ooh....

-----Original Message-----
From: Ari PE [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, September 08, 2004 7:09 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [balita-anda] Fw: OOT Pantaslah Surga di Bawah Kakinya


Loh saya kan laki-laki (suami)

Wass,

ayahnyaVerrel

-----Original Message-----
From: Bambang Agustutianto [mailto:[EMAIL PROTECTED]

Sent: Wednesday, September 08, 2004 5:40 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [balita-anda] Fw: OOT Pantaslah Surga di Bawah Kakinya

tidak semua laki-lakiiiiii.........iiii.....
pengalaman ya bu?

-----Original Message-----
From: Ari PE [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, September 08, 2004 5:36 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [balita-anda] Fw: OOT Pantaslah Surga di Bawah Kakinya


Tapi tidak semua lelaki (suami) seperti itu.


-----Original Message-----
From: Dhinok [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Sunday, August 08, 2004 5:02 PM
To: balita anda
Subject: [balita-anda] Fw: OOT Pantaslah Surga di Bawah Kakinya

mom's and dad's...............
sebelumnya maaf nich, OOT bukan di hari jumat
dari mailist tetangga............


Pantaslah Surga di Bawah Kakinya

Banyak para pria berpikir setelah menikah segala kebutuhannya akan
selalu dilayani oleh sang istri, padahal dalam kenyataannya tidak bisa
begitu. Bila
suatu ketika istri sakit, isteri bekerja atau sibuk ketika mengasuh si
kecil apakah kita sebagai suami akan diam saja. Tentu dibutuhkan
kerjasama untuk
meringankan bebannya. Bahkan menurut saya, demi menjaga keseimbangan
tugas dan keharmonisan kehidupan rumah tangga pekerjaan rumah tangga pun
sebaiknya ditangani bersama. 

Memang tidak mudah menjalani pernyataan ini, kecuali kita sudah
mengalaminya sendiri. Beruntung saya berkesempatan mengalaminya. 

Setelah menikah, saya merasakan bahwa kebahagiaan pernikahan kami
menjadi terwujud sempurna lewat kehadiran putra pertama saya. Bahkan,
kehadirannya
juga menjadi motivator penggerak saya untuk lebih giat mencari nafkah. 

Namun, rupanya kehadiran si! kecil ini lantas mengubah pola hidup
keseharian kami dan membutuhkan banyak kompromi diantara kami. Awalnya
semua berlaku
sebagaimana cerita. Isteri mengurus si bayi dan saya pergi bekerja.
Namun, tiga bulan berlalu dan masa cuti kerja isteri pun selesai.
Padahal, profesi
istri saya sebagai perawat mengharuskannya bekerja dengan sistem shift,
yang berarti suatu ketika ia akan bertugas penuh di malam hari. 

Saya mendapati kami mulai punya satu 'persoalan'. Dimana si kecil hendak
kami titipkan bila isteri bekerja shift malam? Kedua orang tua istri
sudah
almarhum sementara ibu saya sudah tua dan tinggal jauh dari rumah kami. 

Kami memang punya kerabat untuk menitipkan si kecil setiap kami
berangkat kerja. Tetapi saat itu juga hati saya merasa berat dan tidak
tenang. Dalam
hati kecil saya bertanya-tanya, apakah dia rela bangun malam setiap jam
untuk menyiapkan susu, mengganti popok dan melakukan keperluan-keperluan
perawatan bayi lainnya? Belum lagi kerab! at ini pun tentu harus
mengurusi keluarganya pula.

Akhirnya kami memulai kompromi dan memutuskan bahwa saya-lah yang akan
menjaga si kecil saat isteri pergi bertugas. Jujur saja, awalnya, istri
pun
sempat meragukan keputusan ini sebelum akhirnya kami bisa bersepakat
untuk menjalaninya.

Malam pertama pun tiba, si kecil telah tidur dengan pulasnya lebih dulu
dari saya. Sementara itu, baru beberapa saat kemudian rasa kantuk
mendera saya.
Namun, baru saja saya beranjak tidur, tiba-tiba si kecil menangis
membuat saya sigap terjaga dan mengurusnya. Dan selanjutnya? hampir
setiap satu jam
berikutnya, si kecil ini selalu terbangun dan memecah kesunyian malam
lewat tangisannya. 

Saya tahu bahwa tangisan merupakan alat komunikasi pertama yang dikuasai
bayi sebelum bisa bicara.

Lewat tangisanlah, bayi mengutarakan keinginan dan kebutuhannya. Jadi
saya tak heran atau terganggu lagi jika si kecil menghabiskan banyak
waktu untuk
aktivitas ini. Namun, tent! u saja saya juga harus siaga. Susu harus
selalu tersedia, begitu juga kebutuhan lainnya seperti pakaiannya.
Karena jika si
kecil bangun dan menangis itu tandanya dia minta susu, pipis, atau buang
air besar.

Setiap kali si kecil terbangun, saya selalu melirik jam, melihat bahwa
waktu demi waktu telah berlalu. Suatu kali pernah saya shalat subuh saat
sudah
mendekati jam enam pagi karena masih mengurusi kebutuhan si kecil. Dan
pernah juga terjadi, shalat subuh saya sudah tepat waktu, tetapi baru
saja
hendak bertakbir, si kecil sudah terbangun dan menangis hingga dengan
buru-buru saya meraih botol susu dan memberinya minum sambil berbaring
disampingnya. Si kecil terdiam dan tidur kembali. Tak sadar saya pun
ikut tertidur di sampingnya.

Hal ini berlangsung non stop selama 3 bulan. Namun anehnya, saya tidak
merasa capek. Kalaupun ada sedikit rasa letih, maka rasa itu akan hilang
begitu saja ketika si kecil bangun menyambut pagi hari dengan mengangkat
kepalan! ya dan menatap saya sambil tersenyum ikhlas. 

Setiap pagi, setelah menitipkan si kecil pada kerabat, saya menjemput
dan mengantar istri ke rumah. Barulah kemudian saya berangkat ke kantor
mengendarai sepeda motor. Tentu saja dengan kehati-hatian ekstra. Bukan
apa-apa, sebab saya masih mengantuk!

Setibanya di kantor sebuah media Islam, saya berhadapan dengan saat naik
cetak. Maka tak ayal, saya harus rela menatap layar komputer selama
lebih
dari 9 jam hari itu.

Begitupun, alhamdulillah semua masalah itu bisa teratasi. Bahkan, saat
mengingat kelucuan dan senyum si kecil, tidak jarang saya suka tersenyum
sendiri di depan layar komputer. Senyuman si bayi memang hanya sebentar,
tapi saya selalu mengingatnya dalam hati. Luar biasa, senyum si kecil
bagaikan penyejuk hati dan pemompa semangat dalam mencari nafkah.

Saat baru satu malam saja saya menjaga si kecil, saya sudah berpikir,
mungkin itulah alasannya mengapa surga itu berada di bawah telapak kaki
Ibu.
Lalu bagimana dengan menjaga, merawat anak dan keluarga selama 3 bulan,
setahun, bertahun-tahun? 

Terbayang pula di benak saya sosok ibu yang menghabiskan waktu 24 jam
setiap hari untuk merawat bayi. Ia menyusui, menjaga dari segala
gangguan,
mengganti popok, mendekapnya bila menangis dan masih banyak lagi tugas
yang harus dilakukannya. Barangkali surga itu tak hanya berada di
telapak kakinya saja melainkan di seluruh tubuhnya. 

Bila kita mau berpikir dan merasakan betapa beratnya pekerjaan menjadi
ibu rumahtangga, tentu akan timbul kesadaran untuk menghormati,
menghargai dan
menyangi istri kita karena tugas yang diembannya. 

Maka kini saya semakin berempati dengan beratnya pekerjaan menjadi ibu
rumahtangga. Semakin dalam pula kesadaran saya untuk menghargai dan
menyayangi istri, karena tugas yang diembannya ternyata bukanlah
sebuahtugas yang ringan. 

Sumber: Motivasi dan Inspirasi





---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]




---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke