"Saya Kangen Bunda..."
Kisah mengharukan tentang seorang anak yang merindukan ibunya (VP Marketing
Citibank) yang meninggal dunia karena dengue fever. Sang anak menyusul
ibunya karena penyakit yang sama seminggu kemudian.

-----------------

"Saya Kangen Bunda..."

SUASANA DUKA terasa menyelimuti kediaman Wendy Suskrinda Bustomi. Malam itu,
 Sabtu (13 3), gema doa tahlil terus berkumandang mengiringi kepergian Ilyasa
 Makarim Bustomi (8), anak kedua Wendy, ke hadapan Khalik. Gigitan nyamuk
 Aedes aegypti telah mengantarkan nyawa Ilyasa, menyusul ibundanya tercinta,
 Mira Permata Sari (34), yang mendahuluinya menghadap Sang Pencipta, 28
 Februari lalu.

Dalam dua pekan, keluarga itu langsung kehilangan dua anggotanya akibat demam
 berdarah dengue (DBD) yang terus mewabah di Jakarta. Seolah tak puas telah
 merenggut dua nyawa, wabah DBD juga menyebabkan Muhammad Irsyad Bustomi
 (10), anak pertama Wendy, harus dirawat di rumah sakit.

Ketika ditemui Kompas di rumahnya, Jalan Mendawai IV No 9, Kramat Pela,
 Jakarta Selatan, Wendy mencoba tegar. Namun, sesekali dia tampak menahan
 tangis ketika bercerita soal kebahagiaan keluarganya.

Semula Wendy sempat enggan diwawancarai. Perasaannya galau manakala Irsyad,
 anak pertamanya, masih terbaring di rumah sakit, berjuang melawan virus
 dengue yang mematikan. "Dalam sekejap, saya kehilangan dua orang yang sangat
 saya cintai," kata Wendy terbata-bata.

Kepada Kompas, Wendy menunjukkan album foto keluarga yang merekam keceriaan
 Ilyasa, Mira, Wendy, Irsyad, serta Khairuna (2), anak bungsunya. "Ini saat
 terakhir kami pergi bersama ke Bali, bulan Januari lalu," ujar Wendy.

TAK disangka, kebahagiaan keluarga Wendy terenggut. Wendy curiga ketika
 istrinya mengeluh pusing-pusing sepulang dari kantor. Mira bekerja sebagai
 vice president marketing di Citibank, Jakarta.

Meskipun tidak ada gejala panas, Wendy mengajak istrinya ke Rumah Sakit Pusat
 Pertamina (RSPP). Di rumah sakit itu, Mira memeriksakan darahnya. Angka
 trombosit Mira menunjukkan 180.000. Wendy meminta agar Mira dirawat, tetapi
 pihak RSPP menolak dengan alasan angka trombosit Mira masih di atas 150.000.
 Menurut Wendy, pihak RSPP mengatakan, baru bisa merawat pasien bila angka
 trombositnya 150.000.

Mira kemudian dibawa ke sebuah rumah sakit bersalin di Jalan Panglima Polim,
 Jakarta Selatan. Akhirnya Mira bisa dirawat di rumah sakit tersebut karena
 ada kenalan keluarga. Tetapi sayangnya, rumah sakit itu tidak memiliki
 fasilitas Intensive Care Unit (ICU). Baru dirawat 12 jam, Mira tidak
 tertolong lagi setelah kejang-kejang.

"Jam tujuh malam dia masih segar, bisa ngobrol dan shalat Isya. Jam sebelas
 dia sudah pergi," tutur Wendy.

Ketika istrinya menjelang ajal, Wendy sempat membacakan doa-doa di telinga
 istrinya.

Kematian Mira sangat memukul Ilyasa. Anak kedua Wendy dan Mira yang semula
 ceria ini berubah menjadi pendiam. Setelah ibunya dimakamkan, Ilyasa selalu
 menangis setiap malam. "Saya kangen bunda...I want my bunda back to me,"
 tutur Wendy menirukan Ilyasa.

Wendy mencoba menguatkan Ilyasa dan Irsyad yang sudah bisa merasakan
 bagaimana rasanya ditinggal mati seorang ibu. Dia mencoba menjelaskan kepada
 Ilyasa bahwa ibundanya sudah bahagia bersama Tuhan.

Ilyasa memang anak yang paling dekat dengan Mira. Jarak kelahiran antara
 Ilyasa dan adiknya, Khairuna, yang selisih delapan tahun, membuat Ilyasa
 lama diasuh oleh ibunya. "Setiap mau tidur, istri saya selalu mengusap-usap
 kepala Ilyasa," ucap Wendy.

Kematian Ilyasa masih sangat membekas di benak Wendy. Pada peringatan hari
 ketujuh kematian ibunya, Ilyasa panas dan dirawat di RSAB Harapan Kita. Ia
 sempat dirawat di ICU dan mengalami koma. Wendy yang masih berduka, terus
 mengajak Ilyasa ngobrol meskipun bocah kecil itu masih koma. Ilyasa menangis
 saat Wendy bercerita soal kepergian mereka ke Bali.

Wendy bertekad, kalaupun Ilyasa meninggal, bocah ceria itu harus meninggal di
 pelukannya. Tak kuat menahan serangan virus dengue, Ilyasa akhirnya
 meninggal disaksikan ayahnya sendiri.

KETIKA maut datang menjemput, tidak ada satu pun manusia yang dapat menolak.
 Tetapi seandainya pemerintah mampu mengantisipasi dan menekan penyebaran
 DBD, cerita sedih banyak warga Jakarta, termasuk keluarga Wendy mungkin
 tidak akan terjadi.

Setiap tahun DBD terus menyerang tetapi pemerintah tidak pernah memberi
 peringatan, "musim demam berdarah" sudah tiba. Bahkan iklan layanan
 masyarakat di televisi pun hanya dipenuhi iklan kenaikan tarif listrik, BBM,
 dan telepon. Penderita DBD sudah mencapai 26.018 jiwa dengan jumlah korban
 meninggal 389 jiwa. Angka yang jauh lebih banyak dari korban bom Bali yang
 "hanya" 187 jiwa! (LUSIANA INDRIASARI)

Sumber: Kompas - Minggu, 14 Maret 2004




---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke