Makasih byk sharing artikel nya mom, bagus sekali, and sy stuju banget. 
Batuk-pilek-demam-radang, masih bs diobati dngn byk air putih ϑαn suplemen 
alami (buah-sayur). Maksimal yaa OBH/Triaminic batuk atau pilek gitu deh,kalo 
bs malah gak usah. Selebihnya yaa suplemen alami aja keik sari kurma, jeruk, 
apel.

Glad to know ternyata memang negara2 maju sdh sangat aware dngn sistem melatih 
imunitas body dngn tdk konsumsi obat2an kimiawi.

Finny Tulipware.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: rosa.rosli...@yahoo.com
Date: Mon, 21 Mar 2011 13:41:44 
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] (Info) sebagian alasan knp dokter2 di negara maju 
pelit kasih obat
Dear all,

ini isi dari link dmaksud. 


Sebagian alasan kenapa dokter-dokter di negara-negara maju "pelit" mengasih 
obat buat anak yang lagi sakit
By Royndra Bjgd

Sharing, semoga berguna buat yang membaca...
 
(dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum)
 
 
** Dimana Salahnya?**
 
 
 
Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. 
Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu 
mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. 
Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores 
rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi 
bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.
 
 
 
Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena 
demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke 
huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
 
 
 
"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral 
infection." kata dokter tua itu.
 
 
 
"Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku 
meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus 
demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. 
Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku 
betul-betul menahan kesal.
 
 
 
"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
 
 
 
"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."
 
 
 
Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia 
mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
 
 
 
Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku 
sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat 
jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku 
membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
 
 
 
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga 
bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait 
and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap 
hingga hari ke tujuh.
 
 
 
"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
 
 
 
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"
 
 
 
Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku.
 
 
 
Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu 
kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya 
tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk 
anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."
 
 
 
Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul 
jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah 
kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku 
meradang.
 
 
 
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung 
menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat 
penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, 
tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. 
Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. 
Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru, 
kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
 
 
 
"Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, 
itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter 
Belanda itu!"
 
 
 
Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke 
dokternya?"
 
 
 
Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, 
rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"
 
 
 
Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku 
lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten 
di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya 
secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling 
keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi 
ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas 
beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah 
saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, 
padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan 
kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada 
kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah 
kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami 
jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng 
seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian 
senior!
 
 
 
Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku 
ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. 
Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat 
batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak 
rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda 
jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa 
tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat 
rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada 
putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima 
hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu 
mengecewakan aku.
 
 
 
"Just drink a lot," katanya ringan.
 
 
 
Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau 
batuk, batinku kesal.
 
 
 
"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.
 
 
 
"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.
 
 
 
Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter 
pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam 
hati.
 
 
 
"Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," 
kataku ngeyel.
 
 
 
Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. 
Di toko obat juga banyak koq."
 
 
 
Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu 
pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat 
Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.
 
 
 
"Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." 
Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku 
memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada 
di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, 
anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini 
pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas 
kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan 
walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi 
pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke 
dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru 
mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat 
dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.
 
 
 
Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. 
Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia 
sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir 
tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku 
membawanya ke huisart.
 
 
 
"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok."
 
 
 
Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan 
lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."
 
 
 
Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi 
aku sebal.
 
 
 
"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," 
aku ngeyel seperti biasa.
 
 
 
Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many 
times normally children get sick every year?"
 
 
 
Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.
 
 
 
"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. 
"Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," 
sambungnya.
 
 
 
Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, 
kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? 
Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku 
yang selama ini kurang belajar.
 
 
 
Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai 
berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan 
Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya 
begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 
bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa 
kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." 
Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku 
memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.
 
 
 
"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam 
penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu 
mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam 
disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain 
pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga 
keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi 
imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit 
setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.
 
 
 
Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan 
membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama 
bertahun-tahun."
 
 
 
Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana 
saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada 
anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka 
ke dokter
 
spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya 
kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah 
mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi 
anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya 
diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.
 
 
 
Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan 
di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. 
Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan 
rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini 
kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, 
sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, 
baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, 
demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta 
sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak 
rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh 
sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.
 
 
 
Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif 
menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, 
ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek 
sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun 
obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak 
diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai 
obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya Yah aku 
nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. 
Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada 
suamiku.
 
 
 
Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara 
terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang 
terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk 
kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 
'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang 
tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan 
pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan 
sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam 
sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak 
diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter 
memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang 
dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter 
dilarang mengiklankan suatu produk obat.
 
 
 
Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap 
memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, 
pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek 
senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. 
Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan
 
terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh 
umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?
 
 
 
Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan 
tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan 
aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak 
menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan 
tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para 
orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai 
keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang 
raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
 
 
 
Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada 
kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering 
pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk 
konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, 
serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia, 
bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? 
Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan 
pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. 
Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas 
beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun 
bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem 
kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk 
bersikap rasional.
 
 
 
Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung 
pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi 
tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? 
Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus 
berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan 
pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang 
pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak 
punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 
'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat 
yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.
 
http://agnes.ismailfahmi.org/books/
sma




Sent from my BlackBerry Wireless Handheld 
Powered by Gee! from StarHub

-----Original Message-----
From: "Rahman-G" <rahman.guna...@gmail.com>
Date: Mon, 21 Mar 2011 12:37:03 
To: milis BALITA-ANDA<balita-anda@balita-anda.com>
Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] (Info) sebagian alasan knp dokter2 di negara maju 
pelit kasih obat
Member yth,
Bisa minta tolong post berita detailsnya? Atau teman lain bisa bantu?, ga semua 
org punya FB account (termasuk saya salah satunya), terimakasi sebelumnya 


Warm Regards,
Rahman-G/ LRCI B208 - D1153EH/ JKT
M: +62 817RAHMAN/ +62 817724626

sent from my BlackBerry®

-----Original Message-----
From: rika.okto...@gmail.com
Date: Mon, 21 Mar 2011 12:23:57 
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: [balita-anda] (Info) sebagian alasan knp dokter2 di negara maju pelit 
kasih obat
Jfyi ya mom n dad... Maaf kalo gak berkenan.

http://m.facebook.com/notes/royndra-bjgd/sebagian-alasan-kenapa-dokter-dokter-di-negara-negara-maju-pelit-mengasih-obat-b/175350499179751?_rdr
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Kirim email ke