Sumber : Milis Apik
-----------------------------
Menyambut Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2004,

saya buka kembali buku hidup saya, sebagai bahan perenungan bagi para
orang tua

Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor.
Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu
itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang
duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi
itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu
murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya
untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut
saya tanyakan kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya
menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk
mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya
kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk
menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi
soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil
bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana
skor untuk aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu
pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 -
160. Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak
lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2
tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut Psikolog, perlu
dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu Psikolog itu dengan
santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu
seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian. 

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti
serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang
dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang
menurutnya menjadi salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan
verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika.
Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya
berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."

Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya
kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu
saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga
saya merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya
bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca
buku cerita, kapan waktunya main game di computer dan sebagainya. Waktu
itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu
menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya
yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk
sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu
pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi
ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain
sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."

Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya
"Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan
sesuatu" Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika
tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini
dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari,
seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun
pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum
tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan
sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana
memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh
kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ...." 

Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal saya
merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin,
hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan
sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin
menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua
lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita
atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk
sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .." 

Dikapun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"

Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan
bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk
berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan
adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan
memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah
dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua
tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu
tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau
menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan
untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya.
Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa
menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat
kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."


Dikapun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja". Saya
cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang
sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang
menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan
gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah
sesuatu yang penting untuk anak saya.

Dengan jawabab Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa
kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan
Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu
pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....", 

Dikapun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar,
paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui
kesalahannya dan meminta maaf kepadaku". Memang dalam banyak hal, orang
tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari
kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya
sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas
kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari
........."

Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar " Aku
ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan
memeluk adikku" Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir
setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi
dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang
seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah.
Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak
sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai
tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari
......"

Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata
"tersenyum" Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa
perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal
kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan
melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi
bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari
ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku...." 

Dikapun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"
Saya tersentak sekali ! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama
yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun
sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau
Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti
laki-laki. Sedangkan Le dari kata "Tole", kependekan dari kata "Kontole"
yang berarti alat kelamin laki-laki. Waktu itu saya merasa bahwa
panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu merupakan sesuatu
yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa. 

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
memanggilku .." 

Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli". Selama ini suami
saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari
Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat
Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak
Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To
Respect Child Rights is an Obligation, not a Choise" sebuah seruan yang
mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan
Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena
telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah
anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang
jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun
anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus
diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang
tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para
ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat ALLAH.

Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2004, saya
ingin mengingatkan kembali kepada para orang tua supaya selalu berpikir,
bersikap dan melakukan hal-hal yang dikehendaki ALLAH.

(Ditulis oleh :
Lesminingtyas)----------------------------------------------


Semoga bermanfaat
Dede Maulana
- "Sebuah sukses lahir bukan karena kebetulan, atau keberuntungan
semata... 
Sebuah sukses terwujud karena diikhtiarkan, melalui perencanaan yang
matang, keyakinan, kerja keras, keuletan dan niat baik."(Andrie Wongso)
  Dikutip dari: eBook 3 Kunci Kesuksesan Hakiki, jika anda berminat
memilikinya
  hubungi saya via email:
mailto:[EMAIL PROTECTED]
  Dan dapatkan berbagai bonus yg menarik dari kami.


---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke