Perasaan ku kalau di baca sangat jelas kenapa harus dilarang....

>>> [EMAIL PROTECTED] 09/17/03 04:02PM >>>
kurang jelas alasan dilarangnya/dipertanyakannya apa...?

(lagian si lies marcoes natsir ini cuma pemerhati kan... ;))
------------------------------
  Striving for Excellence
------------------------------
----- Original Message -----
From: "Mama Angina" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Wednesday, September 17, 2003 1:59 PM
Subject: [balita-anda] Sunat Perempuan


> Fyi..
>
> Mempertanyakan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia
>
> Oleh: Lies Marcoes Natsir
>
> AWAL Januari, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan kampanye zero
tolerance atas praktik sunat perempuan.
> Kampanye ini sangat penting mengingat lebih dari 150 juta perempuan,
terutama remaja dan anak-anak, mengalami
> penderitaan akibat praktik melukai atau memotong alat kelamin perempuan
ini. Bahkan, di beberapa negara, tak sedikit
> yang mempraktikkan infibulasi, yaitu praktik memotong klitoris serta
menjahit tepi-tepinya dengan menyisakan sedikit
> lubang untuk buang air dan haid. Dalam laporan PBB, Indonesia termasuk
negara yang masih mempraktikkan sunat perempuan.
>
> BERTEPATAN dengan kegiatan itu, Radio Hilversum Belanda mewawancarai saya.
Sebagai pemerhati isu kesehatan reproduksi
> dan pernah melakukan penelitian praktik sunat perempuan di Indonesia,
barangkali cukup alasan bagi saya untuk diwawancarai.
> Namun, saya sempat dibuat tertegun ketika ditanya sikap Indonesia yang
adem-ayem menghadapi kegiatan internasional itu
> jika memang praktik serupa ada di sini.
>
> Tulisan ini mengelaborasi praktik sunat perempuan (selanjutnya disingkat
SP) di Indonesia dan jika memang ada, mengapa
> dianggap angin lalu. Sikap itu ternyata berbeda dengan, misalnya, upaya
negara-negara Afrika.
>
> Penelitian Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada (PPK UGM)
(Muhajir Darwin dkk, 2002) tentang praktik SP
> di Madura dan Yogyakarta membuktikan, praktik SP dilakukan keluarga Jawa
di kedua wilayah itu, terlepas dari agama dan
> tingkatan sosialnya. Penelitian ini mendukung temuan sebelumnya (Anita
Rahman, PKW UI, 1997) di wilayah Jawa Barat dan
> Jakarta. Dari kajian historis, Feillard mencatat praktik ini
terdokumentasi dalam laporan Pemerintah Hindia Belanda,
> terutama di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (Feillard dan Marcoes, Female
Circumcision in Indonesia: To Islamize in Ceremony
> or Secrecy, 1998: 337-365).
>
> Hal yang membedakan antara SP di Indonesia dan Afrika adalah cara
pelaksanaannya. Di Indonesia, SP umumnya dilakukan
> sangat sederhana: melukai sebagian kecil alat kelamin bagian dalam, bahkan
kadang-kadang simbolis saja. Misalnya,
> sepotong kunyit diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak.
Namun, tak sedikit yang melakukannya dengan memakai
> pisau, gunting, dan jarum jahit.
>
> Bahkan, di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata
yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak.
> Dengan demikian, tak dapat disangkal SP di Indonesia memang dipraktikkan.
Pertanyaannya, seberapa jauh perlukaan akibat
> praktik itu secara medis dan psikologis mengganggu kesehatan perempuan.
Studi yang memadai di bidang kesehatan medis masih
> perlu dilakukan.
>
> Persoalan ideologis
>
> Yang menarik, di Indonesia praktik SP meningkat mengiringi munculnya
kecenderungan formalisasi ritual keagamaan belakangan
> ini.
> Banyak keluarga muda, yang orangtuanya sendiri tidak menerapkan SP dengan
alasan bukan kewajiban agama, kini justru
> mempraktikkan pada anak perempuan mereka dengan alasan memenuhi anjuran
agama.
>
> Mengapa praktik sunat perempuan di Indonesia tidak dianggap masalah, dan
bahkan cenderung disangkal, meskipun hampir setiap
> keluarga mempraktikkan? Jawaban secara harfiah, sunat perempuan disangkal
karena sunat dalam arti harfiah, seperti memotong
> klitoris, tidak pernah ada laporannya. Kita hampir tidak pernah mendapat
laporan tentang praktik sunat dengan tingkat
> kebrutalan tertentu, serta meninggalkan dampak negatif yang secara medis
membahayakan kesehatan perempuan. Jadi, apabila
> dibandingkan dengan apa yang terjadi di Afrika, praktik sunat di Indonesia
memang "tidak ada apa-apanya".
>
> Akan tetapi, jika dianalisis dengan pendekatan ideologis, betapapun
simbolisnya, alasan di balik praktik itu ternyata sama
> persis dengan alasan pemotongan kelamin yang terjadi di Afrika. Lebih dari
sekadar proses inisiasi menuju kedewasaan
> (Turner, 1967), atau purifikasi (Muhajir, 2002), SP dilakukan dengan
tujuan mengontrol dorongan seksual perempuan.
>
> Dasarnya anggapan kolektif bahwa kotoran yang menempel pada klitoris dapat
membuat libido seks perempuan tak terkendali.
> Argumen serupa itu jelas sangat ideologis, sebab: pertama, tidak ada bukti
medis yang membenarkan libido seks perempuan
> bisa tak terkendali lantaran tak disunat. Kedua, argumen ini didasarkan
pada adanya kecurigaan kolektif atas seksualitas
> perempuan yang bahkan sejak bayi pun telah dituduh memiliki kecenderungan
seks tak terkendali.
>
> Di titik inilah sebenarnya kita wajib menolak praktik SP dan karena itu
negara wajib mempertimbangkan kembali adem-ayemnya
> terhadap praktik sunat perempuan ini.
>
> Persoalan kedua, penolakan atas realitas sunat perempuan ini terletak pada
locus di mana praktik itu dilakukan. Praktik
> SP umumnya dilakukan di rumah dan sering kali secara diam-diam, sehingga
sulit ditengarai karena orang sering menganggap
> sebagai urusan pribadi. Ini akan terasa lebih sulit karena praktik itu
sering dilakukan atas sepengetahuan kalangan yang
> sangat terbatas, seperti ibu si anak, dukun sunat, atau bidan. Bahkan,
begitu rahasianya praktik ini sehingga ,
> banyak laki-laki sama sekali tidak tahu apakah anak perempuannya itu
disunat atau tidak.
>
> Aksi kolektif menolak SP
>
> Bagaimana aksi Indonesia menyambut kampanye PBB ini? Ada dua pendekatan
yang dapat dilakukan. Pertama, pendekatan
> konvensional, yaitu melalui pengungkapan angka. Itu berarti kita harus
mengakui praktik itu-betapapun simbolisnya-memang
> dikenal di Indonesia. Pengakuan itu memang sering kali terbentur data
karena pada dasarnya kita memang tidak punya angka
> tentang praktik itu, karena memang tidak dilaporkan.
>
> Namun, tidak adanya angka bukan berarti praktik SP tidak ada. Sebagai
analogi, barangkali kita bisa menengok bagaimana
> pemerintah Orde Baru terus menyangkal adanya praktik kekerasan negara
terhadap perempuan. Baru belakangan setelah rezim
> itu runtuh, bermunculan kasus yang membuktikan bagaimana kekerasan itu
terjadi di depan mata.
>
> Untuk kebutuhan itu harus ditemukan metodologi yang dapat menampung dan
menilai pengalaman dan perasaan perempuan.
> Metode ini diharapkan dapat mengartikulasikan rekaman ingatan kaum
perempuan, baik sebagai pelaku (misalnya ibu korban,
> dukun sunat, bidan) maupun rekaman memory of pain yang dialami korban
sendiri, misalnya perasaan takut, cemas, sakit,
> dan sebagainya.
>
> Pemenuhan kebutuhan metodologi ini sangat mendasar justru karena praktik
SP umumnya dilakukan saat masa anak-anak,
> sehingga besar kemungkinan yang tersisa adalah trauma psikologis. Lebih
dari itu, karena praktik SP dilakukan diam-diam,
> maka tingkat kecemasan dan kesakitannya menjadi sangat personal dan bahkan
cenderung bisu. Kebutuhan mencari metodologi
> yang sanggup mengungkap kebisuan ini merupakan dasar upaya mengungkap
praktik SP di Indonesia dan dampaknya terhadap
> perempuan.
>
> Pendataan juga dapat dilakukan melalui rumah sakit bersalin, bidan, bidan
desa, dan paraji (dukun beranak) atau sensus
> keluarga. Sekali lagi, betapapun simbolisnya praktik itu harus dihitung
sebagai kegiatan penyunatan justru karena
> mempertimbangkan alasan di balik praktik SP itu.
>
> Pendekatan kedua adalah mengabaikan angka. Kesakitan yang dialami satu
perempuan akibat adanya sistem keyakinan masyarakat,
> yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk penistaan terhadap perempuan
harus diterima sebagai tindakan yang berlaku umum
> terhadap semua perempuan. Ini sama halnya dengan tindakan pelarangan
penggunaan atribut keagamaan tertentu kepada satu
> orang yang dapat direspons atau diprotes seluruh penganut agama itu,
meskipun tidak semua penganut agama menggunakan
> atribut itu.
>
> Tahap berikutnya, melakukan penyadaran tentang ketiadaan manfaat SP.
Penyadaran dilakukan kepada masyarakat yang melakukan
> koersi terhadap cara berpikir perempuan sehingga mereka melakukan tindakan
SP. Penyadaran dapat dilakukan juga pada dukun
> sunat, dukun manten, paraji, bidan, dan rumah sakit yang memperoleh
keuntungan dari praktik SP. Dibutuhkan pula pengetahuan
> medis yang dapat meyakinkan publik bahwa SP sama sekali tak ada manfaatnya
dari segi kesehatan.
>
> Memang benar dalam tradisi Islam ada sejumlah kalangan yang meyakini SP
merupakan anjuran. Dasarnya, hadis yang menyatakan
> khitan bagi laki-laki adalah sunat, sementara bagi perempuan adalah
karamah (kemuliaan). Tetapi, tidak ada kejelasan itu
> merupakan sesuatu yang dianjurkan apalagi diharuskan. Mazhab tertentu
malah sama sekali tak menganjurkannya.
>
> Lies Marcoes Natsir Pemerhati isu jender dan Islam, program officer Islam
and Civil Society The Asia Foundation
>
> sumber: Harian Kompas, Senin, 24 Februari 2003
>
>
>
>
>
> --
> Best regards,
>  Mama Angina                         mailto:[EMAIL PROTECTED] 
>
>
> ---------------------------------------------------------------------
> >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ 
> >> Info balita, http://www.balita-anda.com 
> >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] 
>
>
>



---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ 
>> Info balita, http://www.balita-anda.com 
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] 
=============================================== 

The content of this message may contain the private views and opinions of the sender 
and does not constitute a formal view and/or opinion of the company unless 
specifically stated. The contents of this email and any attachments may contain 
confidential and/or proprietary information, and is intended only for the 
person/entity to whom it was originally addressed. Any dissemination, distribution or 
copying of this communication is strictly prohibited. If you have received this email 
in error please  notify the sender immediately by return e-mail and delete this 
message and any attachments from your system. 
================================================ 





---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke