***********************
No virus was detected in the attachment no filename

Your mail has been scanned by InterScan.
***********-***********


SKETSA KEHIDUPAN

"Undian Harapan"

Oleh: Mula Harahap


Saya sedang berbincang-bincang dengan seorang adik
lelaki saya di kamar tidur. Di atas sebuah dipan di ruang tengah, jenazah ayah terbaring kaku, dan
orang-orang menangis di sekelilingnya.

Banyak hal yang ingin saya ketahui darinya seputar
kepergian ayah. Malam sebelumnya saya hanya menerima
telepon agar segera pulang ke Medan, karena ayah
tiba-tiba sakit keras. Tapi siangnya,  ketika saya dan
beberapa adik lainnya tiba di Bandara Polonia, seorang
namboru yang menjemput kami menangis tersedu-sedu, dan
mengatakan ayah sudah tidak ada.

Adik saya menceritakan kronologis kepergian ayah.
Katanya, mulanya ayah hanya menderita flu beberapa
hari yang lalu. Karena penyakit ini biasa dideritanya
maka tidak ada yang terlalu memperhatikannya. Dan ayah
pun rupanya tidak juga memperhatikan dirinya. Ia hanya
tergolek di ranjang, makan dan minum seadanya sambil
sesekali menelan decolgen, sampai tiba-tiba ada
seorang bere-nya yang sedang kuliah di fakultas
kedokteran dan kebetulan berkunjung ke rumah, melihat
ayah telah mengalami dehidrasi yang sangat parah. Ia
segera dilarikan ke Rumah Sakit Santa Elizabeth. Tapi
rupanya ia sudah terlambat untuk ditolong.

Setelah kami mulai tenang dan terdiam agak lama,
tiba-tiba adik saya memecah keheningan dan berkata,
"Gawat sekali tadi pagi kurasa."
"Apa yang gawat?" tanya saya.

"Waktu aku mau memakaikan jas Bapak di kamar jenazah
rumah sakit, tiba-tiba ada segepuk kertas yang jatuh
dari kantong jas itu. Kulihat ke bawah. Ternyata satu
blok Undian Harapan. Malu sekali aku. Ada banyak orang
di kamar jenazah itu. Cepat-cepat barang itu kupungut.
Kuharap mereka tak melihatnya."

"Lalu, dimana barang itu kau simpan sekarang?"

"Ada di tas sekolahku."

"Yah, sudahlah," kata saya menenangkannya. "Tak usah
kita percakapkan lagi hal itu."

Begitulah urusan tentang Undian Harapan menjadi
terlupakan. Selama dua hari berikutnya kami sibuk
dengan urusan menerima kedatangan para sanak-saudara
dan handai-taulan yang datang memberi simpati serta
mempersiapkan penguburan ayah. Lalu seminggu setelah
itu kami masih disibukkan lagi dengan acara menerima
kedatangan para sanak-saudara dan handai-taulan yang
memberi kata-kata nasihat dan penghiburan tentang
bagaimana kehidupan dilanjutkan setelah ayah tiada.

Urusan Undian Harapan baru muncul kembali ketika saya
membaca sebuah suratkabar. Di sana ada iklan yang
menyebutkan nomor-nomor pemenang untuk periode minggu
itu. Siang itu saya sedang berbaring-baring di tikar
yang masih digelar di ruang tengah. Dan kami semua
kakak-beradik juga masih ada di sekitar ibu. Belum ada
yang kembali ke kotanya masing-masing.

"Hei, Jonatan!" teriak saya memanggil adik saya.
"Tolong bawa ke sini  Undian Harapan yang kau
ceritakan itu."

Adik yang dipanggil itu masuk ke kamar, lalu tak lama
kemudian datang ke sisi saya. Kemudian seraya duduk
bersila di atas tikar kami berdua mulai membuka
lembaran undian itu dari kertas pengikatnya dan
mencocokkannya satu per satu, dan dengan sangat
hati-hati, dengan semua nomor pemenang yang tertera
pada iklan itu.

Setiap kali satu lembar undian diteliti dan nomornya
tidak sesuai dengan salah satu nomor yang ada di dalam
iklan itu, kami sama-sama berteriak, "Tidak kena!
Robek! Masih miskin!"

Melihat kesibukan kami, adik-adik yang lain yang ada
di ruangan itu pun jadi ikut mengerubung. "Apa itu?
Apa itu?" tanya mereka.

"Kata Si Jonatan, satu blok undian ini ditemukannya di
saku jas Bapak ketika ia hendak memakaikan jas itu di
kamar jenazah. Mari kita cocokkan bersama-sama. Siapa
tahu inilah warisan yang akan kita peroleh dari
Bapak," kata saya.

Kami tertawa-tawa dan menjadi seperti anak kecil.
Setiap kali satu lembaran--dari seratus lembaran yang
ada di dalam satu blok--diperiksa, semua sama-sama
berteriak, "Tidak kena! Robek! Masih miskin!"

Mendengar keriuhan kami,  ibu pun keluar dari kamar.
"Apa itu?" tanyanya. Lalu setelah ia mengetahui apa
yang sedang terjadi, ia hanya menangis lalu tersenyum.
"Akh, bapak kalian itu," katanya.
Dan begitulah interlude keluarga itu baru berhenti
setelah semua semua undian dirobek dan dibuang ke
tempat sampah karena tidak ada yang kena.  Tapi urusan
Undian Harapan ternyata tidak berhenti sampai di situ.

Beberapa hari kemudian, menjelang pulang ke Jakarta,
dengan ditemani oleh seorang adik, saya datang ke
kantor ayah. Sebagai anak paling tua, maka saya rasa
adalah tugas saya untuk mengambil barang-barang
pribadi ayah dan mempertanggung-jawabkan urusan-urusan
pribadi ayah yang mungkin masih menyangkut di  kantor.

Setelah berbicara beberapa saat dengan atasan langsung
ayah, kami dipersilakan masuk ke kamar ayah. Ayah
memiliki sebuah meja jati eks jaman Belanda yang
sangat besar. Dengan hati-hati dan penuh hikmat kami
membuka laci-laci yang ada di kiri-kanan meja itu.
Bukan main terkejutnya saya ketika melihat apa yang
ada di laci-laci meja kerja itu. Hanya ada beberapa
map tipis di sana. Selebihnya seluruh laci-laci itu
penuh dijejali tumpukan Undian Harapan.

"Wuah-wuah-wuah," kata adik saya. Dan hanya itulah
ucapan yang keluar dari mulutnya. Seorang anak buah
ayah yang bekerja di kamar itu mungkin tahu apa yang
sedang terjadi dan memahami perasaan kami. Ia bangkit
dari mejanya dan berkata, "Oom mau makan siang dulu.
Silakan saja kalian bereskan, ya?"
.
"Mau kita apakan semua undian ini?" tanya adik saya.

"Ya, kita bawa pulanglah. Nanti dibakar di rumah,"
kata saya. "Sekarang kau cari dulu dua atau tiga
kardus kosong."

Sementara adik saya pergi mencari kardus kosong, saya
duduk merenung di depan laci-laci yang menganga lebar
itu. Terbayang di mata saya bagaimana dahulu, ketika
saya masih remaja dan tinggal di Medan, saya selalu
bertengkar dengan ayah. Ayah selalu bersikap keras
dalam mengawasi pergaulan saya.

Terbayang juga di mata saya, ketika saya masih remaja,
ayah ketahuan memiliki kebiasaan berjudi. Lalu ayah
yang keras dan perfeksionis itu tiba-tiba seperti
kehilangan kewibawaannya di depan kami anak-anaknya.
Ia tiba-tiba menjadi berubah dan tidak pernah lagi
berani marah kalau kami pulang larut malam atau
merokok di kamar mandi. Tapi perubahan sikapnya itu
justeru membuat saya kasihan dan sayang kepadanya.
Tiba-tiba di telinga saya terngiang-ngiang pula
nasehat yang sering dikatakan ibu kepada saya ketika
ayah sedang mengalami krisis. "Bapakmu itu orang baik.
Dia sebenarnya ingin mempunyai cukup uang untuk
menyekolahkan kalian setinggi mungkin. Tapi dia tidak
tahu cara mencari uang. Dan dia pikir dengan mengadu
nasib lewat judi dia bisa mendapatkan cukup uang untuk
membesarkan anak-anaknya. Karena itu bantu kalian
bapak. Hiduplah dengan sangat sederhana dan belajarlah
yang keras."

Terbayang juga di mata saya ketika setahun yang lalu
ayah datang ke Jakarta. Selama satu minggu, sepulang
dari kerja, saya mengantarnya ke rumah sanak-saudara
dengan naik kendaraan umum. Ayah yang dahulu--ketika
saya masih remaja--saya anggap sebagai musuh karena
sikapnya yang terlalu keras dalam mendidik saya, kini
tiba-tiba saya anggap sebagai teman. Sebenarnya saya
merindukan kesempatan lebih banyak lagi untuk bisa
bercakap-cakap dengannya--sebagai dua sahabat--tentang
kehidupan ini. Tapi apa mau dikata? Rupanya Tuhan
memiliki rencana yang lain atas kehidupan kami.
Ketika adik saya telah kembali, blok-blok undian itu
kami susun dengan hati-hati di dalam kardus. Dan
sementara memasukkan blok-blok undian itu saya
berkali-kali menyeka sudut mata saya dengan memakai
lengan baju.

Kami pulang menumpang becak mesin dengan membawa tiga
kardus besar yang penuh berisi blok Undian Harapan. Ketika tiba di rumah, saya memanggil adik saya yang
paling kecil, dan yang masih tinggal bersama ibu di
Medan.

"Tolong kau simpan kardus-kardus ini entah dimana.
Tapi usahakan jangan dilihat Ibu. Kalau ada waktu, kau
bakar sedikit demi sedikit," kata saya kepada adik
saya.

Setelah membereskan berbagai urusan, kami kakak
beradik segera kembali ke kota masing-masing. Saya pun
kembali ke Jakarta. Urusan Undian Harapan nyaris saya
lupakan, sampai pada suatu ketika saya menerima surat
dari adik yang tinggal di Medan:

"Undian Harapan yang tiga kardus itu ternyata ketahuan
juga oleh Ibu. Tapi tak mengapalah. Kurasa itu lebih
baik. Setiap jam lima pagi, setelah bangun dari tidur,
kulihat Ibu mengambil segepuk dari lembaran undian
itu. Dibakarnya di anglo dan dipakainya merebus air.
Dia jongkok di lantai, dalam kegelapan, seraya
menunggu air mendidih. Kurasa dia sedang
mengenang-ngenang suaminya yang baik itu. Lalu setelah
air mendidih, sebagian dari air itu dipakainya untuk
membuat kopi dan sebagian lagi dipakainya untuk mandi.
Itulah yang dilakukannya setiap pagi,  selama lebih
dari sebulan ini, sampai undian itu habis. Tapi seraya
membakar sedikit demi sedikit dari undian itu, kurasa
Ibu sekaligus menumbuhkan sebuah harapan baru dalam
kehidupannya.." [.]








--------------------------------------------------------------
Beli tanaman hias, http://www.toekangkeboen.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke