Yang ini saya terima kok Mba Lia. 
Terima kasih, sangat bagus sekali untuk referensi saya. 

Thank you and regards,
Ella 

email address: [EMAIL PROTECTED]

  ----- Original Message ----- 
  From: M Abdul Ghoffar 
  To: [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Friday, April 02, 2004 12:13 PM
  Subject: RE: [balita-anda] Q : ACA 2


  Ini artikel yang lain.

   

              APS SEBABKAN JANIN GUGUR (Nakita)

              Jika bolak-balik keguguran akibat pertumbuhan janin terhambat atau bayi 
selalu meninggal tak lama setelah dilahirkan dan ibu mengalami preeklampsia, jangan 
kelewat menyalahkan diri. Siapa tahu sindrom ini yang jadi biang keladinya. 

              APS (Antiphospholid Syndrom) atau yang juga sering disebut sindrom ACA 
(anticardiolipin) merupakan kelainan yang relatif baru di dunia kedokteran. Baik di 
Indonesia maupun mancanegara. Di sini, jelas Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, DSPD, 
KHOM, F.A.C.T.H., kasus-kasus APS baru "ditemukan" dan mendapat penanganan serius 
sejak Oktober 1997. Dalam arti, setiap pasien yang darahnya dicurigai mengandung 
antibodi antiphospholipid, dianjurkan menjalani tes ACA. Sayangnya, tes ini baru bisa 
dilakukan di kota besar dan RS tertentu mengingat biayanya lumayan mahal, "Sekitar Rp 
300 ribu untuk tiap pemeriksaan karena perangkatnya pun sangat mahal." Lewat 
pemeriksaan ACA, jelas guru besar Fakultas Kedokteran UI yang mendalami APS ini, akan 
diketahui kadar IgG dan IgM penderita. "Parameter laboratorium inilah yang bisa 
dijadikan pegangan untuk memastikan terkena-tidaknya ACA karena APS tak memperlihatkan 
gejala spesifik." 

              Gejalanya, jelas dr. Judi Januadi Endjun, SpOG, Sonologist, dari RSPAD 
Gatot Subroto, Jakarta, yang ditemui terpisah, mirip dengan yang biasa dialami ibu 
hamil. Semisal cepat lelah, mengantuk, sering pusing, dan sulit konsentrasi. Nah, pada 
ibu hamil dengan APS, gangguan itu bukan semata karena kehamilan, namun karena adanya 
kelainan akibat kekentalan darah yang dapat berpengaruh pada penurunan kemampuan 
berbagai organ tubuh. Berbeda dengan kehamilan biasa yang kembali normal setelah 4 
bulan, keluhan-keluhan APS akan terus berlangsung sepanjang kehamilan. 

              Ada pun gejala yang perlu dicermati berkaitan dengan APS adalah 
peningkatan tekanan darah tanpa penyebab pasti karena sebelum hamil tekanan darahnya 
normal. Peningkatan tekanan darah tersebut diduga akibat pengentalan darah yang 
membuat aliran darah jadi tak sempurna lantaran fungsi organ-organ tubuh terganggu. 
Bisa jadi itulah preeklampsia yang terutama terjadi pada trimester ketiga. Bahkan, 
mereka yang APS-nya tergolong tingkat tinggi, bisa mengalami stroke atau kelainan 
jantung di usia dewasa muda atau sebelum usia 40 tahun. 

              SUNTIK TIAP HARI 

              Menurut Karmel, berdasarkan kadar ACA-nya, penderita APS bisa 
dikategorikan dalam 3 tingkatan. Tergolong mild jika IgG-nya berkisar antara 15-20, 
moderate bila antara 20-80, dan high jika kadarnya di atas 80. Sedangkan tingkat 
kekentalan darah bisa diketahui dengan mengukur cepat-tidaknya darah yang bersangkutan 
membeku. Sebab, mereka yang terkena APS, darahnya akan lebih cepat membeku dibanding 
mereka yang normal. "Kalau orang normal darahnya akan membeku dengan tolok ukur dalam 
waktu 25-40 detik, maka darah penderita APS bisa kurang dari 25 detik sudah membeku." 

              Tentu saja kondisi pengentalan darah semacam ini buruk bagi ibu hamil, 
terutama untuk janin. Sebab, terang Judi, kehidupan janin dalam kandungan sangat 
tergantung dari suplai darah ibu lewat plasenta. Darah ibu inilah yang akan membawa 
nutrisi dan oksigen pada janin. "Jadi, ibarat lalu lintas, kalau kendaraan padat 
merayap atau malah terjadi kemacetan di sana-sini, waktu yang dibutuhkan untuk sampai 
ke tempat tujuan, kan, jadi lebih lama." 

              Bila kondisi tersebut didiamkan, besar kemungkin janin akan gugur pada 
masa embrio atau sebelum mencapai usia 8 minggu. "Sama halnya dengan tanaman yang baru 
tumbuh, kalau tak pernah disiram, bakal layu lalu mati," imbuh Karmel. Kalaupun mampu 
bertahan, umumnya akan lahir prematur atau setidaknya BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) 
akibat tidak tercukupinya kebutuhan nutrisi dan oksigen. 

              Itu sebab, sambung Judi yang juga mengasuh Rubrik Tanya Jawab Kebidanan 
dan Kandungan nakita, ibu hamil yang terkena APS perlu memeriksakan diri secara 
teratur ke dokter ahli penyakit dalam untuk memantau kondisi darahnya, selain ke 
dokter ahli kebidanan/kandungan yang akan memantau perkembangan janin lewat USG dan 
pemeriksaan lain. Dari pemeriksaan laboratorium yang dilakukan 6 minggu sekali, 
internis akan mengetahui kadar antibodi antiphospholipid pasien. Semakin tinggi 
kadarnya, kian besar pula risiko terjadi keguguran. "Jadi, makin besar juga usaha yang 
diperlukan untuk menurunkan kadar antibodi tersebut." 

              Dari hasil pemeriksaan, dokter ahli penyakit dalam sekaligus akan 
menentukan terapi pengobatan, termasuk dosis yang tepat. Bila kadar antibodi 
antiphospholipid masih dalam batas yang dianggap "aman", pengobatan cukup berupa 
tablet sejenis aspirin. Hanya saja kemampuannya mempertahankan bayi hanya sekitar 40 
persen. Pada pemeriksaan berikutnya, internis akan menilai respon pengobatan berdasar 
hasil laboratorium terbaru. Bila dengan tablet tersebut kadar antibodi 
antiphospholipid tetap atau bahkan meningkat, pemberian obat akan dibarengi suntikan 
heparin atau fraksiparin maupun suntikan lain sejenis yang harus dilakukan setiap 
hari. 

              Suntikan tersebut relatif aman untuk wanita hamil karena terbukti tak 
menembus barier plasenta, hingga tak ada kemungkinan terserap janin ataupun mengganggu 
pertumbuhannya. Kendati begitu ada juga suntikan anti pembekuan darah bernama warparin 
yang dilaporkan menimbulkan 25 persen kematian karena bisa menembus barier plasenta 
hingga tidak diberikan pada ibu hamil. 

              MESTI BERANI 

              Kombinasi terapi obat dengan suntikan tersebut diharapkan mampu 
meningkatkan peluang kesembuhan APS menjadi sekitar 74-96 persen. Demikian antara lain 
hasil pengamatan Karmel terhadap 232 pasien APS-nya selama 3 tahun terakhir yang 
baru-baru ini dilaporkan bersama timnya pada Kongres Trombosis Internasional di Paris. 
Tentu saja, tegas Karmel dan Judi, obat-obatan yang diberikan pun dipilih yang paling 
aman untuk wanita hamil. 

              Soal suntikan, karena harus dilakukan tiap hari, ibu hamil biasanya 
diimbau untuk berani melakukannya sendiri agar tak terlalu tergatung pada dokter. 
"Biayanya juga tak murah. Sekali suntik, Rp 60 ribu hingga Rp 100 ribu. Dan itu harus 
dilakukan tiap hari selama kehamilan." Mahal, memang. Namun lewat suntikan inilah 
diharapkan darah tak menjadi kental lagi. 

              Sebab, lanjut Karmel, obat-obatan yang disuntikkan itu pada prinsipnya 
bukan bertujuan menurunkan antibodi antiphospholipid. "Melainkan menjaga agar antibodi 
tersebut tak menyebabkan trombosis alias pengentalan darah. Yang bisa menurunkan 
antibodi tersebut, ya, tubuh yang bersangkutan sendiri." 

              DISANGKA MUSUH 

              Dalam keadaan normal, jelas Karmel, antibodi sebetulnya merupakan 
kumpulan protein yang dibentuk oleh sistem kekebalan tubuh untuk memerangi substansi 
yang dianggap asing oleh tubuh. Di antaranya bakteri dan virus. Celakanya, tak jarang 
bukan cuma bakteri dan virus yang dianggap sebagai benda asing, tapi juga sel-sel 
tubuh si individu sendiri. Mekanisme "kesalahan menilai" inilah yang terjadi pada 
kasus-kasus APS. Persisnya, tubuh mengeluarkan antibodi antiphospholipid yang 
digunakan untuk menyerang phospholipid yang dianggap sebagai "musuh" meski sebetulnya 
merupakan bagian dari membran sel. Padahal, kemunculan antibodi antiphospholipid 
inilah yang membuat darah individu bersangkutan jadi lebih kental. 

              Dampak lebih jauh dari pengentalan darah ini adalah gangguan pembekuan 
darah di pembuluh darah arteri, vena, maupun jantung. Tak heran bila si ibu jadi 
terancam beberapa keluhan mematikan seperti jantung, preeklampsia dan stroke bila 
pembekuan darah terjadi di otak. Atau gangguan penglihatan mata yang bisa 
mengakibatkan kebutaan bila menyerang pembuluh-pembuluh darah di daerah mata. "Karena 
itu perlu koordinasi antara dokter kandungan dengan ahli terkait. Bila ada gangguan 
jantung, contoh, segera rujuk ke ahli jantung. Begitu pula jika ada keluhan di mata 
secepat mungkin rujuk pasien ke ahlinya untuk meminimalkan risiko kebutaan." 

              Sedangkan risiko pada janin pun tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, 
jelas Judi, ibu hamil penderita APS dikhawatirkan tak bisa mencukupi suplai darahnya 
ke plasenta bagi si janin. Padahal, kebutuhan janin akan terus meningkat seiring 
dengan bertambahnya usia. Sementara di saat yang bersamaan antibodi antiphospholipid 
yang terbentuk semakin banyak. 

              Akhirnya, kesenjangan ini akan semakin besar. Sementara tak ada yang 
bisa memprediksikan seberapa lama janin akan mampu bertahan terhadap kesenjangan 
tersebut. 

              Pada kasus-kasus semacam ini, lanjut Judi, sejak awal janin bisa saja 
tak pernah terbentuk alias sudah meninggal dalam periode embrio sebelum mencapai usia 
8 minggu. Selain kian berpeluang gugur atau lahir prematur mengingat grafik 
pertumbuhannya biasanya jauh di bawah garis semestinya. Kalaupun mampu bertahan 
umumnya lahir dengan berat rendah, janin mati dalam kandungan atau meninggal begitu 
dilahirkan. Hanya saja, tegas Judi, perlu diingat, APS sama sekali tak menimbulkan 
kecacatan seperti halnya penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksoplasma, misalnya. 

              TAK ADA KECACATAN 

              Sayangnya, pantauan di awal-awal kehamilan tergolong sulit karena si ibu 
nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Dalam arti, hingga 12 minggu pertama usia kehamilan, 
ia tak tahu apakah perkembangan janinnya baik atau tidak karena relatif tak ada 
perubahan fisik yang berarti alias sama saja dengan ibu hamil pada umumnya. Lain hal 
bila sudah agak besar dan si ibu bisa merasakan gerakan janinnya. Semisal gerakan jadi 
berkurang/melemah maupun pengukuran kesesuaian tinggi rahim dengan usia kehamilan 
untuk menilai apakah pertumbuhan janin terganggu atau tidak. Bila si ibu kurus akan 
lebih mudah dinilai, apakah besar kehamilannya cukup atau tidak. Sementara pada ibu 
yang bertubuh subur, tumpukan lemak sering mengecoh. Dari penilaian ini pun, terang 
Judi, bisa sekaligus dipantau apakah ada komplikasi preeklampsia yang menyertai atau 
tidak. Antara lain bila si ibu cenderung mengalami penambahan berat badan berlebih 
sementara bayinya tak berkembang. 

              Mengingat APS termasuk kehamilan berisiko tinggi, ungkap Judi, dokter 
kandungan akan lebih saksama memeriksa/memantau perkembangan janin lewat USG, termasuk 
mengikuti perkembangan plasentanya. Sebab, pada kasus-kasus APS, plasenta cenderung 
gampang rusak dan kerusakan bisa terjadi kapan saja. "Padahal, pada ibu hamil dengan 
kondisi normal, rusak sedikit saja berupa kebocoran kecil bisa berakibat fatal. Nah, 
dapat dibayangkan apa yang terjadi pada ibu hamil dengan APS. Soalnya,kelangsungan 
hidup janin amat bergantung pada kualitas plasenta." 

              Kendati begitu, tukas Judi dan Karmel, ibu hamil yang terkena APS tak 
perlu kelewat pesimis. Sebab, dengan terapi pengobatan yang terkontrol dan terpadu di 
antara para dokter ahli, kelainan ini bisa ditangani. Lewat terapi obat dan suntikan, 
darah diharapkan semakin encer dengan bertambahnya usia kehamilan. "Dengan catatan, si 
ibu harus rajin kontrol dan teratur menjalani terapi," tutur Judi. 

              Bahkan, tutur Karmel, selama ini anak-anak yang lahir dari ibu dengan 
APS tak menunjukkan kelainan apa pun. "Mereka terlihat seperti layaknya anak-anak yang 
dilahirkan dari ibu-ibu yang normal, kok. Tak ada kecacatan sama sekali. Sebab, obat 
dan suntik yang diberikan memang dimaksudkan untuk memperbaiki aliran darah si ibu ke 
janin. Kalau makin cepat terdeteksi, makin cepat pula aliran darah diperbaiki." 

              Memang, tambah Judi, bisa saja terjadi anak mengalami retardasi mental 
akibat lingkar kepala kecil lantaran pertumbuhan yang terhambat. "Tapi, kan, kita 
selalu harus mengembalikan segalanya pada kehendak Yang Maka Kuasa. Tak perlu pesimis, 
apalagi sampai ambil keputusan untuk menggugurkan kandungan." 

              BISA LAHIR NORMAL 

              Mengingat kehamilan dengan APS termasuk kelompok kehamilan risiko 
tinggi, Judi menyarankan agar ibu hamil menjaga kehamilannya ekstra hati-hati. 
Artinya, seperti halnya menjalani kehamilan pada umumnya, ibu hamil disarankan tidur 
minimal 8 jam, cukup istirahat dan menurunkan tingkat stres, di samping membina 
kebiasaan makan yang benar, baik kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan aktivitas 
lain bebas dilakukan sepanjang tidak membahayakan kehamilan. 

              Kendati belum diketahui pasti makanan apa saja yang bisa membantu 
mengencerkan darah, ibu hamil dengan kelainan APS amat dianjurkan mengkonsumsi makanan 
yang serba alami, yakni yang tak mengandung pengawet dan penyedap semisal junk food. 
Tujuannya semata-mata untuk meminimalkan benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh. 
Begitu juga paparan zat-zat kimia yang bisa menjadi pemicu, semisal insektisida dan 
polusi udara. Juga infeksi virus maupun bakteri. Sebab, infeksi semisal herpes atau 
tokso akan memperparah kondisi atau boleh jadi APS-nya dipicu oleh infeksi virus tadi. 

              Dianjurkan pula minum banyak air putih, minimal 2 liter sehari. 
Masalahnya, mereka yang jarang minum dikhawatirkan darahnya mudah mengental, padahal 
tubuh tetap melakukan penguapan lewat keringat dan cairan yang terbuang melalui BAK. 
Meski tidak berarti air putih bisa langsung mengencerkan darah penderita. 

              Yang diduga menjadi salah satu pemicu APS adalah konsumsi obat-obatan 
tertentu yang memunculkan antibodi antiphospholipid, semisal yang biasa dipakai dalam 
pengobatan epilepsi. Sedangkan jenis virus dan bakteri bisa apa saja, namun tidak 
semua virus/bakteri menimbulkan antibodi antiphospholipid. "Sama halnya dengan udang 
yang bisa menimbulkan alergi berupa gatal-gatal pada orang yang satu, tapi tidak pada 
yang lain." 

              Sedangkan untuk proses persalinan, menurut Karmel maupun Judi, pada 
dasarnya tak berbeda dengan ibu hamil lainnya. Dalam arti, si ibu bisa tetap 
melahirkan normal/spontan jika memang tidak ada indikasi lain. Hanya, tegas Karmel, 
tim medis harus tetap bersiap-siap terhadap kemungkinan terjadinya pembekuan darah 
saat persalinan. Alasan ini pula yang dijadikan sebagai salah satu pertimbangan 
diperlukannya tindakan sesar. Terlebih bila terjadi persalinan lama atau lebih dari 8 
jam. "Semata-mata agar si ibu tidak terlalu lelah yang akan semakin memperburuk 
kondisinya," ungkap Judi. 

                

              Th. Puspayanti. Ilustrasi : Pugoeh (nakita) 
             

       
         
       
              Kelompok Beresiko

              Menurut Karmel maupun Judi, wanita hamil yang memiliki riwayat 
ginekologis buruk semisal keguguran berulang, janin mati dalam kandungan dan 
preeklampsia semasa kehamilan terdahulu memang berpeluang lebih besar terkena APS pada 
kehamilan-kehamilan berikutnya. Ancaman serupa juga perlu diwaspadai oleh pria dan 
wanita tak hamil yang mengidap penyakit "kerabat" pembuluh darah semisal jantung dan 
stroke. 

              Hanya saja, tandas Karmel dan Judi, bukan cuma mereka, lo, yang 
terancam. Pasalnya, sindrom yang satu ini bisa mengena siapa saja: laki-laki maupun 
perempuan, kelompok berumur alias tua maupun yang masih muda belia. Karena selain 
hal-hal yang diduga yang menjadi pemicu di atas, siapa pun berkemungkinan terkena APS 
tanpa sebab yang pasti. 

              Yanti
             

       

   

        NO. 30/XXX/24 - 30 September 2001
        
       


  Kesehatan 

  Kehamilan 
  Bila Janin Dianggap Benda Asing 

  Keguguran berkali-kali bisa disebabkan oleh antibodi si ibu yang membuat janin tak 
bisa berkembang. Dengan deteksi dan terapi dini, keguguran semacam itu bisa dicegah. 


------------------------------------------------------------------------------

  KALAU saja semua berjalan lancar, Eni—sebut saja begitu—mestinya sudah menjadi ibu 
empat orang anak. Namun, ”bayi-bayi” yang dikandungnya tak pernah betah tinggal di 
rahimnya. Kehamilannya selalu berakhir ketika usia janin baru berjalan sekitar tiga 
minggu. 

  Keguguran berulang itu tentu saja tak di-kehendaki wanita berusia 35 tahun ini. 
Namun, tanpa disadarinya, justru tubuhnya sendiri yang telah memaksa janin keluar 
sebelum waktunya. Ternyata, Eni mempunyai antibodi yang ke-lewat aktif menyensor benda 
asing—termasuk janin—dalam tubuhnya. Anticardiolipin namanya. Antibodi itulah yang 
merusak plasenta sehingga bayi kehilangan saluran untuk mengakses makanan dan oksigen 
yang dibutuhkannya. Tapi kenapa antibodi itu memboikot makanan sumber penghidupan 
jabang bayi? Itulah yang sampai sekarang masih belum jelas. 

  Meski sudah diketahui sejak 1985, anticardiolipin memang masih termasuk ”benda 
asing” dalam dunia kedokteran. Masih banyak hal yang belum terungkap. Bagi Karmel L. 
Tambunan, guru besar penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), 
antibodi yang bisa menyumbat di mana-mana hingga menyebabkan serangan stroke, gagal 
jantung, varises, buta, dan tuli itu termasuk pengetahuan yang tergolong baru. Tak 
mengherankan bila antibodi ini menjadi salah satu bahasan menarik dalam Kongres 
Nasional Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia IX, di Semarang, awal 
September lalu. 

  Antibodi anticardiolipin tidak dimiliki se-tiap orang. Menurut dokter kebidanan dan 
kandungan Hasnah Siregar, ada orang tertentu yang memiliki antibodi itu karena bawaan. 
Pada perempuan hamil, kandungan antibodi anticardiolipin yang tinggi menyebabkan 
penggumpalan darah (trombosis) yang akhirnya menyumbat plasenta. Akibatnya, sel darah 
merah yang membawa pasokan zat gizi dan oksigen tidak tersalur ke bayi. Buntutnya, 
jika tidak keguguran, biasanya janin tidak berkembang atau mati dalam kandungan. 

  ”Orang yang terserang antibodi anticardiolipin ini secara klinis memang dapat 
dilihat jika wanita hamil mengalami keguguran berulang-ulang atau wanita berkeluarga 
tidak hamil-hamil,” ujar Haryanto Reksodiputro, guru besar hematologi (ilmu darah) dan 
onkologi (ilmu tentang kanker) dari FKUI. Sepanjang pengalaman Haryanto, 60 persen 
kasus keguguran kandungan berulang disebabkan oleh serangan dari antibodi itu. 

  Memang tidak semua kasus keguguran berulang disebabkan oleh antibodi 
anticardiolipin. Ada beberapa faktor yang harus dilihat sebelum mencurigai 
anticardiolipin sebagai biang keladi keguguran berulang-ulang. Menurut Hasnah, ia akan 
memeriksa apakah si ibu pernah mengalami tiga kali keguguran atau lebih secara 
berurutan tanpa sebab jelas. Ia juga akan menelisik terjadinya kematian fetus, apakah 
setelah 10 minggu usia kehamilan atau tidak. Kadang-kadang kelahiran prematur atau 
kehamilan yang bisa mencapai 34 minggu tapi disertai keracunan (preeklamsia) berat 
atau kelainan pada plasenta juga bisa menggiring kecurigaan terhadap aktivitas 
antibodi anticardiolipin. Pendeknya, ”Tidak semua kejadian keguguran langsung bisa 
dinyatakan sebagai kasus anticardiolipin,” ujar Hasnah. Keguguran, katanya, bisa juga 
disebabkan oleh penyakit tumor atau infeksi. 

  Meski begitu, bagi wanita yang pernah keguguran, saat hamil lagi, disarankan 
memeriksakan diri ke ahli kandungan atau ahli darah. Deteksi dini setidaknya 
memungkinkan terapi segera yang bisa menghalangi aktivitas antibodi anticardiolipin 
sebelum menggila dan menghabisi hidup jabang bayi. Terapi melawan antibodi ini 
tampaknya cukup ampuh. Haryanto mencatat, dalam tiga tahun belakangan, di Rumah Sakit 
Cipto Mangunkusumo terjadi 251 kasus keguguran berulang-ulang, tapi 95 persen di 
antaranya bisa ditangani hingga para ibu itu berhasil mempunyai anak. 

  Bagaimana caranya? Pengobatan dilakukan, antara lain, dengan suntikan obat heparin 
(antipembekuan) selama kehamilan. Obat ini menjamin bayi mendapat pasokan makanan yang 
cukup. Lama pengobatannya sendiri bisa bervariasi. Menurut Hasnah, pemakaian obat akan 
dihentikan pada tiga minggu sebelum waktu kelahiran bayi. Terapi Haryanto dan Karmel 
agak berbeda. Mereka menyarankan agar obat diberikan terus hingga bayi lahir. Haryanto 
menyarankan hingga 40 hari setelah kelahiran, sementara Karmel hanya melakukannya 
hingga tiga hari setelah bayi lahir. Alasan Haryanto, obat akan mencegah ter-jadinya 
trombosis pada ibu. Bila dihentikan sebelum 40 hari, gumpalan darah yang terjadi di 
kandungan bisa masuk ke otak, paru-paru, atau tempat lain. 

  Perbedaan lama terapi itu boleh jadi karena pemahaman para dokter terhadap 
anticardiolipin tidak sama. Bisa jadi pula itu karena misteri antibodi ini memang 
belum seluruhnya terkuak. Namun, yang penting buat pasien, antibodi itu bukan momok 
yang tak tertaklukkan. ”Memiliki antibodi anticardiolipin bukan berarti dunia menjadi 
gelap. Itu bisa dinormalkan dengan terapi,” Hasnah menegaskan.

   

   

Kirim email ke