Iklan Kondom Menyesatkan 

Iklan kondom yang diklaim bisa mencegah penularan HIV/AIDS ditayangkan televisi 
secara vulgar. Padahal kondom sama sekali tak bisa mencegah penularan virus 
mematikan itu. 

Sekelompok laki-laki muda mengendarai beberapa motor. Mereka terlihat seperti 
akan bersenang-senang. Salah satu dari mereka mengajak membeli antibiotik di 
sebuah apotik. Pelayan apotik lantas bertanya, "Antibiotik itu untuk apa?" 
Lelaki muda itu mejawab bersamaan, "Supaya terhindari dari HIV." Lalu, pelayan 
apotik itu mengatakan, "Yang bisa mencegah HIV bukan antibiotik tapi kondom." 
Lantas, pemuda-pemuda itu pun membelinya. 
Itulah adegan salah satu iklan kondom di televisi yang akhir-akhir ini muncul 
bebas tak kenal jam tayang. Iklan sejenis yang diperagakan oleh bintang kartun 
juga sering muncul. Di situ diperlihatkan, seorang lelaki dan perempuan membeli 
kondom di swalayan berbeda, sebelum masuk ke tempat semacam cafe, bar atau 
diskotik. Setelah bertemu, keduanya lantas duduk sambil berangkulan, lalu 
berdiri meninggalkan tempat juga sambil berangkulan. 
Yang lebih mencengangkan, ada iklan kondom yang menggambarkan ABG yang akan 
hang out alias kongkow-kongkow. ABG itu digambarkan memakai helm sebagai simbol 
keamanan dan dibumbui kata-kata, "Cewek-cewek sukanya yang aman." Kemudian, 
diikuti tampilnya merek kondom terkenal sebagai penutup adegan. 


Dari iklan-iklan itu, Pengkaji Sosial Ekonomi Islam Merza Gamal menilai, kondom 
bukan lagi menjadi alat kontrasepsi bagi program Keluarga Berencana (KB), tapi 
sebagai alat penjaga kesehatan. Yang lebih parah, lanjut Merza, iklan itu tidak 
mempersoalkan hubungan seks yang akan dilakukan itu antara pasangan resmi atau 
bukan. "Iklan itu hanya mengajak pemirsa memakai kondom jika ingin terhindar 
dari penularan HIV/AIDS," tuturnya. 
Padahal, pada era sebelum reformasi, kondom hanya dikenal sebagai salah satu 
alat kontrasepsi bagi program KB. Iklan kondom di televisi saat itu, disajikan 
dengan bahasa isyarat yang malu-malu. Dulu digambarkan, seorang suami yang 
malu-malu menagih sesuatu pada sang istri. Kini, iklan kondom digambarkan tanpa 
malu-malu lagi.


Merza juga prihatin, iklan ini secara langsung telah mensosialisasikan 
kehidupan seks bebas pada masyarakat. Apalagi, iklan-iklan itu muncul kapan 
saja, bukan pada jam tayang tengah malam. "Jika anak-anak menonton tayangan ini 
akan mudah menirunya. Orang dewasa bisa mematikan televisi jika berada di 
rumah. Tapi tidak setiap saat orang tua bisa mengontrolnya. Jika anak dilarang 
sama sekali nonton TV, apakah itu tindakan bijak?" keluhnya. 
Karenanya, pemerintah dan Komisi Penyiaran harus bertindak. Jika tidak iklan 
ini akan menjerumuskan generasi negeri ini. Apalagi, Psikiater Prof Dr dr H 
Dadang Hawari jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa kondom sama sekali tidak 
bisa mencegah penularan HIV/AIDS. Virus HIV masih bisa menembus pori-pori 
kondom. "Penelitian di AS dan Afrika membuktikan hal ini. Di AS, juga terjadi 
kegagalan program kondom untuk menanggulangi AIDS, karena pemakai kondom masih 
tertular AIDS. Akhirnya, kondom pun tak boleh dikapanyekan lagi di AS," ujarnya.


Guru Besar Psikiater UIini lantas mengutip hasil penelitian H Jafe dari Pusat 
Pengendalian Penyakit Amerika Serikat atau United State Center of Diseases 
Control (US CDC). Penelitian ini menunjukkan, kondomisasi di AS yang 
dilaksanakan sejak 1982 mengalami kegagalan. Evaluasi yang dilakukan pada 1995 
sangat mengejutkan. Ternyata, kematian akibat AIDS di AS menjadi peringkat 
pertama, menggeser penyakit jantung dan kanker. 
Kenapa bisa terjadi demikian? Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan 
Jiwa Indonesia (PDSKJI) ini merinci beberapa sebabnya. Pertama, kampanye kondom 
justru mendekatkan orang berbuat zina (sek bebas dan pelacuran), karena merasa 
aman dari bahaya penyakit kelamin termasuk AIDS. Akibatnya, frekuensi perzinaan 
bertambah. Dengan kata lain, kampanye kondom menjerumuskan orang pada 
perzinaan, sehingga resiko tertular AIDS semakin besar. 


Kedua, kondom memiliki pori-pori dan cacat mikroskopis (pinholes). Pori-pori 
kondom dalam keadaan tidak meregang sebesar 1/60 mikron, jika meregang 
pori-pori akan membesar. Kondom juga memiliki 32.000 cacat mikroskopis dan 
tingkat kebocoran 30 persen. Sementara itu, ukuran virus HIV/AIDS hanya 1/250 
mikron. Jauh lebih kecil ketimbang pori-pori kondom. Akibatnya, kondom tidak 
100 persen aman untuk mencegah AIDS dan penyakit kelamin lain. 
Tak heran, jika pakar HIV/AIDS dari Harvard AIDS Institute, Amerika Serikat, J 
Mann sejak 1995, tak lagi menganjurkan program kondomisasi. Rekomendasi ini pun 
diikuti pakar lainnya dan pemerintah AS hingga sekarang. Ironisnya, di negeri 
kita justru dikampanyekan.


Lantas, bagaimana cara mencegah penularan HIV/AIDS. Prof kelahiran Pekalongan 
64 tahun lalu ini menyarankan beberapa hal. Pertama, tidak melakukan perzinaan 
(sex bebas, perselingkuhan, pelacuran, homoseksual dan penyimpangan 
psikoseksual lain). Kedua, melakukan transfusi darah dan jarum suntik yang 
tidak tercemar HIV/AIDS. "Persoalannya, pengetahuan yang benar tentang kondom 
sengaja ditutup rapat demi tujuan tertentu," Tegasnya. 
Inilah faktanya, pengetahuan ilmiah sepertinya dicampakkan demi tujuan ekonomi 
dan penjajahan budaya. Ironis. 


Dwi Hardianto 
Laporan: Eman Mulyatman 

Keterangan: 
Naskah ini sudah dipublikasikan Majalah Sabili No 1 Th XV 26 Juli 2007. 


. 
__,_._,___ 

Kirim email ke