cutting out from milis tetangge...

Nelson Tansu, Profesor Termuda asal Indonesia di AS


Nelson Tansu, Profesor Termuda asal Indonesia di Lehigh University, AS. Jago
Seminar di Mancanegara, tapi Dikira Mahasiswa S-1 Banyak orang di berbagai
penjuru dunia yang berusaha menggapai mimpi Amerika. Salah seorang yang
berhasil merengkuhnya adalah warga negara Indonesia. Dia bernama Nelson
Tansu. Di AS, dia termasuk ilmuwan ternama dengan tiga hak paten di
tangannya.


RAMADHAN POHAN, Washington DC NAMA lengkapnya adalah Prof Nelson Tansu PhD.
Setahun lalu, ketika baruberusia 25 tahun, dia diangkat menjadi guru besar
(profesor) di Lehigh University, Bethlehem, Pennsylvania 18015, USA. Usia
yang tergolong sangat belia dengan statusnya tersebut.

Kini, ketika usianya menginjak 26 tahun, Nelson tercatat sebagai
profesor termuda di universitas bergengsi wilayah East Coast, Negeri Paman
Sam, itu. Sebagai dosen muda, para mahasiswa dan bimbingannya justru
rata-rata sudah berumur. Sebab, dia mengajar tingkat master (S-2), doktor
(S-3), bahkan post doctoral.

Prestasi dan reputasi Nelson cukup berkibar di kalangan akademisi AS.
Puluhan hasil risetnya dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional. Dia
sering diundang menjadi pembicara utama dan penceramah di berbagai seminar.
Paling sering terutama menjadi pembicara dalam pertemuan-pertemuan
intelektual, konferensi, dan seminar di Washington DC. Selain itu, dia
sering datang ke berbagai kota lain di AS. Bahkan, dia sering pergi ke
mancanegara seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia.

Yang mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS,
yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high
power semiconductor lasers. Di tengah kesibukannya melakukan riset-riset
lainnya, dua buku Nelson sedang dalam proses penerbitan. Bukan main. Kedua
buku tersebut merupakan buku teks (buku wajib pegangan, Red) bagi mahasiswa
S-1 di Negeri Paman Sam.

Karena itu, Indonesia layak bangga atas prestasi anak bangsa di negeri
rantau tersebut. Lajang kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, itu sampai
sekarang masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Kendati belum satu
dekade di AS, prestasinya sudah segudang. Ke mana pun dirinya pergi, setiap
ditanya orang, Nelson selalu mengenalkan diri sebagai orang Indonesia. Sikap
Nelson itu sangat membanggakan di tengah banyak tokoh kita yang malu
mengakui Indonesia sebagai tanah kelahirannya.

"Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan, saya selalu ingin
melakukan yang terbaik untuk Indonesia," katanya, serius.

Di Negeri Paman Sam, kecintaan Nelson terhadap negerinya yang dicap sebagai
terkorup di Asia tersebut dikonkretkan dengan memperlihatkan ketekunan serta
prestasi kerjanya sebagai anak bangsa. Saat berbicara soal Indonesia, mimik
pemuda itu terlihat sungguh-sungguh dan jauh dari basa-basi.

"Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu
bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita
terus bekerja keras," kata Nelson menjawab koran ini.
Dia adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah pasangan Iskandar Tansu
dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua
Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah lulusan
universitas di Jerman. Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master dari Ohio,
AS. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University
(OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga
berpendidikan.
Posisi resmi Nelson di Lehigh University adalah assistant  rofessor di
bidang electrical and computer engineering. Di AS, itu merupakan gelar untuk
guru besar baru di perguruan tinggi. "Walaupun saya adalah profesor di
jurusan electrical and computer engineering, riset saya sebenarnya lebih
condong ke arah fisika terapan dan quantum electronics," jelasnya.

Sebagai cendekiawan muda, dia menjalani kehidupannya dengan tiada hari tanpa
membaca, menulis, serta melakukan riset. Tentunya, dia juga menyiapkan
materi serta bahan kuliah bagi para mahasiswanya.
Kesibukannya tersebut, jika meminjam istilah di Amerika, bertumpu pada tiga
hal. Yakni, learning, teaching, and researching. Boleh jadi, tak ada waktu
sedikit pun yang dilalui Nelson dengan santai. Di sana, 24 jam sehari
dilaluinya dengan segala aktivitas ilmiah. Waktu yang tersisa tak lebih dari
istirahat tidur 4-5 jam per hari.

Anak muda itu memang enak diajak mengobrol. Idealismenya berkobar-kobar dan
penuh semangat. Layaknya profesor Amerika, sosok Nelson sangat bersahaja dan
bahkan suka merendah. Busana kesehariannya juga tak aneh-aneh, yakni
mengenakan kemeja berkerah dan pantalon.

Sekilas, dia terkesan pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering
tersembunyi di balik penampilannya yang seperti tak suka bicara. Tapi,
ketika dia mengajar atau berbicara di konferensi para intelektual, jati diri
akademisi Nelson tampak. Lingkungan akademisi, riset, dan kampus memang
menjadi dunianya. Dia selalu peduli pada kepentingan serta dahaga
pengetahuan para  mahasiswanya di kampus.

Ada yang menarik di sini. Karena tampangnya yang sangat belia, tak sedikit
insan kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master.
Dia dikira sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama
kalangan universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya,
mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.

"Di semester Fall 2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang
physics and applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004,
sekarang, saya mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master tentang
semiconductor device physics. Begitulah," ungkap Nelson menjawab soal
kegiatan mengajarnya.

September hingga Desember atau semester Fall 2004, jadwal mengajar Nelson
sudah menanti lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas untuk
tingkat PhD tentang applied quantum mechanics for semiconductor
nanotechnology.

"Selain mengajar kelas-kelas di universitas, saya membimbing beberapa
mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University ini,"
jelasnya saat ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus.

Nelson termasuk individu yang sukses menggapai mimpi Amerika (American
dream). Banyak imigran dan perantau yang mengadu nasib di negeri itu dengan
segala persaingannya yang superketat. Di Negeri Paman Sam tersebut, ada
cerita sukses seperti aktor yang kini menjadi Gubernur California Arnold
Schwarzenegger yang sebenarnya adalah imigran asal Austria. Kemudian, dalam
Kabinet George Walker Bush sekarang juga ada imigrannya, yakni Menteri
Tenaga Kerja Elaine L. Chao. Imigran asal Taipei tersebut merupakan wanita
pertama Asian-American yang menjadi menteri selama sejarah AS.

Negara Superpower tersebut juga sangat baik menempa bakat serta
intelektual Nelson. Lulusan SMA Sutomo 1 Medan itu tiba di AS pada Juli
1995. Di sana, dia menamatkan seluruh pendidikannya mulai S-1 hingga S-3 di
University of Wisconsin di Madison. Nelson menyelesaikan pendidikan S-1 di
bidang applied mathematics, electrical engineering, and physics. Sedangkan
untuk PhD, dia mengambil bidang electrical engineering.

Dari seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa semua
suksesnya itu tak lepas dari dukungan keluarganya. Saat ditanya mengenai
siapa yang paling berpengaruh, dia cepat menyebut kedua orang tuanya dan
kakeknya. "Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak saya masih
kecil sekali," ujarnya.

Ada kisah menarik di situ. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang tuanya
sering membanding-bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah
doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu
Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson
kecil menganggapnya serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus
melampauinya. Waktu akhirnya menjawab imipian Nelson tersebut. "Jadi, terima
kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang suka dengan banyak
tantangan. Kita jadi terpacu, gitu," ungkapnya.

Nelson mengaku, mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta
disiplin belajarnya. "Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun
agak keras. Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan
berusaha sesempurna mungkin mencapai standar tertinggi dalam melakukan
sesuatu," jelasnya.

Sisihkan 300 Doktor AS, tapi Tetap Rendah Hati Nelson Tansu menjadi
fisikawan ternama di Amerika. Tapi, hanya sedikit
yang tahu bahwa guru besar belia itu berasal dari Indonesia. Di sejumlah
kesempatan, banyak yang menganggap Nelson ada hubungan famili dengan mantan
PM Turki Tansu Ciller. Benarkah?

NAMA Nelson Tansu memang cukup unik. Sekilas, sama sekali nama itu tidak
mengindikasikan identitas etnis, ras, atau asal negeri tertentu. Karena itu,
di Negeri Paman Sam, banyak yang keliru membaca, mengetahui, atau berkenalan
dengan profesor belia tersebut.

Malah ada yang menduga bahwa dia adalah orang Turki. Dugaan itu muncul jika
dikaitkan dengan hubungan famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri (PM)
Turki. Beberapa netters malah tidak segan-segan mencantumkan nama dan kiprah
Nelson ke dalam website Turki. Seolah-olah mereka yakin betul bahwa
fisikawan belia yang mulai berkibar di lingkaran akademisi AS itu memang
berasal dari negerinya Kemal Ataturk.

Ada pula yang mengira bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya Jepang
atau Tiongkok. Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang malah
terang-terangan melamar Nelson dan meminta dia "kembali" mengajar di Jepang.
Seakan-akan Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura
itu.

Dilihat dari nama, wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga wajah
Nelson yang seperti orang Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak profesor
yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan jarang-jarang memang asal
Indonesia. Nelson pun hanya senyum-senyum atas segala kekeliruan terhadap
dirinya.

"Biasanya saya langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya asli
Indonesia. Mereka memang agak terkejut sih karena memang mungkin jarang ada
profesor asal aslinya dari Indonesia,"jelas Nelson.

Tansu sendiri sesungguhnya bukan marga kalangan Tionghoa. Memang, nenek
moyang Nelson dulu Hokkien, dan marganya adalah Tan. Tapi, ketika lahir,
Nelson sudah diberi nama belakang "Tansu", sebagaimana ayahnya, Iskandar
Tansu.

"Saya suka dengan nama Tansu, kok,"kata Nelson dengan nada bangga. Nelson
adalah pemuda mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner, dan selalu
mematok standar tertinggi dalam kiprah riset dan dunia akademisinya. Orang
tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya? Berkat keringat
dan prestasi Nelson sendiri. Kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan
kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat beasiswa universitas.

"Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua
kuliah dan kebutuhan di universitas," katanya.
Orang seperti Nelson dengan prestasi akademik tertinggi memang tak sulit
memenangi berbagai beasiswa. Jika dihitung-hitung, lusinan penghargaan dan
anugerah beasiswa yang pernah dia raih selama ini di AS.

Menjadi profesor di Negeri Paman Sam memang sudah menjadi cita-cita dia
sejak lama. Walau demikian, posisi assistant professor (profesor muda, Red)
tak pernah terbayangkannya bisa diraih pada usia 25 tahun. Coba bandingkan
dengan lingkungan keluarga atau masyarakat di Indonesia, umumnya apa yang
didapat pemuda 25 tahun?  Bahkan, di AS yang negeri supermaju pun reputasi
Nelson bukan fenomena umum. Bayangkan, pada usia semuda itu, dia menyandang
status guru besar.
Sehari-hari dia mengajar program master, doktor, dan bahkan post
doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson yang
dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk mahasiswa S-1 dalam
proses penerbitan.

Tapi, bukan Nelson Tansu namanya jika tidak santun dan merendah.
Cita-citanya mulia sekali. Dia akan tetap melakukan riset-riset yang
hasilnya bermanfaat buat kemanusian dan dunia. Sebagai profesor di AS, dia
seperti meniti jalan suci mewujudkan idealisme tersebut.

Ketika mendengar pengakuan cita-cita sejatinya, siapa pun pasti akan
terperanjat. Cukup fenomenal. "Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya
selalu ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat.
Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil," ujarnya dengan mimik serius.

Tapi, orang bakal mahfum jika melihat sejarah hidupnya. Ketika usia SD,
Nelson kecil gemar membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa.
Selain Albert Einstein yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti
Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata sudah
diakrabi Nelson cilik.

"Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah
dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali
ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang berhasil menemukan teori
yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu," jelas Nelson penuh kagum.

Nelson jadi profesor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang
teknik dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di
kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi profesor di Lehigh,
Nelson terlebih dahulu menyisihkan 300 doktor yang resume (CV)-nya juga
hebat-hebat. "Seleksinya ketat sekali, sedangkan posisi yang diperebutkan
hanya satu," ujarnya.

Lelaki penggemar buah-buahan dan masakan Padang itu mengaku lega dan
beruntung karena dirinya yang terpilih. Menurut Nelson, dari segi gaji dan
materi, menjadi profesor di kampus top seperti yang dia alami sekarang sudah
cukup lumayan. Berapa sih lumayannya?

"Sangat bersainglah. Gaji profesor di universitas private terkemuka di
Amerika Serikat adalah sangat kompetitif dibandingkan dengan gaji industri.
Jadi, cukup baguslah, he...he...he...," katanya, menyelipkan senyum.

Riwayat hidup dan reputasinya memang wow. Nelson sempat menjadi incaran dan
malah "rebutan" kalangan universitas AS dan mancanegara. Ada yang menawari
jabatan associate professor yang lebih tinggi daripada yang dia sandang
sekarang (assistant professor). Ada pula yang menawari gaji dan fasilitas
yang lebih heboh daripada Lehigh University. Tawaran-tawaran menggiurkan itu
datang dari AS, Kanada, Jerman, dan Taiwan serta berasal dari kampus-kampus
top.

Semua datang sebelum maupun sesudah Nelson resmi mengajar di Lehigh
University. Tapi, segalanya lewat begitu saja. Nelson memilih konsisten,
loyal, dan komit dengan universitas di Pennsylvania itu. Tapi, tentu ada
pertimbangan khusus yang lain.

"Saya memilih ini karena Lehigh memberikan dana research yang sangat
signifikan untuk bidang saya, semiconductor nanostructure optoelectronic
devices. Lehigh juga memiliki leaderships yang sangat kuat dan ambisinya
tinggi menaikkan reputasinya dengan memiliki para profesor paling berpotensi
dan ternama untuk melakukan riset berkelas dunia,"papar pengagum John
Bardeen, fisikawan pemenang Nobel, itu.
Perusahaan-perusahaan industri Amerika juga menaruh minat dan
mengiming-imingi Nelson dengan gaji dan fasilitas menggiurkan. Itu pun dia
tampik.

"Bukan apa-apa. Saya memang tidak tertarik untuk masuk ke industri. Seperti
saya bilang tadi, profesor sudah cita-cita saya. Lagi pula, kompensasi
finansial yang diberikan Lehigh memang sudah bagus banget dan saya happy,"
tuturnya.

Nelson tinggal di sebuah apartemen yang tak jauh dari kampusnya
mengajar. Dia tinggal sendiri. Karena itu, semua urusan rumah dan segala
keperluannya dilakukan sendiri.

Ditanya soal pacar, Nelson tersipu-sipu dan mengaku belum punya.
Padahal, secara fisik, dengan tinggi 173 cm, berat 67 kg, dan wajah yang
cakep khas Asia, Nelson mestinya gampang menggaet (atau malah digaet) cewek
Amerika. Banyak kriteria kah?

"Ha...ha...ha.... Pertama, saya ini nggak ganteng ya. Tapi, begini,mungkin
karena memang belum ketemu yang cocok dan jodoh saja. Saya sih, kalau bisa,
ya dengan orang Indonesia-lah. Saya sih nggak melihat orang berdasarkan
kriteria macem-macem. Yang penting orangnya baik, pintar, bermoral,
pengertian, dan mendukung," paparnya panjang lebar, geli karena topik
pembicaraan menyimpang dari dunia fisikanya ke soal wanita.

Nelson hampir tiap tahun pulang ke Medan, bertemu orang tuanya dan
teman-teman lamanya. Pemilik email [EMAIL PROTECTED] dan alamat alamat
website http://www3.lehigh.edu/engineering/ece/tansu.asp itu dengan
segudang prestasi dan reputasinya memang membanggakan Indonesia.


