 
sebagai layaknya orang yang bermain dengan 10 jari. Tak hanya itu, Jou juga 
memberi sebuah grand piano pada Hee Ah. Aku dan Hee Ah tak bisa melupakan guru 
yang satu ini.

      Guru kedua Hee Ah bernama Kim Kyung Ok. Kim yang seorang dosen di sebuah 
universitas yang mengajari nada-nada. Lalu, Han Je Hi merupakan guru ketiga Hee 
Ah. Dari Han, Hee Ah belajar bagaimana bermain piano dengan perasaan dan 
pikiran. Bermain piano bukan hanya berarti sentuhan jari saja melainkan juga 
harus dengan perasaan. Bagi orang yang mengerti permainan piano, lagu yang 
dimainkan dengan indah jika tidak dimainkan dengan perasaan, akan terdengar 
tidak indah.

      Guru keempat Hee Ah adalah Lee Sin Hyang. Saat belajar bersama Lee, Hee 
Ah sudah dikenal masyarakat. Lewat Lee, Hee Ah belajar bernyanyi. (Saat 
manggung, Hee Ah kadang tak hanya bermain piano melainkan juga bernyanyi. Tak 
jarang, dia duet dengan artis lain.)

      Guru kelimanya bernama Om Gi Hwan. Dia adalah seorang pencipta lagu dan 
hingga kini menjadi guru Hee. Ya, Hee Ah sekarang juga belajar bikin lagu. 
Berkat kelima gurunya itulah Hee Ah bisa menjadi seperti sekarang.
            SEMPAT NGAMBEK MAIN PIANO
            (Kehidupan Woo tak mudah. Selain mengurus Hee Ah, dia juga harus 
merawat suaminya yang veteran tentara Korea. Sebagian tubuh suaminya lumpuh 
karena terluka saat bertugas. Sejak berhenti dari dunia militer, suaminya 
didera penyakit yang mengharuskannya mengonsumsi berbagai obat-obatan 
penghilang rasa sakit.)

            Aku bekerja sebagai perawat di rumah sakit tempat aku melahirkan 
Hee Ah. Di siang hari, aku merawat Hee Ah dan suami. Malamnya, aku berangkat 
bersama-sama Hee Ah ke rumah sakit. Saat aku bekerja, Hee Ah main piano di 
sampingku. Kebetulan, ada piano di rumah sakit itu. Hal ini berlangsung selama 
10 tahun. Penghasilanku memang pas-pasan. Gajiku habis untuk beli obat buat 
suami dan bayar sopir. Sopir ini untuk mengajari Papa Hee Ah menyetir.

            Papa Hee Ah memang ingin bisa menyetir agar bisa mengajari 
teman-temannya yang cacat seperti dirinya. Ya, meski papa Hee Ah setengah 
lumpuh, dia tetap berusaha beraktivitas seperti orang kebanyakan. Papa Hee Ah 
jago berenang dan main tenis meja, lo. Dia bahkan pernah dapat piagam 
penghargaan. Hee Ah pun kadang ikut papanya main tenis meja.

            Belum selesai satu cobaan, cobaan lain datang. Aku ingat masa-masa 
dimana keluarga kami terkena sakit parah. Saat itu, Hee Ah berumur 14 tahun. 
Lutut Hee Ah luka dan terserang penyakit. Luka itu disebabkan Hee Ah terlalu 
sering berjalan dengan lutut. Maklum, Hee Ah yang tak punya kaki harus berjalan 
menggunakan lututnya. Hee ah masuk rumah sakit. Dia harus dioperasi.

            Saat Hee Ah sedang sakit, papanya juga sakit parah. Aku pun tak 
luput dari penyakit. Aku terkena kanker payudara. Mungkin ini akibat kecapekan 
dan stres tiada henti. Parahnya, Hee Ah mogok tak mau main piano. Aku sedih 
sekali.

            Namun, aku sadar, Hee Ah sedang dalam masa puber. Mungkin dia 
sedang banyak pikiran. Hee Ah pun harus sampai masuk rumah sakit jiwa. Tetapi 
apa kata para dokter? Mereka bilang, satu-satunya solusi adalah Hee Ah harus 
tetap main piano. Akhirnya, saya bertekad untuk mengajari Hee Ah main piano 
dari awal lagi.

            Aku berusaha mengembalikan rasa percaya diri Hee Ah. Aku berkata, 
"Kalau kamu berhenti dari sekarang, tidak ada orang yang akan memandang kamu. 
Kamu pun tidak akan percaya diri. Tenang aja, Tuhan akan membantu dan berada di 
samping kamu. Karena kekurangan jari, kamu mungkin tidak seperti orang 
kebanyakan. Tetapi karena kamu punya kekurangan, Tuhan pun pasti akan lebih 
memberi."

            Sambil bercanda, aku juga katakan padanya agar lebih fokus main 
piano. "Jangan lihat-lihat cowok. Setelah kamu benar-benar sukses, cowok mana 
pun pasti akan mengejarmu."

            Ada satu hal lagi yang mengetuk hati Hee Ah. Saat itu, di Korea 
terbit buku tentang Hee Ah, untuk anak-anak. Setelah buku itu terbit, banyak 
anak yang mengirim surat pada Hee Ah. Aku dan Hee Ah senang membaca tulisan 
anak-anak itu. Surat dari anak-anak itu menggugah semangatnya. Hee Ah mulai 
main piano lagi. (Kini jika sedang sekolah, Hee Ah berlatih minimal 6 jam 
sehari. Jika sedang libur, dia berlatih minimal 13 jam sehari.)

            TAK TAKUT "TINGGALKAN" HEE AH
            Saat karier Hee Ah mulai menanjak, kesedihan kembali melanda 
keluarga kami. Papa Hee Ah menghadap Yang Kuasa. Demi mengurus semua keperluan 
Hee Ah, aku terpaksa berhenti dari pekerjaan saya. Aku akan selalu bertekad 
membuat Hee Ah bahagia.

            Melihat Hee Ah seperti sekarang ini rasanya tak terucapkan dengan 
kata-kata. Aku benar-benar merasa bahagia dan bangga punya anak seperti Hee Ah. 
Aku lebih senang lagi karena dia bisa jadi contoh bagi anak-anak yang punya 
cacat fisik. Hee Ah ibarat biji yang menanam untuk orang lain supaya bisa 
mendidik orang seperti dia.

            Jika nanti saya sudah tidak ada, saya yakin pasti ada orang yang 
lebih sayang padanya. Kalau bisa, sebelum saya meninggal, Hee Ah telah 
menemukan pasangan yang benar-benar bisa melindungi dan mencintainya setulus 
hati agar dia bisa hidup bahagia. Sebagai pengganti Mama.

            (Rasa bangga dan bahagia tampak jelas di raut wajah Woo. Bagaimana 
tidak, berkat didikannya, Hee Ah bisa dengan mudah memegang sendok dan sumpit. 
Kini, Woo yang telah sembuh dari kanker payudara senantiasa setia menemani sang 
putri tur keliling dunia. He Ah memang telah membuktikan dirinya bisa 
berprestasi berkat ketekunannya. Ya, seperti lirik My Way yang dilantunkannya 
siang itu: I faced it all and I stood tall and I did it my way…. ) 

    


 
Thanks & Regards,
Anna Chu

Kirim email ke