Berbeda, tetapi Bukan Anak "Aneh" 
SEPANJANG perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu, seperti tidak 
bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi telinganya. Sang ibu tak berani 
mengusik anak sulungnya. "Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu 
waktu mendengar kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain yang 
kehilangan neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu amat," ujar Dewi.

BEGITU turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di pintu masuk. Ketika 
mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali menutupi telinganya dan tampak 
ketakutan. Pandangannya terus menuju ke luar pintu. Setelah itu Ardi mengatakan 
kepalanya sakit, dan tidak ikut ke makam.

Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar suara petir siang 
tadi. Sang ibu menjawab, "Tidak." "Masak Mama enggak dengar, kan keras sekali dan 
terus- terusan, Ma," kata Dewi menirukan ucapan Ardi saat itu. "Sehabis itu Ardi 
menceritakan semuanya," lanjut Dewi. Selain petir, Ardi melihat burung besar di pintu 
rumah sang nenek. "Burung itu enggak pergi-pergi," ujar Ardi seperti ditirukan Dewi.

Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju sebuah gerbang. Saat 
itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih keras dari sebelumnya, dan ia 
menyaksikan neneknya melangkah melewati gerbang, terus berjalan menuju tempat yang ia 
katakan "indah sekali".

Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak lagi terkejut 
mendengar penuturan anak mereka. "Dia sering melihat macam- macam, tetapi biasanya 
diam. Ia hanya mau berbicara sesudahnya, pelan-pelan dan hanya kepada orang tertentu," 
sambung Dewi.

Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas. IQ-nya antara 
125-130. "Tapi gurunya bilang ia suka bengong di kelas," sambung Dewi. Kepada ibunya, 
ia bercerita melihat macam-macam di sekolah, yang tidak bisa dilihat orang lain, di 
antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia merasa sangat kasihan.

Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh sang ibu, ia 
mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari berikutnya ia bercerita, anak 
itu datang di sekolahnya. Ketika ditanya di mana ia tinggal, anak itu menjawab, "Di 
sana," sambil telunjuknya menunjuk ke arah atas. "Ada apa di sana?" tanya Ardi. Anak 
itu menjawab, "Ada orang gede- gede buanget. Anak itu omongnya juga medhok lho Ma, 
kayak aku, persis," tutur Ardi seperti diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada 
orang lain melihat "anak itu" kecuali Ardi.

Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga adiknya. Beberapa 
anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih dibandingkan dengan orang kebanyakan. 
Pada Ardi hal itu sudah terdeteksi saat masih bayi. "Kalau dengar suara azan, Ardi 
tampak mendengarkan dengan penuh konsentrasi," kenang Dewi. Menjelang usia 1,5 tahun, 
Ardi membaca kalimat syahadat secara sambung-menyambung seperti wirid. Sesudah bisa 
jalan, sebelum usia dua tahun, ia mulai mengambil sajadah sendiri, memakai sarung 
sendiri dan membuat gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu shalat.

Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. "Ia melihat dan mendengar apa 
saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak bisa dengar," katanya. Ia tidak 
menceritakan situasi anaknya itu pada setiap orang di luar keluarga. "Kalau enggak 
percaya bisa-bisa anak itu dianggap berkhayal," lanjutnya.

Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia juga memiliki 
kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu. "Suatu sore, sehabis shalat, saya 
merasa ada bayangan putih. Ardi rupanya juga melihat karena ia tersenyum. Dia bilang, 
'Ma, ada yang ngikutin, perempuan. Tapi orangnya baik sekali.' Ketika saya tanya 
siapa, Ardi tidak menjawab."

Suatu hari, Dewi membaca majalah yang menulis tentang tanda-tanda anak indigo. "Lha 
saya pikir kok persis sekali sama anak saya. Lalu saya berusaha menemui dr Erwin di 
Klinik Prorevital."

ANAK-ANAK dengan kemampuan seperti Ardi bukan hal yang baru di dunia, tetapi 
fenomenanya semakin jelas 20 tahun terakhir ini. Beberapa film mengisahkan kemampuan 
anak dan manusia dewasa dengan kemampuan semacam itu, di antaranya The Sixth Sense, 
dan film-film seri seperti The X Files.

Menurut dr Tubagus Erwin Kusuma SpKj, psikiater yang menaruh perhatian pada masalah 
spiritualitas, anak-anak seperti itu semakin muncul di mana-mana di dunia, melewati 
batas budaya, agama, suku, etnis, kelompok, dan batas apa pun yang dibuat manusia 
untuk alasan-alasan tertentu.

Fenomena itu menarik perhatian banyak pihak, karena dalam paradigma psikologi manusia, 
anak-anak itu dianggap "aneh". Pandangan ini muncul karena selama ini kemanusiaan 
telanjur dianggap sebagai hal yang statis, tak pernah berubah. "Padahal, semua ciptaan 
Tuhan selalu berubah," ujar dr Erwin.

Sebagai hukum, masyarakat cenderung memahami evolusi tapi hanya untuk yang berkaitan 
dengan masa lalu. "Fenomena munculnya anak-anak dengan kemampuan seperti itu merupakan 
bagian dari evolusi kesadaran baru manusia, yang secara perlahan muncul di bumi, 
terutama sejak awal milenium spiritual sekitar tahun 2000 yang disebut Masa Baru, The 
New Age, atau The Aquarian Age. Semua ini merupakan wujud kebesaran Allah," tegas 
Erwin.

Fisik anak-anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, tetapi batinnya tua (old soul) 
sehingga tak jarang memperlihatkan sifat orang yang sudah dewasa atau tua. Sering kali 
ia tak mau diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau mengikuti tata cara maupun 
prosedur yang ada. Kebanyakan anak indigo juga memiliki indra keenam yang lebih kuat 
dibanding orang biasa. Kecerdasannya di atas rata-rata.

Istilah "indigo" berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan 
kombinasi biru dan ungu, diidentifikasi melalui cakra tubuh yang memiliki spektrum 
warna pelangi, dari merah sampai ungu. Istilah "anak indigo" atau indigo children juga 
merupakan istilah baru yang ditemukan konselor terkemuka di AS, Nancy Ann Tappe.

Pada pertengahan tahun 1970-an Nancy meneliti warna aura manusia dan memetakan artinya 
untuk menandai kepribadiannya. Tahun 1982 ia menulis buku Understanding Your Life 
Through Color. Penelitian lanjutan untuk mengelompokkan pola dasar perangai manusia 
melalui warna aura mendapat dukungan psikiater Dr McGreggor di San Diego University.

Dalam klasifikasi yang baru itu Nancy membahas warna nila yang muncul kuat pada hampir 
80 persen aura anak-anak yang lahir setelah tahun 1980. Warna itu menempati urutan 
keenam pada spektrum warna pelangi maupun pada deretan vertikal cakra, dalam bahasa 
Sansekerta disebut cakra ajna, yang terletak di dahi, di antara dua alis mata.

"Itulah mata ketiga," ujar dr Erwin. The third eye itu, menurut dia, berkaitan dengan 
hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epificis (pineal body) di otak. Dalam peta 
klasifikasi yang dibuat Nancy, manusia dengan aura dominan nila dikategorikan sebagai 
manusia dengan intuisi dan imajinasi sangat kuat.

"Letak indigo ada di sini," jelas Tommy Suhalim sambil menjalankan perangkat teknologi 
pembaca aura, aura video station (AVS). Alat yang protipenya dibuat oleh Johannes R 
Fisslinger dari Jerman tahun 1997 ini lebih canggih dibandingkan perangkat teknologi 
serupa yang ditemukan Seymon Kirlian tahun 1939, dan Aura Camera 6000 yang dibuat Guy 
Coggins tahun 1992 berdasarkan Kirlian Photography.

Tom menunjukkan titik berkedip berwarna nila tua, sangat jelas di antara kedua mata 
Vincent Liong (19). Murid kelas dua tingkat SLTA di Gandhi International School itu 
sudah menulis buku pada usia 14 tahun dan bukunya diterbitkan oleh penerbit terkemuka 
di Indonesia. Buku Berlindung di Bawah Payung itu merupakan refleksi, berdasarkan 
kejadian sehari- hari yang sangat sederhana.

Pergulatan pemikiran yang muncul dalam tulisan-tulisannya kemudian seperti datang dari 
pemikiran orang bijak, dan menjadi bahan pembicaraan. Pemilihan angle-nya tidak biasa, 
dan hampir tidak terpikir bahkan oleh orang dewasa yang menekuni bidang itu. 
Belakangan ia banyak menulis soal spiritual, namun tetap dilihat dalam konteks ilmiah 
dan rasional.

Mungkin karena minatnya yang sangat besar pada dunia tulis-menulis, Vincent tidak 
terlalu berminat dengan beberapa mata pelajaran di sekolahnya. Orangtuanya yang 
tergolong demokratis pun sering tidak mengerti apa yang diingini anaknya yang ber-IQ 
antara 125-130 ini. "Dia keras kepala. Kemarin ia tidak mau ikut ujian matematika," 
sambung Liong, ayahnya.

Vincent mengaku "takut" pada matematika sejak kecil, tapi mengaku disiplin pada aturan 
mainnya sendiri. "Sejak kecil aku bingung pada dogma satu tambah satu sama dengan dua. 
Aku juga bingung dengan ilmu ekonomi karena dalam realitas sosial berbeda," tegas 
Vincent.

Toh sang ibu sudah menengarai keistimewaan anaknya sejak bayi. Waktu SD, Vincent biasa 
bergaul dengan gurunya, dan orang-orang setua gurunya. Pertanyaannya banyak dan sangat 
kritis. "Saya langganan dipanggil guru bukan hanya karena anak itu sulit. tetapi juga 
karena karangan-karangannya membuat guru-gurunya kagum," ujar Ny Ina.

Vincent sudah menulis tentang teleskop berdasarkan pengamatan dan referensi pada usia 
SD. "Di rumah ia membawa ensiklopedi yang besar- besar itu ke kamarnya," ujar Ny Ina. 
"Kamarnya kayak kapal pecah. Tidurnya dini hari karena menulis," sambung Liong. "Saya 
sering meminta agar ia menyelesaikan pendidikan formalnya dulu, karena bagaimanapun 
itu sangat penting," lanjut Liong.

"PENDIDIKAN formal sangat penting karena anak-anak indigo harus membumikan 'ilmu 
langitnya' untuk kebaikan manusia. Bukan sebaliknya," ujar Rosini (40). Ia 
menganjurkan, agar anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda itu tidak dieksploitasi 
oleh orangtua dan lingkungannya untuk mencari nomor togel atau menjadi dukun atau 
klenik. "Bukan itu misi anak-anak indigo," tegas Rosi.

Anak-anak itu sebenarnya punya mekanisme pertahanannya sendiri. Annisa, misalnya. 
Gadis kecil berusia 4,5 tahun ini tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris beraksen 
Amerika begitu ia bisa bicara pada usia 2,5 tahun. Padahal orangtuanya tidak berbahasa 
Inggris dengan baik. Meski tampak menggemaskan, dalam banyak hal ia berbicara dan 
bersikap seperti orang dewasa, bahkan menyebut dirinya "orang Amerika" karena "datang 
dari Amerika". Nisa menyebut ibunya, Yenny bukan dengan panggilan mama.

Kemampuan melihat dan mendengar Nisa sangat tajam pada pukul 23.00 sampai dini hari. 
Tetapi kalau secara sengaja diminta memperlihatkan kemampuannya, ia akan menolak 
dengan tidak memperlihatkan kemampuan itu sehingga ia tampak seperti anak-anak 
lainnya," ujar Yenny. Kata sang ibu, Nisa tidak mudah bersalaman dengan orang. Ia 
seperti tahu orang yang suka pergi ke dukun atau memakai jimat. Namun sebagai 
anak-anak Nisa juga suka menyanyi dan bermain.

Jenis dan kemampuan anak indigo bermacam-macam. Meski memiliki kepekaan yang kuat, 
kepekaan mendengar dan melihat sesuatu yang tidak didengar dan dilihat orang 
kebanyakan, berbeda-beda gradasinya.

Menurut Lanny Kuswandi, fasilitator program relaksasi di Klinik Prorevital, mengutip 
dr Erwin, "Ada tipe humanis, tipe konseptual, tipe artis, dan tipe interdimensional. 
Pendekatan terhadap mereka juga berbeda-beda," sambungnya.

Namun karena dianggap "aneh", tak jarang diagnosisnya keliru dan penanganannya lebih 
bersandar pada obat-obatan. "Ada anak indigo yang dianggap autis, ADHD 
(Attention-Deficit Hyperatictve Disorder) maupun ADD (Attention Deficit Disorder). 
Padahal tanda-tandanya berbeda," sambung Erwin. Kekeliruan semacam ini juga terjadi di 
AS, karena banyak ahli menganggap anak-anak itu menderita "gangguan" yang harus 
dihilangkan.

"Saya beberapa kali pergi ke psikolog dan psikiater," ujar Rosini. Profesional di 
suatu perusahaan swasta terkemuka itu suatu saat dalam hidupnya merasa sangat 
terganggu oleh suara-suara itu. Orangtuanya juga merasa anaknya "aneh" karena kerap 
memberi tahu peristiwa yang akan terjadi, tetapi menolak mengakui kemampuan anak itu.

"Dalam tes yang dibuat oleh mereka, saya dinyatakan sehat. Tidak ada gangguan apa 
pun," sambung Rosini. Sebaliknya, ia melihat psikolog dan psikiater yang melakukan tes 
terhadap dirinyalah yang bermasalah. Ia juga pernah mencoba mencari paranormal untuk 
membuang kemampuannya itu, meski suara-suara itu mengatakan "jangan".

Akhirnya Rosi berdamai dengan dirinya dan mengembalikan kemampuannya sebagai wujud 
kebesaran Allah SWT, dengan berusaha untuk terus mendekatkan diri pada Sang Pencipta. 
Karena itu ia ingin membantu orangtua dengan anak-anak indigo agar anak- anak itu 
tidak melewati masa pencarian yang rumit seperti dirinya.

Indigo children, menurut Erwin, bukan fenomena terakhir, karena akan lahir anak-anak 
yang disebut sebagai crystal children. "Anak-anak dengan warna dasar aura, bening dan 
lengkap. Mereka lahir dari orangtua yang spiritual."

Mungkin Cita (9) termasuk anak itu. Keluarganya, sampai nenek-neneknya, spiritualis. 
Ia bisa melihat sinar dan malaikat di rumah ibadah, khususnya ketika orang-orang 
sedang berdoa. Ini hanya salah satu kemampuan "melihat" milik anak yang selalu 
mendapat rangking di sekolah itu. Cita tahu kapan hujan akan turun hari itu dan 
sebaliknya, meskipun mendung sudah menggantung.

"Ia menjadi teman dan penasihat kami, bapak-ibunya. Di sekolah, di keluarga besar 
kami, terasa ia menebarkan aura kedamaian dan kebahagiaan. Anak itu sangat tenang dan 
pemaaf," ujar ibunya, Ny Dita. (MH)



Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/27/keluarga/1111602.htm

From


Hartono
Material Contol


Kirim email ke