Mungkin, aku adalah salah satu ortu yg terlalu dini menyekolahkan anaknya. Angina (2,4th) udah aku masukin sekolah/playgroup. maksudku hanya ingin memberikan kesibukan yg terarah, daripada main2 di ruman. kasian kan, membosankan. klo disekolah bisa ketemu temen2 (bersosialisasi), banyak permainan dan kegiatan yg lebih terarah.
aku samsek ga takut anakku bakal ketinggalan dan bodoh. aku jg ga bermaksud agar anakku bisa cepet baca dan berhitung. menurut aku belum waktunya. semua itu bukan alasanku menyekolahkan Angina. justru aku mau Angina having fun aja disekolahnya, main2.. punya banyak temen. Tapi, kenyataannya...persis spt imel di bawah ini. Angina udah dijejalin kegiatan yg segunung. malah mau ditambah sama eskul segala after school. bete :( udah diajarin hurup hurup. aku lom selidiki metoda mengajarkanya spt apa. yg pasti setiap hari Angina dibekali PR. arrgghhh... mosok di playgroup udah ada PR sih. sebelll... kasian kan. walaupun Angina hanya buat lingkaran2 doang dibuku kotak2 yg sudah dapet dari sekolahnya. bete jg. setiap hari 1 halaman. aku gregetan banget klonemenin Angina buat PR. buat 10 lingkaran, berhenti. ngambil balok2 susunnya. "mamah aku main dulu yah. "lho..nulisnya kan belum selesai. "udah, aku mau main aja. aku mesti rayu rayuuuu, baru deh lanjut lagi. udah gitu klo aku pegangin tangannya (biar bikin lingkaranya bagus), Angina ga mau. langsung dilepas pinsilnya. dia maunya nulis sendiri. ya udah, Angina yg buat lingkaran2, aku yg ngasih semangat. klo aku bilang "bola mama. angina buat satu lingkaran. dst.. bola papa, bola bu lisa, bola oma, bola dede rika,... semua nama orang yg dia tau aku sebutin. sampe ke tetangga2. klo aku ga sebutin..dia nungguin aku omong buat lingkarannya. hehe.. klo aku ulang lagi "bola mama! Angina protes. "mama kan udahh. "iya, gpp sayang. mama mau bolanya dua. boleh kan?? "boleh. baru deh bikin lagi lingkarannya...fiuhhh!! /dewi/ Tuesday, August 10, 2004, 11:23:03 AM, you wrote: KNA> ....."Saat ini banyak orangtua memasukkan anaknya ke sekolah dalam usia dini. Usia 5-6 tahun sudah masuk SD, usia yang seharusnya masuk kategori prasekolah. Juga menjadi kebiasaan, mengajari KNA> anak membaca dan berhitung sejak usia di bawah lima tahun. Bahkan, sudah menjadi tren, anak balita diajari bahasa Inggris dan komputer. Padahal, tugas akademis semacam itu baru diberikan pada KNA> masa sekolah. Para orangtua selalu beralasan takut anaknya dikatakan bodoh dan tertinggal. KNA> Dalam konteks isi kurikulum, anak-anak telah dieksploitasi melalui pemberian beban materi pelajaran yang demikian menggunung. Di TK, anak-anak sudah diajari membaca dan berhitung. Di SD, materi KNA> pelajaran semakin berat, termasuk bahasa asing pun sudah diajarkan......" KNA> http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/09/Didaktika/1193383.htm KNA> Fenomena Sindrom "Hurried Child" KNA> Hasin Abdullah KNA> PENERAPAN program kelas akselerasi yang tiga tahun terakhir ini begitu marak dilaksanakan di tidak kurang dari 110 sekolah menuai beberapa masalah. Hasil penelitian Fakultas Psikologi KNA> Universitas Indonesia terhadap 11 sekolah perintis penyelenggara program di Jakarta menunjukkan adanya beberapa penyimpangan dalam pelaksanaannya. Misalnya, penyimpangan dalam mekanisme KNA> perekrutan, ketiadaan pembinaan mental bagi peserta untuk menghindari problem psikologis, termasuk pula adanya diskriminasi dalam memperlakukan kelas akselerasi dan kelas reguler (Kompas, 24 KNA> Juli 2004). KNA> Hal krusial yang harus dicermati sebagai efek domino dari adanya penyimpangan itu adalah munculnya ekses-ekses negatif yang luput dari perkiraan semula. Ekses tersebut terutama menyangkut KNA> persoalan sosial dan psikologi peserta kelas akselerasi. Seperti dituturkan beberapa peserta kepada Kompas (26 Juli 2004), mereka merasa terbatas dalam proses interaksi. Label "peserta kelas KNA> akselerasi" menjadikannya sebagai kelompok "eksklusif" sehingga menyebabkan mereka semakin terbatas untuk melakukan interaksi dengan teman-teman di sekolahnya. KNA> Kesibukan luar biasa dalam kegiatan belajar juga membuat mereka merasa terasing dari dunianya. Akibatnya, beberapa peserta mengaku tidak bisa merasa "nikmat" dengan kelas semacam itu. Bahkan, KNA> ada seorang peserta yang senantiasa dihantui perasaan takut gagal dalam proses pergaulan dengan teman-teman sekolahnya. Bagaimana tidak! Dalam usia 12 tahun-usia yang layak untuk anak SD-ia KNA> harus duduk di bangku SMA. Bisakah ia beradaptasi dengan teman-teman yang sebetulnya tidak sebaya itu? KNA> Kenyataan seperti itu jelas memprihatinkan! Sebab, siswa yang harus jadi korban. Mereka termarjinalkan dari dunianya yang semestinya menyenangkan dan penuh warna. Yang patut ditanyakan adalah KNA> sebenarnya untuk siapa program itu dibuat? Untuk siswa, orangtua, ataukah sekadar memenuhi ambisi para birokrat pendidikan yang terkadang sarat dengan muatan politis? Kalau memang untuk KNA> siswa-dalihnya untuk membantu siswa yang punya bakat dan kemampuan di atas rata-rata- mengapa justru siswa yang menjadi korban? Itulah esensi permasalahan dalam tulisan ini. KNA> Sindrom "hurried child" KNA> Anggapan bahwa kelas akselerasi untuk siswa masih perlu dipertanyakan. Sebab, ada benang merah antara hal itu dan sebuah "penyakit" yang dua dekade terakhir ini menjelma menjadi semacam epidemi KNA> di masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh David Elkind sebagai sindrom hurried child (Amstrong, 2002: 173). KNA> Di antara ciri-ciri sindrom tersebut adalah memberi banyak beban belajar kepada anak yang dalam alegori Jules Henry- antropolog Amerika-dikatakan bahwa anak-anak nyaris terus-menerus bekerja KNA> dalam deraan waktu; memaksa anak untuk menguasai pelajaran dalam waktu cepat; dan memaksa anak-anak untuk memasuki tugas akademis lebih dini daripada TK atau kelas I SD. KNA> Di masyarakat akan begitu mudah ditemukan fenomena semacam itu. Saat ini banyak orangtua memasukkan anaknya ke sekolah dalam usia dini. Usia 5-6 tahun sudah masuk SD, usia yang seharusnya masuk KNA> kategori prasekolah. Juga menjadi kebiasaan, mengajari anak membaca dan berhitung sejak usia di bawah lima tahun. Bahkan, sudah menjadi tren, anak balita diajari bahasa Inggris dan komputer. KNA> Padahal, tugas akademis semacam itu baru diberikan pada masa sekolah. Para orangtua selalu beralasan takut anaknya dikatakan bodoh dan tertinggal. KNA> Dalam konteks isi kurikulum, anak-anak telah dieksploitasi melalui pemberian beban materi pelajaran yang demikian menggunung. Di TK, anak-anak sudah diajari membaca dan berhitung. Di SD, materi KNA> pelajaran semakin berat, termasuk bahasa asing pun sudah diajarkan. Bahkan, saat ini sulit dibedakan antara materi SD, SMP, atau SMA. Soalnya, bobot dan tingkat kesulitannya hampir sama. Tak KNA> jarang juga, materi SMA disajikan di SD. Karena itu, banyak orangtua yang mengeluh karena tidak bisa membantu menyelesaikan tugas-tugas sekolah anaknya yang masih SD karena materinya terlalu KNA> sulit. Situasi seperti itu memaksa orangtua untuk memasukkan anaknya pada lembaga-lembaga bimbingan belajar ataupun les-les privat. Hal itu menyebabkan waktu bermain anak-anak praktis banyak KNA> terkurangi. KNA> Di ruang-ruang kelas, guru memperlakukan siswa bak kuda pacuan. Target kurikulum selalu menjadi alasan bagi guru untuk memaksa siswa agar cepat-cepat menguasai pelajaran. Kalau perlu pakai KNA> "cambuk" segala. Tak heran, jam pelajaran di sekolah dirasakan demikian sempit untuk berpacu dengan materi pelajaran sehingga siswa harus les sana sini demi menguasai bahan ajar yang sudah KNA> dipelajari di kelas. Atau, sekolah sendiri yang menyediakan pelajaran tambahan di sore hari. Sampai-sampai siswa harus sekolah dua kali, pagi dan sore! KNA> Sedangkan para orangtua (juga guru), tampaknya, tidak mau tahu akan berbagai kesulitan dan beban berat yang ditanggung anak-anak. Mereka justru sangat menikmati dan bangga manakala anak-anaknya KNA> berhasil seperti yang mereka kehendaki. Betapa para orangtua sangat bangga menceritakan bahwa anaknya yang berusia empat tahun sudah pandai membaca dan berhitung. Betapa bangga pula mereka KNA> bercerita tentang anaknya yang masih duduk di bangku SD mempunyai sedikit waktu bermain sebab ia harus ikut les ini itu. Begitulah yang terjadi di masyarakat. KNA> Tak jauh berbeda kenyataannya dengan dibukanya program kelas akselerasi. Hampir dipastikan, yang berambisi atas program itu adalah para orangtua. Terjadinya penyimpangan dalam proses perekrutan KNA> merupakan bukti nyata bahwa meski anaknya kurang memenuhi persyaratan, para orangtua tetap memaksa dengan melakukan "kompromi-kompromi" dengan pihak penyelenggara. KNA> Biarkan tumbuh sesuai jadwal KNA> Sudah saatnya orangtua, termasuk pihak yang berkepentingan dan bertanggung jawab akan pendidikan, mengubah paradigma soal masa belajar anak. Tak perlu lagi ada paksaan-paksaan agar anak-anaknya KNA> harus lebih dini dan lebih cepat dalam belajar. Bagaimanapun anak adalah anak. Kata Khalil Gibran: "Anakmu bukanlah anakmu. Dia adalah anak kehidupan. Engkau bisa menguasai raganya, tapi tidak KNA> bagi jiwanya." KNA> Sudah saatnya orangtua tidak menjadikan anak sebagai alat untuk memenuhi ambisi dan keinginan-keinginan besarnya. Biarkan anak bertumbuh kembang sesuai kodrat alam, sesuai dengan "jadwal" mereka KNA> sendiri: bukan atas kemauan kita (para orang tua)! KNA> Oleh karena itu, kelas akselerasi sepantasnya tidak perlu ada. Kalau toh ada anak yang punya kelebihan IQ daripada temannya, biarkan kelebihan itu berkembang secara alamiah. Sebab, kecerdasan KNA> seorang anak tidak berdiri sendiri. Hal itu harus ditopang oleh kematangan emosional dan sosial. Hanya dari lingkungan yang "wajar"-lah ia akan mendapat semua itu, yakni lingkungan yang memberi KNA> kesempatan bagi dia untuk menikmati kehidupan sosial sesuai dengan usia dan perkembangan kejiwaannya. KNA> Hasin Abdullah Guru SMA Negeri 2 Pamekasan, Jawa Timur --------------------------------------------------------------------- >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]