Reposting ya...

---------- Forwarded message ----------
From: uci momkavin+ija <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Nov 1, 2007 12:08 PM
Subject: [balita-anda] ARTIKEL  Medikalisasi khitan pada bayi perempuan
To: balita-anda@balita-anda.com

     Tulisan seorang dokter umum ttg sunat pada perempuan..

http://tonangardyanto.blogspot.com/2006/04/medikalisasi-khitan-pada-bayi.html
       Medikalisasi khitan pada bayi perempuan
(Berikut adalah tulisan ulang dari tulisan sekitar 1 tahun lalu).

Bila  terjadi kontroversi seputar sirkumsisi pada anak/bayi
laki-laki,  nampaknya semua mudah sepakat tentang sunat pada bayi perempuan.
Pada  beberapa komunitas, dilakukan praktek sunat perempuan yang
diserupakan  dengan sirkumsisi pada laki-laki. Karena klitoris merupakan
"kembaran"  penis, maka kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang,
seperti  membuang preputium. Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya
itu  sendiri.

WHO mencatat ada 4 tipe female genital mutilation.  Tindakan "memotong kulit
di sekitar klitoris" (yang sejenis dengan  preputium pada penis) merupakan
tipe paling ringan. Sulit dibayangkan  bagaimana kondisi dari tipe-tipe yang
lebih berat.

Tindakan ini  tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau
pengirisan  kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan.
Tidak ada  indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan  di Jawa Barat
pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan  bekas-bekasnya pada
pasiennya. Kenyataannya memang ada kelompok yang  meyakini bahwa anak
perempuan pun diwajibkan menjalani khitan. Dan  praktek tersebut dilakukan
juga, bahkan di pusat-pusat pelayanan  kesehatan.

Sekitar 1 tahun lalu, Kementrian Pemberdayaan Wanita mengeluarkan seruan
untuk menghentikan medikalisasi sunat perempuan. Namun, saya memandang
seruan ini harus dikaji secara komprehensif.

Praktek  sunat pada perempuan (SP) sudah ada sejak jaman sebelum
masehi.  Penelitian anthropologi mendapatkan praktek tersebut pada mummi
mesir  yang justru ditemukan pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan
oleh  rakyat jelata. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat
untuk  mencegah masuknya roh jahat melalui vagina.

Survei  epidemiologi WHO menemukan beberapa alasan melakukan SP
seperti  identitas kesukuan, tahapan menuju wanita dewasa, pra-syarat
sebelum  menikah juga pemahaman seperti klitoris merupakan organ
kotor,  mengeluarkan sekret berbau, mencegah kesuburan atau
menimbulkan  impotensi bagi pasangannya. Banyak hal medis terkait dengan
alasan FGM  ini kemudian terbukti salah.

Sebagai  dokter saya mendapati praktek SP bukan monopoli mereka
yang  "terbelakang". Saat ini tidak sedikit keluarga muda, sarjana,
bekerja  dan hidup di perkotaan, justru bersemangat melakukannya
terhadap  anaknya, bahkan meski mereka sendiri di masa kecilnya
tidak  mengalaminya. Semangat menjalankan agama nampaknya berpengaruh
dalam  hal ini.

Menurut  berita tersebut, medikalisasi harus dilarang meskipun
filosofinya  adalah mengurangi risiko kesehatan daripada dilakukan oleh
bukan tenaga  medis. Langkah ini dianggap berbahaya karena menggunakan
peralatan  seperti pisau, jarum dan gunting.

Memang,  sekilas gambaran medikalisasi SP menakutkan
karena  penggunaan-penggunaan alat-alat seperti itu. Tetapi yang saya
ketahui  dan pernah baca di media, yang dilakukan adalah membuat perlukaan
kecil  pada daerah klitoris. Bahkan, banyak yang hanya mempraktekkan
"sunat  psikologis" dimana sekedar ditoreh sedikit dengan ujung jarum,
keluar  setetes darah, dan orang tua pasien sudah puas. Bahkan kadang,
seperti  yang juga saya lakukan selama bekerja di klinik Ibu-Anak dulu,
hanya  di"sandiwara"kan dengan meneteskan cairan antiseptik sewarna
darah,  yang sekaligus diteruskan dengan pembersihan daerah sekitar
klitoris.

Perlu  disadari, dalam hal ini kita berhadapan dengan orang tua yang
merasa  memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan tersebut terhadap
anaknya.  Ketika ini sudah berkaitan dengan soal keyakinan agama,  maka
persoalannya tidak lagi sederhana, yang berujung pada perilaku  kesehatan.
Rasanya kita semua mengerti bahwa menghadapi masalah  perilaku, tidak
sekedar soal larang-melarang.

Yang menarik, sebenarnya tuntunan agama dalam hal ini pun menyebutkan
"Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan
bagian kenikmatan suami".  Bukankah berarti menjadi cocok dengan pilihan
para petugas medis yang  hanya "menorehkan" sedikit luka tersebut? Dan
bukankah berarti praktek  yang sampai beberapa tipe tersebut sebenarnya
tidak dilandasi pemahaman  agama yang tepat?

Soal  kesehatan reproduksi wanita ditonjolkan oleh kelompok "penentang"
SP,  tetapi bagaimana dengan makin maraknya body-piercing bahkan
terhadap  alat kelamin di kalangan wanita? Kalau soal hak menentukan
pilihan  sendiri yang berikutnya ditonjolkan, bukankah sunat perempuan
pun  merupakan pilihan sendiri sesuai keyakinannya? Bagaimana juga
kalau  dipertanyakan kewajiban negara untuk melindungi kebebasan
warganya  menjalankan keyakinan agamanya sebagai bagian dari hak asasi
manusia?

WHO sendiri memang juga berpendapat tidak boleh ada praktek FGM oleh tenaga
kesehatan. Tetapi European Journal of Obstetrics and Gynecology  bulan
Oktober 2004 lalu menganalisa bahwa usaha terbaik untuk mengatasi  praktek
sunat perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif,  sesuai dengan
kultur lokal dan dari banyak sisi (multi-factes).

Wujudnya  berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam
mensikapi  praktek FGM, dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri,
bukan  atas program dari luar.

Pengalaman  di beberapa negara, pendekatan legal-formal secara direktif
justru  menimbulkan resistensi. Bisa dibayangkan kalau tenaga medis
benar-benar  dilarang "melayani" sunat perempuan, bukankah justru membuka
lebih  lebar peluang praktek secara "tradisional".

Pengalaman  di Kenya menunjukkan, justru melalui medikalisasi secara
perlahan bisa  dicapai pemahaman masyarakat yang lebih proporsional soal SP.
Sebagian  masyarakat memang tetap menganggapnya sebagai kewajiban,
tetapi  kepedulian terhadap risiko kesehatan membuat mereka lebih
berhati-hati.  Wujudnya dengan memilih tipe FGM yang berisiko minimal (tipe
paling  ringan atau sekedar sunat-psikologis), bahkan masih ditambah
meminta  injeksi anti-tetanus sebagai tindakan pencegahan.

Penggunaan  jarum, pisau atau gunting oleh tenaga medis disamping prosedur
tindakan  yang memenuhi prinsip aseptik dan anti-septik, tidak bisa dibantah
akan  meminimalkan risiko kesehatan. Bukankah ini juga yang
dikehendaki  bersama?

Yang  harus diatur, menurut penulis, justru tidak boleh ada praktek
sunat  perempuan bukan oleh tenaga yang tersertifikasi. Selanjutnya
kepada  tenaga medis diterbitkan aturan standar praktek sunat perempuan,
dengan  mengacu pada risiko minimal. Bukankah alasan ini pula yang
mendasari  sikap Depkes soal pengaturan tindakan aborsi?

Lebih  jauh lagi, para tenaga medis bisa memberikan banyak penjelasan
soal  kesehatan reproduksi, terutama bagi wanita. Para orang tua lebih
bisa  menerima penjelasan ini, karena tenaga medis tidak harus
menunjukkan  "resistensi" terhadap keinginan mereka memenuhi kewajiban sunat
bagi  anaknya.   Pengalaman  di beberapa negara, kondisi positif seperti ini
justru tidak bisa  diperoleh kalau pelayanan sunat perempuan oleh tenaga
medis di larang  pemerintah. Bahkan tidak jarang usaha penyuluhan dianggap
sebagai usaha  merusak kebudayaan lokal.

Kita sebenarnya memiliki banyak pengalaman soal pendekatan yang
culture-spesific misalnya mensikapi kebiasan footbinding  (gedhong, bedhong)
terhadap kaki bayi-bayi yang dulunya juga dilandasi  soal "kemuliaan
wanita". Secara perlahan orang tua lebih proposional  memandang kebiasaan
tersebut dengan pemahaman yang tepat.

Sementara itu, pendekatan multi-facets harus  melibatkan pihak-pihak seperti
organisasi keagamaan, mengingat  bagaimanapun itu alasan yang mendominasi
praktek sunat perempuan di  Indonesia, agar diperoleh kesamaan pandangan
agama soal sunat  perempuan. Kurikulum kesehatan reproduksi yang marak
diusulkan juga  wahana yang baik untuk mendidik pemahaman masyarakat.

Muara  dari langkah tersebut, pada akhirnya masyarakat akan mampu
membuat  keputusan sendiri soal sunat perempuan. Dalam proses menuju
kesana,  tindakan seperti melarang tenaga medis melayani sunat perempuan,
hanya  akan menjadikan batu sandungan. Alih-alih mampu menghentikan,
bukan  tidak mungkin justru menjadi bumerang.

                         tonang @ 8:51 AM                     5 komentar
                                                       5 Komentar:
         Pada 10:37 AM,          Monica menulis...
              Alhamdulillah,saya  jawab TIDAK waktu ditanya suster di RSPI
apakah saya mau sekalian  menyunat Nicolle pada saat saya minta Nicolle
ditindik...

         Pada 4:03 PM,          Anonymous menulis...
              Pak Dokter Tonang,

Saya  hanya mau mengkonfirmasi soal khitan pada perempuan ini. Memang
di  beberapa budaya seperti afrika .. khitan pada perempuan
dilakukan  dengan memotong klitoris. Tapi setau saya yang dilakukan di
Indonesia  (dan yang dianjurkan di Islam) tidak sampai sebegitu ekstrimnya.
Yang  dilakukan hanya melukai SEDIKIT klitoris. Saya melihat sendiri
saat  anak perempuan saya dikhitan waktu umur 6 hari, luka pada
klitorisnya  hanya seperti luka suntikan malah lebih besar luka suntikan
terbukti  dari banyaknya darah yg keluar masih lebih banyak darah pas
dia  diimunisasi BCG dan anaknya juga ga nangis sama sekali tuh (bayi umur
6  hari loh pak .. ). Dan kalo dibilang bisa mengurangi
kenikmatan  (orgasme) wah engga tuh pak. Saya dulu dikhitan tapi kok masih
bisa  orgasme klitoral ya?? Mohon maaf, saran saya .. mungkin dr. Tonang
bisa  melakukan riset ato semacam survey/observasi atau apapun namanya
gimana  khitan pada perempuan yg sebenarnya di Indonesia maupun secara
islami
sebelum melakukan jugdement begitu. Terimakasih.

         Pada 5:19 PM,          The Ibrahims menulis...
              dr  tonang, terima kasih atas tulisan yang sangat bermanfaat
ini. bukan  saya saja yg merasa lega tapi pasti ibu-ibu lain juga. berkali2
saya  ditanya oleh keluarga apakah putri kami Tara sudah disunat dan
saya  selalu menjawab, "tidak perlu". bahkan saya menentang putri
kami  ditindik ketika masih bayi, bagi saya, ditindik adalah
pilihannyam  bukan kami orang tua yang menentukan. alhamdulillah, ada dokter
yang  seperti anda. terima kasih untuk tulisan-tulisan yang sangat
bermanfaat  dok!

         Pada 7:47 AM,          Tonang Dwi Ardyanto menulis...
              Ibu Monika dan Ibu/Bp Ibrahim, Terima kasih.

Utk Bp/Ibu Anonymus,

Bila  Anda perhatikan lebih cermat, saya tidak pada posisi menjudge
dari  sisi-sisi agama/budaya. Soal-soal itu saya hanya sampaikan
tulisan  orang lain. Saya khusus pada sisi medis, bahwa memang literatur
medis  tidak mengenal tindakan "khitan" terhadap bayi/anak/perempuan
dewasa  dalam bentuk apapun/seringan apapun.

Yang menjudge sebagai  "kepuasan seksua, dll" itu bukan saya. Itu adalah
laporan dari sebuah  LSM yang kemudian disambut oleh Menteri Pemberdayaan
Perempuan dengan  "melarang semua tindakan khitan perempuan".

Dalam pandangan  saya, meskipun secara medis memang tidak ada literaturnya,
tetapi  tindakan melarang ini juga kontra-produktif. Pendekatan yang
saya  usulkan adalah kita tetap mengakomodasi keinginan pasien
menjalani  khitan, tetapi dengan cara yang minimal. Sekaligus kita
beritakan  edukasi soal kesehatan reproduksi. Tujuannya, pasien tidak kecewa
atau  tidak puas karena tidak dituruti keinginannya, tetapi dokter juga
tidak  salah karena melakukan sesuatu yang tidak ada dasar
medisnya.  Pendekatan ini yang menurut saya paling menguntungkan.

Demikian, semoga menjadi jelas dan terima kasih.


Regards,
Uci mamaKavin+Ija
http://oetjipop.multiply.com

---------------------------------
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo!
Answers

Kirim email ke