kan tergantung sakitnya bu Susan ;-)

kalau cuma virus akan sembuh dengan daya tahan tubuh, intinya kita
memberikan obat yang rasional, obat kalau tidka pada tempatnya bisa
jadi racun lho, nah apakah kita tega memberikan racun buat anak kita?
pastinya TIDAK kan?

Pada tanggal 21/03/11, Susanna Oktavia RFP™ <jacq.n.j...@gmail.com> menulis:
> Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita tahan melihat anak2 kita
> sakit tanpa memberikan obat???
>
>
> Saya BERLISENSI dan Saya RFP™
> member of FP One FINANCIAL ADVISOR®
> 08159117983 - 08989086308
>
> -----Original Message-----
> From: "Finny Arifin" <tulipware.indone...@gmail.com>
> Date: Mon, 21 Mar 2011 13:49:16
> To: <balita-anda@balita-anda.com>
> Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
> Subject: Re: [balita-anda] (Info) sebagian alasan knp dokter2 di negara maju
> pelit kasih obat
> Makasih byk sharing artikel nya mom, bagus sekali, and sy stuju banget.
> Batuk-pilek-demam-radang, masih bs diobati dngn byk air putih ϑαn suplemen
> alami (buah-sayur). Maksimal yaa OBH/Triaminic batuk atau pilek gitu
> deh,kalo bs malah gak usah. Selebihnya yaa suplemen alami aja keik sari
> kurma, jeruk, apel.
>
> Glad to know ternyata memang negara2 maju sdh sangat aware dngn sistem
> melatih imunitas body dngn tdk konsumsi obat2an kimiawi.
>
> Finny Tulipware.
> Sent from my BlackBerry®
> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
>
> -----Original Message-----
> From: rosa.rosli...@yahoo.com
> Date: Mon, 21 Mar 2011 13:41:44
> To: <balita-anda@balita-anda.com>
> Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
> Subject: Re: [balita-anda] (Info) sebagian alasan knp dokter2 di negara maju
> pelit kasih obat
> Dear all,
>
> ini isi dari link dmaksud.
>
>
> Sebagian alasan kenapa dokter-dokter di negara-negara maju "pelit" mengasih
> obat buat anak yang lagi sakit
> By Royndra Bjgd
>
> Sharing, semoga berguna buat yang membaca...
>
> (dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum)
>
>
> ** Dimana Salahnya?**
>
>
>
> Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian
> tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku
> selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak
> mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores
> rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak
> lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing
> seperti itu.
>
>
>
> Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena
> demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke
> huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
>
>
>
> "Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral
> infection." kata dokter tua itu.
>
>
>
> "Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku
> meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada
> kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak
> diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang
> keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.
>
>
>
> "Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
>
>
>
> "Actually that is not necessary if the fever below 40 C."
>
>
>
> Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya
> dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
>
>
>
> Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku
> sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi
> obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena
> itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun
> panas.
>
>
>
> Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya
> juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap
> menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila
> panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.
>
>
>
> "Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
>
>
>
> Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu
> obat?"
>
>
>
> Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku.
>
>
>
> Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa
> kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu
> sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi
> lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."
>
>
>
> Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku
> betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas
> kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu
> bertebaran! Batinku meradang.
>
>
>
> Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku
> langsung menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja
> ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa
> 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas
> ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan
> cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti
> rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
>
>
>
> "Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang,
> itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah
> dokter Belanda itu!"
>
>
>
> Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang
> ke dokternya?"
>
>
>
> Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter,
> rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"
>
>
>
> Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku
> lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi
> co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak
> hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang
> katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di
> Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga
> hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss,
> kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya
> orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama
> saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum
> disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh
> graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang
> sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek
> sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter
> senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!
>
>
>
> Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku
> ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya
> bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti
> mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak
> berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara
> uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan
> kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya
> padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan
> obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak
> kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun
> segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.
>
>
>
> "Just drink a lot," katanya ringan.
>
>
>
> Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau
> batuk, batinku kesal.
>
>
>
> "Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.
>
>
>
> "This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya
> lagi.
>
>
>
> Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke
> dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq!
> omelku dalam hati.
>
>
>
> "Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul
> terus-terusan," kataku ngeyel.
>
>
>
> Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme
> syrop. Di toko obat juga banyak koq."
>
>
>
> Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau
> itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi
> obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.
>
>
>
> "Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak
> begini." Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku.
> Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan
> internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti
> di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter
> spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah.
> Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede
> mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita
> penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek,
> mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua
> atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah
> aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu
> ada dalam kantong plastik obatku.
>
>
>
> Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit
> lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan
> sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia
> dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres,
> lagi-lagi aku membawanya ke huisart.
>
>
>
> "Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok."
>
>
>
> Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan
> lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral
> infection."
>
>
>
> Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh!
> Lagilagi aku sebal.
>
>
>
> "Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,"
> aku ngeyel seperti biasa.
>
>
>
> Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how
> many times normally children get sick every year?"
>
>
>
> Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.
>
>
>
> "Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar.
> "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu
> berat," sambungnya.
>
>
>
> Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti
> itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang
> salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali
> memang aku yang selama ini kurang belajar.
>
>
>
> Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai
> berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof.
> Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI.
> Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam
> 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan
> bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama
> bertahun-tahun." Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan
> betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.
>
>
>
> "Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam
> penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan
> selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau
> tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh
> virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang
> berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang
> tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun.
> Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.
>
>
>
> Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi,
> akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama
> bertahun-tahun."
>
>
>
> Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku.
> Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang
> kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan
> sudah membawa mereka ke dokter
>
> spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak
> percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi
> pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari,
> sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang
> sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.
>
>
>
> Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah.
> Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'.
> Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu
> pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang
> selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada
> anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit
> memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan
> seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa
> anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah
> tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem
> kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa
> itu pengobatan rasional.
>
>
>
> Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif
> menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika
> Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko
> efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain.
> Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk
> usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap
> dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam.
> "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di
> Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih,
> ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.
>
>
>
> Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara
> terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang
> terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan,
> untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif
> 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang
> tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan
> pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan
> sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam
> sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak
> diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter
> memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang
> dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter
> dilarang mengiklankan suatu produk obat.
>
>
>
> Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap
> memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk,
> pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena
> nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu
> saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan
>
> terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam
> seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu
> terjadi?
>
>
>
> Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia
> dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua,
> bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah
> terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak
> menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan
> masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi
> bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti
> terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
>
>
>
> Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada
> kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering
> pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk
> konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya,
> serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia,
> bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat?
> Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena
> tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih
> ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat
> bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah.
> Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi.
> Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter
> menjadi sulit untuk bersikap rasional.
>
>
>
> Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung
> pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi
> kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai
> perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu
> semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan
> perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk
> merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam.
> Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan?
> Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya
> kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa
> diturunkan.
>
> http://agnes.ismailfahmi.org/books/
> sma
>
>
>
>
> Sent from my BlackBerry Wireless Handheld
> Powered by Gee! from StarHub
>
> -----Original Message-----
> From: "Rahman-G" <rahman.guna...@gmail.com>
> Date: Mon, 21 Mar 2011 12:37:03
> To: milis BALITA-ANDA<balita-anda@balita-anda.com>
> Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
> Subject: Re: [balita-anda] (Info) sebagian alasan knp dokter2 di negara maju
> pelit kasih obat
> Member yth,
> Bisa minta tolong post berita detailsnya? Atau teman lain bisa bantu?, ga
> semua org punya FB account (termasuk saya salah satunya), terimakasi
> sebelumnya
>
>
> Warm Regards,
> Rahman-G/ LRCI B208 - D1153EH/ JKT
> M: +62 817RAHMAN/ +62 817724626
>
> sent from my BlackBerry®
>
> -----Original Message-----
> From: rika.okto...@gmail.com
> Date: Mon, 21 Mar 2011 12:23:57
> To: <balita-anda@balita-anda.com>
> Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
> Subject: [balita-anda] (Info) sebagian alasan knp dokter2 di negara maju
> pelit kasih obat
> Jfyi ya mom n dad... Maaf kalo gak berkenan.
>
> http://m.facebook.com/notes/royndra-bjgd/sebagian-alasan-kenapa-dokter-dokter-di-negara-negara-maju-pelit-mengasih-obat-b/175350499179751?_rdr
> Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
> Teruuusss...!


-- 
Yenni
http://naudhira-jilbab-ekslusif.blogspot.com

--------------------------------------------------------------
Yuk berkunjung ke Web Balita-Anda: bisa baca dongeng, download
lagu, print buku mewarnai, origami dan masih banyak lagi...
Balita-Anda Online: http://www.balita-anda.com
Peraturan Milis: peraturan_mi...@balita-anda.com
Menghubungi Admin: balita-anda-ow...@balita-anda.com
Unsubscribe dari Milis: balita-anda-unsubscr...@balita-anda.com
--------------------------------------------------------------
Balita-Anda: Panduan Orangtua yang Cerdas, Kreatif dan Inovatif dalam Merawat 
dan Mendidik Balita

Kirim email ke