fyi

Sumber: http://www.eramuslim.com/br/fo/47/12057,1,v.html
TV: Guru Setia yang Ajarkan Anak Amoral, Borju dan Kekerasan

Publikasi: 27/07/2004 08:22 WIB
eramuslim - Televisi tidak bisa dipungkiri, kini boleh jadi telah menjadi pengasuh 
setia masyarakat. Tak terkecuali anak-anak. Yang jadi masalah, kalau anak-anak 
menonton tayangan telivisi yang tidak sesuai dengan usianya. Misalnya, tayangan seks 
dan kekerasan. Anak-anak yang masih rentan daya kritisnya, akan mudah sekali 
terpengaruh dengan isi dan materi tayangan televisi yang ditontonnya, dan pengaruhnya 
bisa terbawa sampai mereka dewasa. 
Oleh sebab itu para orang tua senantiasa diingatkan untuk menerapkan kontrol yang 
ketat terhadap kebiasaan menonton tivi bagi anak-anaknya. Karena kalau tidak dimulai 
dari sekarang, dampaknya sangat membahayakan buat perkembangan jiwa mereka.

Survei membuktikan
Sudah banyak survei-survei yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tayangan 
televisi dan pola menontonnya di kalangan anak-anak. Sebuah survei yang pernah 
dilakukan harian Los Angeles Times membuktikan, 4 dari 5 orang Amerika menganggap 
kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab itu sangat berbahaya kalau 
anak-anak sering menonton tayangan TV yang mengandung unsur kekerasan. 

Kekerasan di TV membuat anak menganggap kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan 
masalah. 
Hasil penelitian oleh Dr. Leonard Eron dan Dr. Rowell Huesmann dari University of 
Michigan menunjukkan, anak yang menghabiskan waktu dengan menonton TV cenderung lebih 
agresif. Apalagi kalau yang ditontonnya adalah tayangan yang buruk dan penuh dialog 
kasar. Anak bisa terdorong untuk melakukan hal yang sama.

Sementara itu, Mary Win dalam bukunya The Plug-In-Drug dan Unplugging The Plug-In-Drug 
mengungkapkan sejumlah dampak menonton televisi bagi anak-anak. Antara lain bisa 
menimbulkan ketagihan dan ketergantungan serta pola hidup konsumtif di kalangan 
anak-anak. Anak-anak akan merasa pantas untuk menuntut apa saja yang ia inginkan, 
alias anak akan menuntut gaya hidup borju. 

Psikolog yang biasa mengasuh rubrik Anda dan Buah Hati di sebuah majalah keluarga, Evi 
Elvianti pada eramuslim mengungkapkan, dari tayangan TV seorang anak bisa meniru 
pola-pola perilaku baru yang bisa mereka pelajari. Dan yang memprihatinkan pola-pola 
perilaku baru itu kebanyakan yang bersifat negatif. Karena buat seorang anak, ketika 
ia menonton TV, yang ia serap hanyalah bentuk tayangan atau tampilannya saja. 

"Karena usia mereka belum mampu untuk menangkap nilai moral apa sebenarnya yang ingin 
disampaikan dari tayangan tersebut. Biar bagaimanapun, unsur hiburan menjadi alasan 
utama bagi anak-anak ketika melihat sebuah tayangan tivi," jelas Evi. 

Evi sependapat kalau menonton tv bisa menjadi candu bagi anak-anak. Namun Evi lebih 
menekankan dampak kecanduan ini hanya bagi anak-anak yang tidak punya alternatif 
kegiatan lain di rumah. Padahal menurut Evi, tidak sulit untuk memberikan kegiatan 
alternatif pada anak-anak agar tidak mengisi waktu luangnya hanya dengan menonton 
tivi. Misalnya, setelah satu jam menonton TV, si anak diajak bermain dengan kakaknya, 
kemudian membantu ibunya.

Terlepas dari baik buruknya tayangan televisi yang ditonton seorang anak, pola 
menonton tivi yang tidak terkontrol akan menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak. 

"Yang pertama, ketrampilan anak jadi kurang berkembang. Usia anak adalah usia dimana 
si anak sedang mengembangkan segala kemampuannya seperti kemampuan berkomunikasi, 
bekerjasama dengan orang lain dan kemampuan mengemukakan pendapat. Dampak lainnya, 
disadari atau tidak, perilaku-perilaku yang dilihat di TV akan menjadi satu memori 
dalam diri si anak dan akibatnya si anak menjadi meniru yang bisa berkembang menjadi 
karakter pribadinya di kemudian hari, kalau tidak segera diantisipasi," papar Evi.

Jadi jangan heran, kalau orangtua melihat tingkah anaknya yang kasar atau suka 
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan, meski orang tua setengah mati 
meyakinkan bahwa mereka tidak pernah mendidik anaknya seperti itu. Bisa jadi, itu 
akibat pola menonton tv yang tidak terkontrol.

Psikolog Evi Elvianti mengungkapkan, untuk usia anak-anak sampai 12 tahun, rentang 
waktu menonton tivi hanya 1 jam saja. Evi juga mengingatkan, anak-anak di bawah usia 2 
tahun, sebaiknya jangan dibiasakan menonton televisi. 
Dampak pola menonton televisi yang tidak terkontrol sudah terlihat di kalangan 
anak-anak. Kepala Bagian Kajian Anak dan Media Yayasan Kesejahteraan Anak 
Indonesia-YKAI Guntarto mengungkapkan, anak- anak sekarang mengalami kesulitan 
konsentrasi dalam tingkat yang cukup mengkhawatirkan. 

"Di kepala anak-anak itu dunianya betul-betul sudah dunia TV. Mereka jadi malas 
belajar dan malas berkompetisi," ujarnya. 
Untuk sementara ini, karena belum ada regulasi yang jelas soal kriteria tayangan 
televisi, Guntarto menilai peran orang tua menjadi penting. YKAI juga menyarankan, 
agar waktu menonton tivi bagi anak-anak tidak lebih dari 2 jam. Untuk itu YKAI pernah 
menyarankan agar tayangan program anak di televisi untuk pagi hari dimulai dari jam 7 
sampai jam 9 pagi, dan untuk sore hari mulai jam 3 sampai maksimal jam 6 sore. 

Di Indonesia, menurut penelitian YKAI, anak-anak menghabiskan waktu sampai 35 jam per 
minggunya untuk menonton televisi. "Artinya rata-rata per harinya anak-anak menonton 
televisi selama 5 jam. Kalau kebiasaan menonton televisi sudah dibiasakan sejak kecil, 
kesulitan konsentrasi akan menjadi hal yang menakutkan dan bisa terbawa sampai dewasa. 
Selain itu juga akan mengurangi pemahaman anak-anak tentang bagaimana meraih 
kesuksesan. Di TV mereka selalu melihat orang kaya, cantik, sehingga mereka tidak 
mengetahui bagaimana sesungguhnya dalam kehidupan nyata mencapai proses seperti itu," 
papar Guntarto. 


Sama seperti Guntarto, Psikolog Evi Elvianti menekankan pentingnya peranan seluruh 
anggota keluarga untuk mengontrol pola menonton TV bagi anak-anaknya. Caranya, orang 
tua bisa menetapkan dan mensosialisasikan pada seluruh keluarga termasuk pembantu 
rumah tangga, tentang aturan main waktu menonton televisi. 

"Orang tua juga bisa mengintensifkan komunikasi dengan anak-anaknya di rumah melalui 
telepon misalnya, dan menanyakan acara tivi apa yang sedang si anak tonton pada saat 
itu," ujar Evi. 

Tayangan Anak-Anak di TV Indonesia
Menjamurnya stasiun-stasiun televisi swasta, TV kabel dan penggunaan parabola di 
negara kita, tidak pelak lagi membuat makin bebasnya tayangan-tayangan tivi ditonton 
oleh anak-anak. Khusus untuk TV swasta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia-YKAI 
menghitung, sepanjang minggu ke-2 bulan Juli, jumlah program anak-anak dari semua 
stasiun televisi mencapai 123 program.

Kalau dibagi dalam jam, mencapai 180 jam. Jumlah ini, menurut Kepala Bagian Kajian 
Anak dan Media YKAI Guntarto, cukup tinggi.

"Dengan jumlah sebanyak ini orang tua apalagi anak-anak, akan mengalami kesulitan 
untuk memilih program mana yang cocok buat mereka, mana yang baik dan mana yang buruk. 
Apalagi tidak tersedia informasi yang cukup tentang tayangan-tayangan tersebut, yang 
bisa menjadi panduan bagi para orang tua," ungkap Guntarto.
Kalaupun ada informasi tentang tayangan televisi, yang diulas hanya ringkasan 
ceritanya saja. Bukan ulasan yang bersifat kritis, yang bisa menjadi acuan bagi orang 
tua untuk memutuskan program tivi itu cocok buat anaknya atau tidak. 

"Dari program anak yang jumlahnya ratusan tadi, hanya sekitar 10 persennya saja yang 
sebenarnya aman buat anak-anak," tambah Guntarto.

YKAI membagi tayangan anak-anak itu ke dalam katagori aman, biasa-biasa saja, dan 
katagori yang sebaiknya tidak ditonton. Tayangan yang masuk dalam katagori sebaiknya 
tidak ditonton, adalah tayangan yang banyak menampaikan adegan kekerasan, sikap anti 
sosial, intrik dan hal-hal lainnya yang sebenarnya tidak pantas dilihat anak-anak, 
tapi disajikan sebagai program untuk anak-anak. Contoh tayangan televisi yang menurut 
YKAI masuk dalam katagori sebaiknya tidak ditonton adalah sejumlah film karton dan 
tayangan sinetron lokal seperti sinetron Bulan Bintang, Ratu Malu dan Jenderal Kancil 
dan Si Yoyok.
Lebih dari itu, menurut Guntarto, ada program-program yang tidak diketahui secara 
pasti apakah program itu untuk anak-anak atau bukan. "Kadang-kadang ceritanya cerita 
anak-anak, tapi adegan orang dewasanya juga banyak sekali. Belum lagi iklan-iklan d 
isela-sela acara itu, juga banyak yang tidak sesuai untuk anak-anak," kata Guntarto.

Lebih lanjut Guntarto mengungkapkan, hampir semua televisi swasta memandang film 
kartun sebagai program untuk anak-anak. Padahal banyak film kartun yang tidak cocok 
buat anak-anak karena banyak adegan kekerasannya dan alur ceritanya rumit dan susah 
dipahami anak-anak.

Guntarto juga mengkritisi petunjuk tayangan yang dicantumkan sejumlah stasiun televisi 
seperti tanda 'BO' untuk 'bimbingan orang tua' yang dianggapnya tidak efektif. 
"Simbol-simbol ini juga banyak dipertanyakan orang. Karena program yang menurut kami 
tidak layak untuk anak-anak, diberi simbol BO, gimana itu, kan gak bener itu," kata 
Guntarto.

Menurut Guntarto, yang akan dipakai nantinya adalah standar program siaran dan pedoman 
perilaku penyiaran yang sedang dibuat Komisi Penyiaran Indonesia-KPI. Standar ini 
lebih memperhatikan nilai pendidikan dan harapan orang tua terhadap TV. "Kalau standar 
ini sudah bisa berjalan, pelan-pelan saya optimis isi program tv kita lebih terarah 
dan bisa memenuhi harapan para orang tua," tambah Guntarto. 

Regulasi menjadi penting mengingat anak-anak sangat rentan dan sensitif dengan hal-hal 
yang baru. Pengamat media Ade Armando menilai, selama ini memang tidak ada kebijakan 
yang pro pada pendidikan anak-anak. "Jadi mereka agak asal ya, bahkan sedihnya hal ini 
juga dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi besar," kata Ade.

Ade tidak menampik besarnya peran orang tua untuk mengontrol pola menonton dan 
tontonan TV anak-anaknya. Namun Ade juga menekankan perlu adanya peraturan yang keras 
yang mengatur soal perilaku tayangan anak-anak di televisi.
Buat Ade, tayangan anak-anak di televisi bukan soal buatan dalam negeri atau luar 
negeri, yang penting kualitasnya bagus dan sehat ditonton anak-anak. "Di negara-negara 
maju, pemerintahnya membantu dan mensubsidi pembuatan program-program tivi yang sehat. 
Anggaran belanja negaranya antara lain dialokasikan untuk membiayai program TV yang 
sehat, meskipun misalnya ratingnya rendah," ujar Ade.

Ade menyatakan, kepedulian masyarakat kita soal tayangan anak-anak yang sehat di TV 
cukup besar. Masalahnya, industri dan pemilik modal bisnis pertelevisian lebih kuat, 
sehingga kepentingan bisnis lebih diutamakan ketimbang idealisme. 
Bagaimana TV Swasta Menentukan Program Anak-Anak

Meski TV-TV swasta banyak menampilkan program anak-anak, fakta di lapangan 
memperlihatkan masih banyak program anak-anak yang kurang sesuai untuk usia anak. 
Bagaimana sebenarnya pihak TV menentukan suatu program anak layak tayang?
Uki Hastama, Public Relation SCTV mengungkapkan, pihaknya sangat peduli dengan 
kualitas tayangan anak-anak, apalagi SCTV memposisikan sebagai TV Keluarga, dalam arti 
individu-individu dalam keluarga maupun keluarga secara keseluruhan.
Untuk tayangan anak-anak, SCTV menetapkan kebijakan terutama yang menyangkut jam 
tayang dan kebiasaan anak-anak biasa nonton televisi. Misalnya pagi, sebelum mereka 
berangkat sekolah dan siang hari setelah jam tidur siang anak-anak. Sedangkan untuk 
hari Minggu, tayangan anak-anak biasanya diputar sampai menjelang tengah hari. 

Uki Hastama mengakui, program tayangan anak-anak yang diputar SCTV sebagian besar 
adalah film impor dan kebanyakan film kartun. Alasan kenapa SCTV lebih memilih film 
impor karena lebih kepada keterbatasan program lokal. 
Untuk menentukan sebuah program anak layak tayang, bagian program sudah memiliki pola 
berdasarkan
 riset yang dilakukan, mulai dari jam tayang sampai materi program. "Program anak 
cenderung mengikuti trend yang sedang disukai anak-anak. Kita mencoba membaca selera 
anak-anak. Kita juga punya standar dan batasan-batasan, bahwa untuk tayangan anak, 
kita harus hati-hati," jelas Uki.

Meski untuk itu, SCTV tidak melibatkan pakar pendidikan atau seorang psikolog 
misalnya. Yang memberikan penilaian adalah bagian Planning, Shcedulling and Research 
dan pihak quality control yang berfungsi sebagai badan sensor internal. "Mereka sudah 
dibekali dengan wawasan dan unsur-unsur yang berbau psikologi," tambah Uki.

Menurut Uki Hastama, untuk tayangan anak-anak, SCTV menghindari produk-produk Walt 
Disney, seperti Tom and Jerry dan sejenisnya. Karena tayangan-tayangan itu dari sisi 
psikologis, secara tidak langsung mengajar anak-anak untuk gampang memukul orang, ujar 
Uki.

"Kita harus akui anak-anak sekarang itu cenderung lebih modern. Mereka juga suka 
dengan hal yang nyerempet-nyerempet dewasa," jelas uki.

Dari sisi komersial, Uki mengakui program anak-anak sangat menguntungkan. Program 
anak-anak menjadi pasar potensial bagi pengiklan. Uki Hastama tidak menutup mata, 
banyaknya kritikan yang dilontarkan pada pihak stasiun televisi yang dinilai kurang 
peduli untuk menayangkan program anak yang bermutu. Menanggapi hal tersebut, Uki 
Hastama menyatakan, "Kita terbuka dengan kritikan. Tapi kita sebenarnya cukup peduli 
dan selektif. Sebagai gambaran, daripada kita menayangkan program anak yang menuai 
protes, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, mending kita tidak tayangkan. Kita 
tidak mau mengambil resiko dengan sebuah program yang nanti malah jadi persoalan bagi 
anak-anak," tutur Uki menutup pembicaraan dengan eramuslim. (lena)

Kirim email ke