Yang ini saya terima kok Mba Lia. Terima kasih, sangat bagus sekali untuk referensi saya.
Thank you and regards, Ella email address: [EMAIL PROTECTED] ----- Original Message ----- From: M Abdul Ghoffar To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, April 02, 2004 12:13 PM Subject: RE: [balita-anda] Q : ACA 2 Ini artikel yang lain. APS SEBABKAN JANIN GUGUR (Nakita) Jika bolak-balik keguguran akibat pertumbuhan janin terhambat atau bayi selalu meninggal tak lama setelah dilahirkan dan ibu mengalami preeklampsia, jangan kelewat menyalahkan diri. Siapa tahu sindrom ini yang jadi biang keladinya. APS (Antiphospholid Syndrom) atau yang juga sering disebut sindrom ACA (anticardiolipin) merupakan kelainan yang relatif baru di dunia kedokteran. Baik di Indonesia maupun mancanegara. Di sini, jelas Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, DSPD, KHOM, F.A.C.T.H., kasus-kasus APS baru "ditemukan" dan mendapat penanganan serius sejak Oktober 1997. Dalam arti, setiap pasien yang darahnya dicurigai mengandung antibodi antiphospholipid, dianjurkan menjalani tes ACA. Sayangnya, tes ini baru bisa dilakukan di kota besar dan RS tertentu mengingat biayanya lumayan mahal, "Sekitar Rp 300 ribu untuk tiap pemeriksaan karena perangkatnya pun sangat mahal." Lewat pemeriksaan ACA, jelas guru besar Fakultas Kedokteran UI yang mendalami APS ini, akan diketahui kadar IgG dan IgM penderita. "Parameter laboratorium inilah yang bisa dijadikan pegangan untuk memastikan terkena-tidaknya ACA karena APS tak memperlihatkan gejala spesifik." Gejalanya, jelas dr. Judi Januadi Endjun, SpOG, Sonologist, dari RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, yang ditemui terpisah, mirip dengan yang biasa dialami ibu hamil. Semisal cepat lelah, mengantuk, sering pusing, dan sulit konsentrasi. Nah, pada ibu hamil dengan APS, gangguan itu bukan semata karena kehamilan, namun karena adanya kelainan akibat kekentalan darah yang dapat berpengaruh pada penurunan kemampuan berbagai organ tubuh. Berbeda dengan kehamilan biasa yang kembali normal setelah 4 bulan, keluhan-keluhan APS akan terus berlangsung sepanjang kehamilan. Ada pun gejala yang perlu dicermati berkaitan dengan APS adalah peningkatan tekanan darah tanpa penyebab pasti karena sebelum hamil tekanan darahnya normal. Peningkatan tekanan darah tersebut diduga akibat pengentalan darah yang membuat aliran darah jadi tak sempurna lantaran fungsi organ-organ tubuh terganggu. Bisa jadi itulah preeklampsia yang terutama terjadi pada trimester ketiga. Bahkan, mereka yang APS-nya tergolong tingkat tinggi, bisa mengalami stroke atau kelainan jantung di usia dewasa muda atau sebelum usia 40 tahun. SUNTIK TIAP HARI Menurut Karmel, berdasarkan kadar ACA-nya, penderita APS bisa dikategorikan dalam 3 tingkatan. Tergolong mild jika IgG-nya berkisar antara 15-20, moderate bila antara 20-80, dan high jika kadarnya di atas 80. Sedangkan tingkat kekentalan darah bisa diketahui dengan mengukur cepat-tidaknya darah yang bersangkutan membeku. Sebab, mereka yang terkena APS, darahnya akan lebih cepat membeku dibanding mereka yang normal. "Kalau orang normal darahnya akan membeku dengan tolok ukur dalam waktu 25-40 detik, maka darah penderita APS bisa kurang dari 25 detik sudah membeku." Tentu saja kondisi pengentalan darah semacam ini buruk bagi ibu hamil, terutama untuk janin. Sebab, terang Judi, kehidupan janin dalam kandungan sangat tergantung dari suplai darah ibu lewat plasenta. Darah ibu inilah yang akan membawa nutrisi dan oksigen pada janin. "Jadi, ibarat lalu lintas, kalau kendaraan padat merayap atau malah terjadi kemacetan di sana-sini, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat tujuan, kan, jadi lebih lama." Bila kondisi tersebut didiamkan, besar kemungkin janin akan gugur pada masa embrio atau sebelum mencapai usia 8 minggu. "Sama halnya dengan tanaman yang baru tumbuh, kalau tak pernah disiram, bakal layu lalu mati," imbuh Karmel. Kalaupun mampu bertahan, umumnya akan lahir prematur atau setidaknya BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) akibat tidak tercukupinya kebutuhan nutrisi dan oksigen. Itu sebab, sambung Judi yang juga mengasuh Rubrik Tanya Jawab Kebidanan dan Kandungan nakita, ibu hamil yang terkena APS perlu memeriksakan diri secara teratur ke dokter ahli penyakit dalam untuk memantau kondisi darahnya, selain ke dokter ahli kebidanan/kandungan yang akan memantau perkembangan janin lewat USG dan pemeriksaan lain. Dari pemeriksaan laboratorium yang dilakukan 6 minggu sekali, internis akan mengetahui kadar antibodi antiphospholipid pasien. Semakin tinggi kadarnya, kian besar pula risiko terjadi keguguran. "Jadi, makin besar juga usaha yang diperlukan untuk menurunkan kadar antibodi tersebut." Dari hasil pemeriksaan, dokter ahli penyakit dalam sekaligus akan menentukan terapi pengobatan, termasuk dosis yang tepat. Bila kadar antibodi antiphospholipid masih dalam batas yang dianggap "aman", pengobatan cukup berupa tablet sejenis aspirin. Hanya saja kemampuannya mempertahankan bayi hanya sekitar 40 persen. Pada pemeriksaan berikutnya, internis akan menilai respon pengobatan berdasar hasil laboratorium terbaru. Bila dengan tablet tersebut kadar antibodi antiphospholipid tetap atau bahkan meningkat, pemberian obat akan dibarengi suntikan heparin atau fraksiparin maupun suntikan lain sejenis yang harus dilakukan setiap hari. Suntikan tersebut relatif aman untuk wanita hamil karena terbukti tak menembus barier plasenta, hingga tak ada kemungkinan terserap janin ataupun mengganggu pertumbuhannya. Kendati begitu ada juga suntikan anti pembekuan darah bernama warparin yang dilaporkan menimbulkan 25 persen kematian karena bisa menembus barier plasenta hingga tidak diberikan pada ibu hamil. MESTI BERANI Kombinasi terapi obat dengan suntikan tersebut diharapkan mampu meningkatkan peluang kesembuhan APS menjadi sekitar 74-96 persen. Demikian antara lain hasil pengamatan Karmel terhadap 232 pasien APS-nya selama 3 tahun terakhir yang baru-baru ini dilaporkan bersama timnya pada Kongres Trombosis Internasional di Paris. Tentu saja, tegas Karmel dan Judi, obat-obatan yang diberikan pun dipilih yang paling aman untuk wanita hamil. Soal suntikan, karena harus dilakukan tiap hari, ibu hamil biasanya diimbau untuk berani melakukannya sendiri agar tak terlalu tergatung pada dokter. "Biayanya juga tak murah. Sekali suntik, Rp 60 ribu hingga Rp 100 ribu. Dan itu harus dilakukan tiap hari selama kehamilan." Mahal, memang. Namun lewat suntikan inilah diharapkan darah tak menjadi kental lagi. Sebab, lanjut Karmel, obat-obatan yang disuntikkan itu pada prinsipnya bukan bertujuan menurunkan antibodi antiphospholipid. "Melainkan menjaga agar antibodi tersebut tak menyebabkan trombosis alias pengentalan darah. Yang bisa menurunkan antibodi tersebut, ya, tubuh yang bersangkutan sendiri." DISANGKA MUSUH Dalam keadaan normal, jelas Karmel, antibodi sebetulnya merupakan kumpulan protein yang dibentuk oleh sistem kekebalan tubuh untuk memerangi substansi yang dianggap asing oleh tubuh. Di antaranya bakteri dan virus. Celakanya, tak jarang bukan cuma bakteri dan virus yang dianggap sebagai benda asing, tapi juga sel-sel tubuh si individu sendiri. Mekanisme "kesalahan menilai" inilah yang terjadi pada kasus-kasus APS. Persisnya, tubuh mengeluarkan antibodi antiphospholipid yang digunakan untuk menyerang phospholipid yang dianggap sebagai "musuh" meski sebetulnya merupakan bagian dari membran sel. Padahal, kemunculan antibodi antiphospholipid inilah yang membuat darah individu bersangkutan jadi lebih kental. Dampak lebih jauh dari pengentalan darah ini adalah gangguan pembekuan darah di pembuluh darah arteri, vena, maupun jantung. Tak heran bila si ibu jadi terancam beberapa keluhan mematikan seperti jantung, preeklampsia dan stroke bila pembekuan darah terjadi di otak. Atau gangguan penglihatan mata yang bisa mengakibatkan kebutaan bila menyerang pembuluh-pembuluh darah di daerah mata. "Karena itu perlu koordinasi antara dokter kandungan dengan ahli terkait. Bila ada gangguan jantung, contoh, segera rujuk ke ahli jantung. Begitu pula jika ada keluhan di mata secepat mungkin rujuk pasien ke ahlinya untuk meminimalkan risiko kebutaan." Sedangkan risiko pada janin pun tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, jelas Judi, ibu hamil penderita APS dikhawatirkan tak bisa mencukupi suplai darahnya ke plasenta bagi si janin. Padahal, kebutuhan janin akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sementara di saat yang bersamaan antibodi antiphospholipid yang terbentuk semakin banyak. Akhirnya, kesenjangan ini akan semakin besar. Sementara tak ada yang bisa memprediksikan seberapa lama janin akan mampu bertahan terhadap kesenjangan tersebut. Pada kasus-kasus semacam ini, lanjut Judi, sejak awal janin bisa saja tak pernah terbentuk alias sudah meninggal dalam periode embrio sebelum mencapai usia 8 minggu. Selain kian berpeluang gugur atau lahir prematur mengingat grafik pertumbuhannya biasanya jauh di bawah garis semestinya. Kalaupun mampu bertahan umumnya lahir dengan berat rendah, janin mati dalam kandungan atau meninggal begitu dilahirkan. Hanya saja, tegas Judi, perlu diingat, APS sama sekali tak menimbulkan kecacatan seperti halnya penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksoplasma, misalnya. TAK ADA KECACATAN Sayangnya, pantauan di awal-awal kehamilan tergolong sulit karena si ibu nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Dalam arti, hingga 12 minggu pertama usia kehamilan, ia tak tahu apakah perkembangan janinnya baik atau tidak karena relatif tak ada perubahan fisik yang berarti alias sama saja dengan ibu hamil pada umumnya. Lain hal bila sudah agak besar dan si ibu bisa merasakan gerakan janinnya. Semisal gerakan jadi berkurang/melemah maupun pengukuran kesesuaian tinggi rahim dengan usia kehamilan untuk menilai apakah pertumbuhan janin terganggu atau tidak. Bila si ibu kurus akan lebih mudah dinilai, apakah besar kehamilannya cukup atau tidak. Sementara pada ibu yang bertubuh subur, tumpukan lemak sering mengecoh. Dari penilaian ini pun, terang Judi, bisa sekaligus dipantau apakah ada komplikasi preeklampsia yang menyertai atau tidak. Antara lain bila si ibu cenderung mengalami penambahan berat badan berlebih sementara bayinya tak berkembang. Mengingat APS termasuk kehamilan berisiko tinggi, ungkap Judi, dokter kandungan akan lebih saksama memeriksa/memantau perkembangan janin lewat USG, termasuk mengikuti perkembangan plasentanya. Sebab, pada kasus-kasus APS, plasenta cenderung gampang rusak dan kerusakan bisa terjadi kapan saja. "Padahal, pada ibu hamil dengan kondisi normal, rusak sedikit saja berupa kebocoran kecil bisa berakibat fatal. Nah, dapat dibayangkan apa yang terjadi pada ibu hamil dengan APS. Soalnya,kelangsungan hidup janin amat bergantung pada kualitas plasenta." Kendati begitu, tukas Judi dan Karmel, ibu hamil yang terkena APS tak perlu kelewat pesimis. Sebab, dengan terapi pengobatan yang terkontrol dan terpadu di antara para dokter ahli, kelainan ini bisa ditangani. Lewat terapi obat dan suntikan, darah diharapkan semakin encer dengan bertambahnya usia kehamilan. "Dengan catatan, si ibu harus rajin kontrol dan teratur menjalani terapi," tutur Judi. Bahkan, tutur Karmel, selama ini anak-anak yang lahir dari ibu dengan APS tak menunjukkan kelainan apa pun. "Mereka terlihat seperti layaknya anak-anak yang dilahirkan dari ibu-ibu yang normal, kok. Tak ada kecacatan sama sekali. Sebab, obat dan suntik yang diberikan memang dimaksudkan untuk memperbaiki aliran darah si ibu ke janin. Kalau makin cepat terdeteksi, makin cepat pula aliran darah diperbaiki." Memang, tambah Judi, bisa saja terjadi anak mengalami retardasi mental akibat lingkar kepala kecil lantaran pertumbuhan yang terhambat. "Tapi, kan, kita selalu harus mengembalikan segalanya pada kehendak Yang Maka Kuasa. Tak perlu pesimis, apalagi sampai ambil keputusan untuk menggugurkan kandungan." BISA LAHIR NORMAL Mengingat kehamilan dengan APS termasuk kelompok kehamilan risiko tinggi, Judi menyarankan agar ibu hamil menjaga kehamilannya ekstra hati-hati. Artinya, seperti halnya menjalani kehamilan pada umumnya, ibu hamil disarankan tidur minimal 8 jam, cukup istirahat dan menurunkan tingkat stres, di samping membina kebiasaan makan yang benar, baik kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan aktivitas lain bebas dilakukan sepanjang tidak membahayakan kehamilan. Kendati belum diketahui pasti makanan apa saja yang bisa membantu mengencerkan darah, ibu hamil dengan kelainan APS amat dianjurkan mengkonsumsi makanan yang serba alami, yakni yang tak mengandung pengawet dan penyedap semisal junk food. Tujuannya semata-mata untuk meminimalkan benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Begitu juga paparan zat-zat kimia yang bisa menjadi pemicu, semisal insektisida dan polusi udara. Juga infeksi virus maupun bakteri. Sebab, infeksi semisal herpes atau tokso akan memperparah kondisi atau boleh jadi APS-nya dipicu oleh infeksi virus tadi. Dianjurkan pula minum banyak air putih, minimal 2 liter sehari. Masalahnya, mereka yang jarang minum dikhawatirkan darahnya mudah mengental, padahal tubuh tetap melakukan penguapan lewat keringat dan cairan yang terbuang melalui BAK. Meski tidak berarti air putih bisa langsung mengencerkan darah penderita. Yang diduga menjadi salah satu pemicu APS adalah konsumsi obat-obatan tertentu yang memunculkan antibodi antiphospholipid, semisal yang biasa dipakai dalam pengobatan epilepsi. Sedangkan jenis virus dan bakteri bisa apa saja, namun tidak semua virus/bakteri menimbulkan antibodi antiphospholipid. "Sama halnya dengan udang yang bisa menimbulkan alergi berupa gatal-gatal pada orang yang satu, tapi tidak pada yang lain." Sedangkan untuk proses persalinan, menurut Karmel maupun Judi, pada dasarnya tak berbeda dengan ibu hamil lainnya. Dalam arti, si ibu bisa tetap melahirkan normal/spontan jika memang tidak ada indikasi lain. Hanya, tegas Karmel, tim medis harus tetap bersiap-siap terhadap kemungkinan terjadinya pembekuan darah saat persalinan. Alasan ini pula yang dijadikan sebagai salah satu pertimbangan diperlukannya tindakan sesar. Terlebih bila terjadi persalinan lama atau lebih dari 8 jam. "Semata-mata agar si ibu tidak terlalu lelah yang akan semakin memperburuk kondisinya," ungkap Judi. Th. Puspayanti. Ilustrasi : Pugoeh (nakita) Kelompok Beresiko Menurut Karmel maupun Judi, wanita hamil yang memiliki riwayat ginekologis buruk semisal keguguran berulang, janin mati dalam kandungan dan preeklampsia semasa kehamilan terdahulu memang berpeluang lebih besar terkena APS pada kehamilan-kehamilan berikutnya. Ancaman serupa juga perlu diwaspadai oleh pria dan wanita tak hamil yang mengidap penyakit "kerabat" pembuluh darah semisal jantung dan stroke. Hanya saja, tandas Karmel dan Judi, bukan cuma mereka, lo, yang terancam. Pasalnya, sindrom yang satu ini bisa mengena siapa saja: laki-laki maupun perempuan, kelompok berumur alias tua maupun yang masih muda belia. Karena selain hal-hal yang diduga yang menjadi pemicu di atas, siapa pun berkemungkinan terkena APS tanpa sebab yang pasti. Yanti NO. 30/XXX/24 - 30 September 2001 Kesehatan Kehamilan Bila Janin Dianggap Benda Asing Keguguran berkali-kali bisa disebabkan oleh antibodi si ibu yang membuat janin tak bisa berkembang. Dengan deteksi dan terapi dini, keguguran semacam itu bisa dicegah. ------------------------------------------------------------------------------ KALAU saja semua berjalan lancar, Eni—sebut saja begitu—mestinya sudah menjadi ibu empat orang anak. Namun, ”bayi-bayi” yang dikandungnya tak pernah betah tinggal di rahimnya. Kehamilannya selalu berakhir ketika usia janin baru berjalan sekitar tiga minggu. Keguguran berulang itu tentu saja tak di-kehendaki wanita berusia 35 tahun ini. Namun, tanpa disadarinya, justru tubuhnya sendiri yang telah memaksa janin keluar sebelum waktunya. Ternyata, Eni mempunyai antibodi yang ke-lewat aktif menyensor benda asing—termasuk janin—dalam tubuhnya. Anticardiolipin namanya. Antibodi itulah yang merusak plasenta sehingga bayi kehilangan saluran untuk mengakses makanan dan oksigen yang dibutuhkannya. Tapi kenapa antibodi itu memboikot makanan sumber penghidupan jabang bayi? Itulah yang sampai sekarang masih belum jelas. Meski sudah diketahui sejak 1985, anticardiolipin memang masih termasuk ”benda asing” dalam dunia kedokteran. Masih banyak hal yang belum terungkap. Bagi Karmel L. Tambunan, guru besar penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), antibodi yang bisa menyumbat di mana-mana hingga menyebabkan serangan stroke, gagal jantung, varises, buta, dan tuli itu termasuk pengetahuan yang tergolong baru. Tak mengherankan bila antibodi ini menjadi salah satu bahasan menarik dalam Kongres Nasional Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia IX, di Semarang, awal September lalu. Antibodi anticardiolipin tidak dimiliki se-tiap orang. Menurut dokter kebidanan dan kandungan Hasnah Siregar, ada orang tertentu yang memiliki antibodi itu karena bawaan. Pada perempuan hamil, kandungan antibodi anticardiolipin yang tinggi menyebabkan penggumpalan darah (trombosis) yang akhirnya menyumbat plasenta. Akibatnya, sel darah merah yang membawa pasokan zat gizi dan oksigen tidak tersalur ke bayi. Buntutnya, jika tidak keguguran, biasanya janin tidak berkembang atau mati dalam kandungan. ”Orang yang terserang antibodi anticardiolipin ini secara klinis memang dapat dilihat jika wanita hamil mengalami keguguran berulang-ulang atau wanita berkeluarga tidak hamil-hamil,” ujar Haryanto Reksodiputro, guru besar hematologi (ilmu darah) dan onkologi (ilmu tentang kanker) dari FKUI. Sepanjang pengalaman Haryanto, 60 persen kasus keguguran kandungan berulang disebabkan oleh serangan dari antibodi itu. Memang tidak semua kasus keguguran berulang disebabkan oleh antibodi anticardiolipin. Ada beberapa faktor yang harus dilihat sebelum mencurigai anticardiolipin sebagai biang keladi keguguran berulang-ulang. Menurut Hasnah, ia akan memeriksa apakah si ibu pernah mengalami tiga kali keguguran atau lebih secara berurutan tanpa sebab jelas. Ia juga akan menelisik terjadinya kematian fetus, apakah setelah 10 minggu usia kehamilan atau tidak. Kadang-kadang kelahiran prematur atau kehamilan yang bisa mencapai 34 minggu tapi disertai keracunan (preeklamsia) berat atau kelainan pada plasenta juga bisa menggiring kecurigaan terhadap aktivitas antibodi anticardiolipin. Pendeknya, ”Tidak semua kejadian keguguran langsung bisa dinyatakan sebagai kasus anticardiolipin,” ujar Hasnah. Keguguran, katanya, bisa juga disebabkan oleh penyakit tumor atau infeksi. Meski begitu, bagi wanita yang pernah keguguran, saat hamil lagi, disarankan memeriksakan diri ke ahli kandungan atau ahli darah. Deteksi dini setidaknya memungkinkan terapi segera yang bisa menghalangi aktivitas antibodi anticardiolipin sebelum menggila dan menghabisi hidup jabang bayi. Terapi melawan antibodi ini tampaknya cukup ampuh. Haryanto mencatat, dalam tiga tahun belakangan, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terjadi 251 kasus keguguran berulang-ulang, tapi 95 persen di antaranya bisa ditangani hingga para ibu itu berhasil mempunyai anak. Bagaimana caranya? Pengobatan dilakukan, antara lain, dengan suntikan obat heparin (antipembekuan) selama kehamilan. Obat ini menjamin bayi mendapat pasokan makanan yang cukup. Lama pengobatannya sendiri bisa bervariasi. Menurut Hasnah, pemakaian obat akan dihentikan pada tiga minggu sebelum waktu kelahiran bayi. Terapi Haryanto dan Karmel agak berbeda. Mereka menyarankan agar obat diberikan terus hingga bayi lahir. Haryanto menyarankan hingga 40 hari setelah kelahiran, sementara Karmel hanya melakukannya hingga tiga hari setelah bayi lahir. Alasan Haryanto, obat akan mencegah ter-jadinya trombosis pada ibu. Bila dihentikan sebelum 40 hari, gumpalan darah yang terjadi di kandungan bisa masuk ke otak, paru-paru, atau tempat lain. Perbedaan lama terapi itu boleh jadi karena pemahaman para dokter terhadap anticardiolipin tidak sama. Bisa jadi pula itu karena misteri antibodi ini memang belum seluruhnya terkuak. Namun, yang penting buat pasien, antibodi itu bukan momok yang tak tertaklukkan. ”Memiliki antibodi anticardiolipin bukan berarti dunia menjadi gelap. Itu bisa dinormalkan dengan terapi,” Hasnah menegaskan.