PEMBERITAAN “PR” tanggal 9 Maret 2007, halaman 25, memuat pernyataan
Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan
Nasional, Dr. Ace Suryadi, dengan judul “Calistung pada PAUD Salah
Besar!”. Menurut Dr. Ace, pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung
(calistung) pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk kesalahan
terbesar yang diterapkan sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada
usia dini, pengajaran calistung justru akan membatasi interaksi siswa
dengan lingkungan. Meskipun begitu, ia pun mengatakan, jika keinginan
belajar calistung datang dari diri anak secara langsung, hal itu
sah-sah saja.
Di pihak lain, beberapa waktu lalu, di Surat Pembaca “PR” edisi Rabu,
20 Desember 2006, seorang bapak mengungkapkan kekecewaannya terhadap
salah satu SD, tempat anaknya sekolah. Ketika pendaftaran dilakukan
dan anaknya dinyatakan lulus tes, pihak sekolah setuju untuk mengajar
anak dari awal, dengan asumsi bahwa semua anak belum bisa membaca dan
menulis. Namun, setelah waktu berlalu beberapa bulan ternyata si anak
terus mengalami ketertinggalan dalam mengikuti pelajaran. Hal itu
disebabkan ia belum juga bisa membaca, sedangkan pelajaran di kelas I
sekolah dasar (SD) sekarang ini sudah berupa teks yang cukup banyak
dan otomatis membutuhkan kemampuan membaca dan menulis untuk mengikuti
dan memahaminya.
Tumpang tindih
Persoalan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung memang
merupakan fenomena tersendiri. Kini menjadi semakin hangat dibicarakan
para orang tua yang memiliki anak usia taman kanak-kanak (TK) dan
sekolah dasar karena mereka khawatir anak-anaknya tidak mampu
mengikuti pelajaran di sekolahnya nanti jika sedari awal belum
dibekali keterampilan calistung.
Kekhawatiran orang tua pun makin mencuat ketika anak-anaknya belum
bisa membaca menjelang masuk sekolah dasar. Hal itu membuat para orang
tua akhirnya sedikit memaksa anaknya untuk belajar calistung,
khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak
lulus”, “tidak naik kelas”, kini semakin menakutkan karena akan
berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus
mengulang kelas.
Selama ini taman kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk
mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang
sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di taman kanak-kanak pun
hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain
edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak
diperkenankan di tingkat taman kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan
huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak
memasuki TK B.
Akan tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit
masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit
diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran
calistung.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri
mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode
mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk
menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah
dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut,
namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Paradigma belajar
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari
apa pun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar
telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius,
menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan
nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan
nyanyian adalah ilmu pengetahuan.
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi
rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum.
Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung
dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun.
Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum
mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana
anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu,
kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang
memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan
kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung
diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin
mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang
buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar
setelah mereka beranjak besar.
Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada
“larangan belajar calistung”, namun tidak banyak orang memahami
alasannya. Padahal perkembangan dalam pembelajaran di era informasi
sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh berubah. Topik pelajaran
bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada usia
berapapun, untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara
belajar, disesuaikan dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya
masing-masing sehingga terasa menyenangkan dan membangkitkan minat
untuk terus belajar.
Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah
perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah
merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap
kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan
bahkan memang berbentuk sebuah permainan.
Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa
belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa
kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat
sulit dan tidak menyenangkan.
Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk,
sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran
yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung
semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain,
seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal.
Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan
matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah
pembatasan terhadap keterampilan.
Namun, sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan
lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat
anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun
momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar
membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas.
Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja
mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan
ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.
Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru,
dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian
itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak
juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya
anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari
mereka menghafal huruf atau mengeja.
Demikian halnya dengan pelajaran berhitung. Mengenalkan kuantitas
benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada
menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak
usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan yang
mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru
bisa mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat
bilangan.
Maria Montessori dan Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan
metode belajar membaca dan matematika bagi anak-anak usia dini. Maria
Montessori, seorang dokter wanita pertama dari Italia, telah
mempraktikkan pembelajaran multiindrawi lewat kegiatan sehari-hari.
Pengalaman tersebut diperolehnya setelah menangani anak-anak bermental
terbelakang. Lewat kegiatan-kegiatan sederhana yang diulang setiap
hari, sebagian besar anak-anak itu mengalami kemajuan yang pesat.
Mereka bahkan bisa membaca dan menulis pada usia yang relatif muda,
sekitar 4 dan 5 tahun tanpa harus merasa terbebani.
Montessori menciptakan alat-alat belajar dari benda-benda yang akrab
di sekeliling kita. Ia membuat alat belajar seperti perlengkapan
bermain. Untuk mengajar anak-anak membaca, ia membuat berbagai macam
kartu huruf dari papan kayu atau kertas tebal. Setiap huruf dicetak
dari kertas ampelas yang cukup kasar. Selain anak-anak membunyikan
huruf-huruf tersebut, mereka juga merabanya untuk membentuk kepekaan
terhadap tekstur huruf. Kartu-kartu berisi kata bergambar yang
dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kata juga menjadi alat belajar yang
menarik bagi anak-anak.
Glenn Doman adalah contoh lain pendobrak teori perkembangan Piaget.
Doman adalah seorang dokter bedah otak. Ia berhasil membantu
menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera otak lewat flash card.
Ia membuat kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna merah
pada karton tebal, dengan ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu
itu ditampilkan di hadapan si pasien dalam waktu cepat, hanya satu
detik per kata. Adanya perkembangan pada otak pasiennya membuat ia
ingin mencobanya kepada anak-anak bahkan bayi.
Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena,
bisa saja anak-anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun
akan kebingungan ketika diberikan kata-kata baru yang belum pernah
dibacanya.
Kritik terhadap flash cards memang sering dilontarkan orang, termasuk
sebagian ahli psikologi. Hal itu disebabkan flash cards dianggap
sebagai cara yang kurang rasional, merusak pembelajaran nalar dan
logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan kemampuan membaca
menurut para psikolog dan orang pada umumnya harus diproses melalui
tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu
mengenal huruf dan mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya bisa
menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah
kata.

Pada tanggal 28/04/09, Puji Rahayu <tprah...@indovision.tv> menulis:
> Oke mbak...makasih ya tuk semua temen-temen tuk inputannya.
> ----- Original Message -----
> From: "Gopina Goham" <alfin.b...@gmail.com>
> To: <balita-anda@balita-anda.com>
> Sent: Tuesday, April 28, 2009 10:05 AM
> Subject: Re: [balita-anda] cara efektif mengajar anak mengenal huruf
>
>
>> seingat aku di atas 3 tahun. itupun masih dalam model main2
>>
>> 2009/4/28 Puji Rahayu <tprah...@indovision.tv>:
>> > Thanks mbak...di situ dikatakan g mbak usia berapa normal anak belajar
>> > mengenal angka dan huruf ?
>> > Paling tidak supaya aku g terlalu memaksa tapi juga tidak terlambat.
>> > ----- Original Message -----
>> > From: "Gopina Goham" <alfin.b...@gmail.com>
>> > To: <balita-anda@balita-anda.com>
>> > Sent: Tuesday, April 28, 2009 8:32 AM
>> > Subject: Re: [balita-anda] cara efektif mengajar anak mengenal huruf
>> >
>>
>> --------------------------------------------------------------
>> Info tanaman hias: http://www.toekangkeboen.com
>> Info balita: http://www.balita-anda.com
>> Peraturan milis, email ke: peraturan_mi...@balita-anda.com
>> menghubungi admin, email ke: balita-anda-ow...@balita-anda.com
>>
>
>
> --------------------------------------------------------------
> Info tanaman hias: http://www.toekangkeboen.com
> Info balita: http://www.balita-anda.com
> Peraturan milis, email ke: peraturan_mi...@balita-anda.com
> menghubungi admin, email ke: balita-anda-ow...@balita-anda.com
>
>


-- 
With love,


Amalia Hasanah
Penghasilan bulanan 1, 4, 10, bahkan 20 juta perbulan?
Praktekkan ebook training yang tersedia gratis untuk member d’BC Network
dan lakukan pemasaran secara online!
http://www.dbc-network.com/daftar.php?id=amalia79

YM:lia_gonzalez79

--------------------------------------------------------------
Info tanaman hias: http://www.toekangkeboen.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: peraturan_mi...@balita-anda.com
menghubungi admin, email ke: balita-anda-ow...@balita-anda.com

Kirim email ke