Menumpang Nelson Tansu

Ada lagi ilmuwan muda asal Indonesia yang berhasil di AS. Dia adalah Nelson
Tansu. Usianya baru 26 tahun. Masih muda. Namun, dia sudah menjadi profesor
di Universitas Lehigh, Pennsylvania. Anak muda itu berasal dari Medan.

Kita bangga terhadap Nelson. Bukan hanya disebabkan dia yang berusia masih
sangat muda itu sudah diakui keilmuannya di negeri raksasa iptek (AS).
Melainkan, melalui dia, kita ingin menumpang kampanye. Agar, dia menjadi
salah satu sumber inspirasi moral bahwa negeri ini masih genah.
Apalagi, menurut laporan koran ini dari AS, Nelson masih memegang paspor
cap garuda. Dia masih cinta dan bangga dengan Indonesia. Meskipun, dengan
satu dekade tinggal di AS dan dengan prestasi yang cemerlang itu,
sesungguhnya dia bisa mudah menjadi warga negara AS.

Kita ingin menumpang prestasi Nelson agar turut mencerahkan pikiran orang
asing bahwa Indonesia tidak hanya gelap gulita. Bahwa negeri ini tak hanya
identik dengan gudang koruptor.

Indonesia masih mempunyai anak negeri yang memiliki kemampuan
intelektual yang sejajar, bahkan lebih tinggi daripada anak negeri lain.

Nelson sudah membuktikan kemampuan tersebut.

Dia juga diharapkan bisa sedikit menghapus anggapan buruk orang asing yang
sarat stigma serta prasangka. Sebab, ternyata negeri ini bukan merupakan
sarang teroris yang begitu gampang meledakkan bom.
Kemampuan dan penguasaan ilmu yang tinggi memang sering bisa sangat berperan
mengangkat prestasi serta prestise bangsa dan suatu negeri. Sebab, ilmu
merupakan salah satu instrumen eksplorasi perabadan dan kebudayaan.
Sehingga, dengan itu, suatu bangsa dan negeri akan cepat menggapai kemajuan
sosial.

Karena itu, negeri-negeri tempat ilmuwan besar dilahirkan dan selama
hidupnya mengabdikan ilmunya untuk orang banyak serta kemajuan sosial sering
identik dengan negeri-negeri industri maju.

Misalnya, AS, Prancis, Inggris, dan Jepang identik dengan negara iptek
karena banyak melahirkan ilmuwan besar yang semasa hidupnya mengabdikan
ilmunya untuk kemajuan negerinya.

Seharusnya, Nelson dengan ilmunya juga memberikan kontribusi bagi
kemajuan bangsanya. Tetapi, karena negeri ini tidak kondusif bagi
pengembangan iptek, orang-orang muda seperti Nelson harus hijrah atau
menetap di negeri orang. Tinggal di AS. Negeri yang memberikan lahan subur
bagi pengembangan ilmunya.

Seharusnya pula, dengan prestasi Nelson secemerlang itu, banyak
perguruan tinggi besar di sini yang mau memanggil dirinya untuk pulang
kampung. Lalu, dia diberi lahan garapan agar ilmu yang dimilikinya segera
bisa bermanfaat bagi bangsa serta anak-anak negeri yang masih ketinggalan
jauh.

Tetapi, perguruan tinggi mana yang sanggup memulangkan Nelson? Selain tidak
memiliki sarana yang memadai untuk memberikan tempat bagi dia, lembaga
tersebut tidak mampu memberikan isentif yang setara dengan kemampuannya.

Persoalannya ada pada perspektif itu. Di satu pihak, ternyata bangsa ini
bisa melahirkan anak-anaknya yang berotak cemerlang. Namun, di pihak lain,
karena kemiskinan dan keterbelakangan yang masih luas, ketika anak-anak yang
cemerlang tersebut lahir, mereka tak betah bertahan di negerinya. Karena
itu, yang bisa diperbuat adalah menumpang prestasi cemerlang si anak bangsa.







---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke