Moms & dads sekalian.
Tolong cerita tersebut jangan dianggap mendeskreditkan agama apapun, tapi
sebagai pelajaran berharga buat kita semua supaya kita memahami & menjalani
agama kita dgn benar dan total bukan setengah2, shg yg diambil bukan yg
menguntungkan kita saja sedangkan yg susah tidak dijalani. 
Daripada berantem hanya masalah cerita, coba renungkan apakah kita sudah
melaksanakan kewajiban kita sesuai dengan agama kita masing2, untuk yg
muslim sdh genapkah kita melakukan sholat 5 waktu dengan rutin, puasa full
(tidak bolong dgn alasan apapun), sholat tahajut, puasa senin kamis, zakat,
dan menjalani perintah Nabi Muhammad SAW dengan benar? 
Jangan sunnahnya aja yg dilaksanakan hanya untuk "melegalkan" perbuatan
kita. 
Buat yang non muslim, apakah kita juga sudah memahami & menjalani perintah2
agama kita sesuai denganisi Kitab Suci kita masing2.
Tolong jangan sampai ada BOM meledak di milis tercinta kita ini dengan
mengatasnamakan AGAMA apapun.
Terimakasih.
Semoga kita yg ikut milis ini BERADAB semua.

Salam
Rita Samsikin

> -----Original Message-----
> From: Ivan Imadudin [SMTP:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: Thursday, September 09, 2004 8:09 PM
> To:   '[EMAIL PROTECTED]'; '[EMAIL PROTECTED]'
> Subject:      RE: [balita-anda] Fw: OOT -  Laki-Laki di Sekitarku
> 
> Maaf bu,
> cerita ini memang menarik untuk diambil pelajaran, namun ada beberapa
> nilai
> yang saya kurang setuju dalam cerita ini.
> 1. Masalah Poligami dalam cerita ini seolah sangat mudah. Sedangkan dalam
> ajaran Pak Harun yang sesungguhnya tidak semudah itu. Syarat keadilan
> adalah
> syarat mutlak boleh tidaknya poligami. Menurut agama pak Harun. Pak harun
> tidak dapat berpoligami karena dia tidak dapat berlaku adil.
> 2. Poligami yang diperbolehkan juga bukan karena kecantikan, kemanjaan,
> ataupun masalah keluarga, namun dalam rangka saling berbagi kebahagiaan,
> dimana isteri-isteri yang dimadu harus saling mengenal dan saling ikhlas.
> Jika tidak, itupun batal.
> 3. Diajaran agama Pak Harun, Bunga hutang juga dilarang. Jadi permasalah
> disini adalah Pak Harun adalah orang yang buta Agama.
> 4. Diagama Neneng, seorang anak Gadis, tidak boleh berdua-duaan dengan
> laki-laki yang bukan keluarganya. 
> 
> Mohon lain kali tidak mengirimkan cerita yang mengarah pada pendiskreditan
> ajaran agama tertentu. Terima kasih.
> 
> salam,
> -----Original Message-----
> From: [EMAIL PROTECTED]
> [mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: Thursday, September 09, 2004 2:46 PM
> To: [EMAIL PROTECTED]
> Subject: [balita-anda] Fw: OOT - Laki-Laki di Sekitarku
> 
> 
> Mudah2an para suami di Balita-Anda tidak seperti cerita di bawah ini..
> Maaf kalau ada yg tidak berkenan
> 
> =========================================================================
> 
> Laki-Laki di Sekitarku
> 
> (Oleh Lesminingtyas)
> 
> Ketika kantor menugaskan saya untuk melakukan compare study di Universitas
> Pajajaran Bandung untuk beberapa saat, ada beberapa peristiwa yang terjadi
> di antara teman pergaulan saya di bis jemputan, yang terlewatkan dari
> pengamatan saya. Begitu saya kembali bekerja, beberapa teman memberi tahu
> saya bahwa ada masalah serius yang terjadi selama kepergian saya. Para
> pengurus paguyuban itu memberitahu saya bahwa Pak Harun; seorang sopir
> mikrolet yang nebeng di bis jemputan itu menjalin hubungan khusus dengan
> mahasiswi yang juga menjadi pelanggan tetap bis yang sama.
> 
> Para pengurus meminta saya untuk melakukan sesuatu supaya perselingkuhan
> mereka tidak makin jauh. Semula saya hanya berpikir "What do I care ?".
> Saya pikir saya tidak punya tanggung jawab moral sedikitpun atas sikap dan
> perbuatan orang lain. Saya pikir biarlah mereka menanggung
> dosa dari perbuatan yang dilakukannnya. Tetapi ketika saya tahu bahwa yang
> melakukan perselingkuhan itu laki-laki yang telah berkeluarga, saya
> disadarkan bahwa ada 2 atau bahkan 3 pihak yang akan menjadi korban. Dua
> korban pertama adalah istri dan anak-anak Pak Harun. Bisa jadi kalau
> mahasiswi itu menyadari apa yang sedang terjadi, Nenengpun akan merasa
> bahwa dirinya adalah korban.
> 
> Pertama-tama saya mengajak Neneng untuk berbicara empat mata. Atas nama
> perempuan, saya menyarankan supaya Neneng tidak menjalin hubungan khusus
> dengan Pak Harun supaya tidak ada perempuan lain yang disakiti. Namun
> ketika Neneng merasa bahwa apa yang dilakukannya syah-syah saja, sayapun
> berkata "Coba Neneng bayangkan seandainya yang melakukan hubungan khusus
> itu ayah Neneng. Kira-kira bagaimana perasaan ibu Neneng dan juga perasaan
> Neneng sendiri sebagai anak ?" Saya berharap pertanyaan itu bisa membuat
> Neneng lebih peduli terhadap penderitaan perempuan lain. Tetapi tampaknya
> Neneng telah larut dalam permainan Pak Harun. "Sebenarnya saya melakukan
> ini semua karena saya kasihan sama Pak Harun. Saya kasihan karena setiap
> hari Pak Harun bekerja dari subuh hingga sore, tapi sedikitpun ia tidak
> mendapatkan perhatian dari istrinya" kata Neneng sok pahlawan.
> 
> "Neneng sudah kenal istri Pak Harun ?" saya bertanya. Neneng hanya
> menggeleng.
> 
> "Kalau Neneng belum kenal, dari mana Neneng tahu permasalahan Pak Harun
> dengan istrinya ?" saya kembali bertanya.
> 
> "Pak Harun sering berkeluh kesah pada saya" jawab Neneng.
> 
> "Kalau kita mau membantu Pak Harun dan istrinya menyelesaikan masalah,
> kita
> tidak mungkin hanya mendengar cerita dari satu pihak saja. Kalau Neneng
> benar-benar ingin menolong mereka dengan tulus dan tanpa pamrih, alangkah
> baiknya kalau Neneng berkenalan dengan  istri Pak Harun" saya memberi
> saran.
> 
> "Tapi Pak Harun setiap hari menceritakan dengan sungguh-sungguh
> penderitaannya. Setiap pulang narik mikrolet Pak Harun tidak pernah
> disambut dan dilayani dengan baik. Istrinya yang tidak punya pekerjaan
> setiap hari hanya menganggur di rumah dan pura-pura sibuk ngurus anak."
> Neneng merasa tahu segalanya.
> 
> "Neneng pernah menjadi istri ?" saya bertanya. Neneng hanya menggeleng.
> 
> "Neneng perlu tahu, saya yang sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi istri
> saja tidak berani mengatakan bahwa saya lebih baik dari istri Pak Harun.
> Sangat salah kalau dikatakan bahwa istri yang tidak mencari nafkah itu
> tidak bekerja atau menganggur. Asal Neneng tahu saja, perempuan yang
> menjadi ibu rumah tangga itu bekerja tanpa batasan jam kerja dan kalau
> dihitung-hitung pasti lebih dari 8 jam per hari. Kalau saya bekerja di
> kantor paling-paling 8 jam per hari dan itupun saya sudah merasa lelah
> sekali. Walalupun demikian saya yakin bahwa saya bisa menjadi karyawan
> teladan, tapi untuk menjadi ibu rumah tangga mungkin saya tidak lebih baik
> dari orang lain. Sangat mungkin istri Pak Harun itu lebih hebat dari saya.
> Dan satu hal yang tidak bisa saya percaya adalah soal istri Pak Harun yang
> berpura-pura sibuk mengurus anak. Selama masih waras, saya yakin  tidak
> ada
> seorang ibupun yang berpura-pura mengurus anak" kata saya panjang lebar.
> 
> "Saya tahu itu Bu, tapi sebagai istri khan tetap wajib mengabdi dan
> memenuhi  kebutuhan lahir dan batin suaminya" kata Neneng tak simpati.
> 
> "Soal itu saya rasa harus take and give. Kalau Pak Harun memperlakukan
> istrinya dengan  dengan penuh kasih sayang, saya rasa dengan sendirinya
> Pak
> Harun akan mendapatkan apa yang ia inginkan" saya berpendapat "Tapi kalau
> sedikit saja tidak puas sama istri kemudian pindah ke lain hati, itu
> namanya laki-laki ganjen !" lanjut saya sambil tertawa.
> 
> Sambil tersenyum Neneng berkata "Mungkin Bu Ning sulit  mengerti karena
> latar belakang keyakinan kita berbeda. Saya hanya mau bilang bahwa dalam
> agama kami, laki-laki bisa beristri lebih dari satu dan itu merupakan
> ibadah"
> 
> "O????.jadi kalau Pak Harun mau poligami, Neneng sudah siap nich ?" tanya
> saya sambil tertawa supaya Neneng lebih rileks. Neneng tidak menjawab
> tetapi malah ikut tertawa. "Ih, kalau saya mah ogah, Neng !" kata saya
> "Saya yang sudah tua dan punya anak tiga saja mending nganggur dari pada
> punya suami tapi dimadu. Neneng yang masih single, muda dan cantik kok
> mau-maunya sih berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri ?" tanya
> saya masih sambil tertawa.
> 
> saya mengajak Neneng berpikir  "Neng,saya kasih tahu saja ya : menjadi
> istri pertama saja belum tentu hidup bisa enak, kenapa pula kepingin
> menjadi istri kedua ? Terus kelak hanya karena alasan ibadah juga Neneng
> harus siap berebut kasih sayang dengan istri
> ketiga dan keempat ?" lanjut saya.
> 
> "Namanya juga ibadah, pasti tidak mudah untuk dijalani" kata Neneng sambil
> membetulkan kerudungnya.
> 
> "Sorry ya, Neng???saya cuma mau berbagi pengalaman. Dulu waktu saya masih
> gadis, saya kepingin punya pacar  bujangan, yang masih muda pula !
> Memangnya sekarang Neneng nggak kepingin punya pacar teman sekampus ? Apa
> enaknya sih Neng, pacaran sama orang yang lebih pantas jadi bapak atau
> kakek Neneng ?" tanya saya santai.
> 
> "Kelebihan laki-laki tua itu pada kantongnya !" jawab Neneng sambil
> tertunduk malu.
> 
> Walaupun Neneng belum mau merubah pendiriannya, saya tidak pernah merasa
> kecewa. Yang penting saya sudah menyampaikan apa yang suharusnya saya
> katakan.
> 
> Pada kesempatan lain saya mendekati Pak Harun untuk mencari tahu sudah
> sejauh mana hubungan mereka. Namun dengan berbagai dalih Pak Harun
> meyakinkan bahwa hubungannya dengan Neneng; mahasiswi yang seumur dengan
> anaknya itu dilakukan semata-mata karena ia menganggap Neneng sebagai
> anaknya. "Saya hanya kasihan karena Neneng selalu mengeluh kalau uang
> kuliahnya tersendat-sendat dan uang sakunya terlalu mepet. Makanya saya
> pikir tidak ada salahnya saya memberikan uang supaya Neneng bisa jajan di
> kampus dan  membayar kuliahnya dengan lancar" kata Pak Harun.
> 
> "Menolong itu memang baik. Sangat juga setuju kalau Pak Harun peduli
> terhadap kesulitan orang lain. Tapi Pak Harun sendiri dulu pernah
> bercerita
> bahwa penghasilan Pak Harun Rp. 70,000 per hari. Kalau beberapa orang di
> bis ini tahu bahwa Pak Harun memberikan uang kepada Neneng Rp. 40,000 ?
> 50,000 per hari, berapa yang Pak Harun bawa pulang untuk anak istri ?
> Sebenarnya saya tidak mau ikut campur, tapi saya membayangkan kalau Pak
> Harun itu ayah saya. Saya tahu persis bagaimana perasaan istri dan
> anak-anak Pak Harun kalau mereka tahu yang sesungguhnya" saya mengajak Pak
> Harun menilik perasaan  istri dan anak-anaknya.
> 
> "Tapi mereka sudah biasa dengan penghasilan saya yang naik turun. Istri
> dan
> anak saya tahu kalau lagi sepi saya hanya membawa pulang uang segitu, jadi
> saya pikir nggak masalah" jawab Pak Harun mencari pembenaran.
> 
> "Kalau istri dan anak-anak Pak Harun begitu mensyukuri seberapapun rejeki
> yang Pak Harun peroleh, sudah seharusnya Pak Harun menghargai sikap
> mereka.
> Tapi kalau Pak Harun mendapatkan uang lebih, apakah Pak Harun tidak ingin
> melihat mereka lebih bersyukur lagi ? Kalau lagi sepi, biarlah mereka
> mensyukuri rejeki yang sedikit. Tapi kalau lagi ramai dan Pak Harun
> mendapatkan rejeki yang lebih banyak, mengapa Pak Harun tidak memberikan
> kesempatan kepada mereka untuk ikut menikmatinya ?" kata saya.
> 
> "Menurut saya kalau dengan Rp. 20,000 ? 30,000 mereka sudah cukup, buat
> apa
> saya kasih Rp. 70,000. Lagi pula saya tidak mengurangi jatah mereka kok.
> Uang yang saya kasih ke Neneng itu khan uang jajan dan rokok saya" kata
> Pak
> Harun tanpa rasa bersalah.
> 
> "Kalau mereka sudah bisa hidup dengan Rp. 20,000 ? 30,000 per hari, Pak
> Harun khan bisa memberikan Rp. 70,000 dan ajari istri Pak Harun untuk
> menabung Rp. 20,000- 40,000/hari buat masa depan anak-anak. Saya cukup
> salut karena Pak Harun bisa mengurangi jajan dan rokok, tetapi alangkah
> bijaksananya kalau uang jajan dan rokok yang tidak terpakai itu bisa
> dimanfaatkan untuk keluarga, bukan untuk orang lain" saya menyarankan.
> 
> "Kenapa Bu Ning mempermasalahkan apa yang saya lakukan kepada Neneng,
> sedangkan istri saya saja tidak pernah bilang apa-apa" kata Pak Harun
> merasa benar.
> 
> "Jawabannya gampang Pak : Karena istri Pak Harun tidak tahu yang
> sebenarnya" jawab saya singkat "Saya yakin Pak Harun tidak pernah
> menceritakan yang sesunggunhnya kepada istri Pak Harun. Kalau menurut saya
> pribadi, apapun yang kita lakukan tetapi kita tidak berani berterus terang
> kepada pasangan, itu merupakan perselingkuhan. Maaf ya, saya terpaksa ikut
> campur karena saya tahu betapa hancurnya hati perempuan kalau ia tahu
> suaminya berselingkuh. Sebagai teman, saya ingin mengingatkan Pak Harun
> supaya lebih bijaksana lagi dan sebisa mungkin menomorsatukan keluarga"
> lanjut saya.
> 
> "Apa salahnya kalau saya membantu Neneng karena saya menyayangi dia
> seperti
> anak saya sendiri ?" Pak Harun tetap ingin mencari pembenaran.
> 
> "Sekarang saya tanyakan, berapa uang saku yang Pak Harun berikan untuk
> anak-anak Pak Harun ? Saya yakin uang saku anak-anak Pak Harun lebih kecil
> dari uang yang diberikan kepada Neneng. Kalau seperti itu namanya Pak
> Harun
> bukan menyayangi Neneng sama seperti anak Pak Harun, tetapi melebihi. Nah,
> apakah Pak Harun juga ingin anak-anak Pak Harun meminta belas kasihan
> kepada orang lain karena uang ayahnya lebih banyak diberikan kepada teman
> perempuannya ?" saya mengajukan pertanyaan yang betul-betul menyudutkan
> Pak
> Harun.
> 
> "Sekarang saya tanya lagi, berapa uang Pak Harun  yang diberikan kepada
> Neneng untuk membeli baju lebaran ?" saya bertanya seakan menelanjangi Pak
> Harun.
> 
> "Tiga ratus lima puluh ribu rupiah" jawab Pak Harun pelan.
> 
> "Hah?..350 ribu ?! Saya yakin seyakin yakinnya kalau Pak Harun sekali saja
> belum pernah membelikan baju lebaran semahal itu untuk istri Pak Harun"
> jawab saya
> 
> "Ya, karena istri saya memang bukan pesolek. Kalaupun saya kasih uang
> jutaan, paling banter dia membeli sarung dan kebaya atau malah daster.
> Jadi
> buat apa saya beri uang banyak-banyak ?"
> 
> "O???..jadi Pak Harun itu kepingin lihat perempuan pakai baju-baju bagus
> nich ? Kenapa nggak nonton Indonesian Model di TV aja ?" tanya saya
> menggoda supaya Pak Harun tidak tegang "Kalau istri Pak Harun bukan
> pesolek, seharusnya disyukuri karena ia tidak boros atau menuntut Pak
> Harun
> untuk memberi uang lebih hanya untuk mempercantik diri. Nah, kalau selama
> ini istri Pak Harun hanya pakai daster, apa salahnya Pak Harun membeli
> baju
> yang mahal untuknya, bukan untuk Neneng" saya tetap tidak setuju dengan
> tindakan Pak Harun.
> 
> Karena Pak Harun tetap berkeras, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
> Saya
> hanya berpesan "Hati-hati ya Pak Harun, banyak orang bilang Neneng itu
> punya semboyan 'Ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang'
> jadi mulai sekarang siap-siap saja untuk kembali menororsatukan keluarga.
> Suatu saat nanti ditendang Neneng, Pak Harun punya tempat untuk berkeluh
> kesah". Pak Harun hanya tertawa tak menghiraukan kata-kata saya. Pak
> Harunpun tetap menjalankan hubungan khususnya di bis bersama Neneng
> 
> Beberapa bulan telah berselang. Entah sudah berapa lama saya tidak pernah
> menyinggung-nyinggung masalah perselingkuhan itu dengan Pak Harun. Sampai
> suatu saat Pak Harun jatuh sakit dan untuk sementara tidak bisa bekerja.
> Ketika pertama kali Pak Harun kembali bekerja, sayalah orang pertama yang
> ditemui Pak Harun.
> 
> "Seharusnya dulu saya mendengar teguran Bu Ning. Sekarang uang saya sudah
> habis-habisan seperti ini, Neneng sedikitpun tidak menghiraukan saya.
> Kemarin saya harus masuk rumah sakit dan menghabiskan uang hampir sejuta.
> Saya harus utang kanan kiri dan sekarang keluarga lagi prihatin. Utang
> untuk biaya berobat saja belum lunas, kemarin telepon  rumah dicabut
> karena
> 3 bulan nunggak  tidak terbayar. PLN juga sudah memberikan surat
> peringatan
> untuk mencabut aliran listrik karena sudah 5 bulan saya belum membayar"
> Pak
> Harun berkeluh kesah.
> 
> "Pas Neneng nengok ke rumah sakit, dia bisa kenalan  sama isri Pak Harun
> dong?" saya bertanya dengan suara pelan
> 
> "Boro-boro nengok, menelpon saja nggak mau ! Padahal uang yang saya
> berikan
> untuk dia sudah lebih dari Rp. 3 juta !"
> 
> "Nah, sekarang ketahuan khan??.pemberian Pak Harun itu bukan tanpa maksud
> ?" saya menggoda Pak Harun dengan telunjuk, seperti orang tua
> memperingatkan anak kecil "Kalau Pak Harun menyanyangi Neneng seperti anak
> sendiri dan memberi tanpa pamrih, pasti Pak Harun tidak mau
> mengingat-ingat
> lagi berapa yang sudah diberikan. Lagi pula Pak Harun tidak akan sakit
> hati
> kalau Neneng tidak menelpon atau menengok" lanjut saya sambil tertawa.
> 
> "Tertawa sih tertawa Bu, tapi tolong dulu pinjami saya uang biar listrik
> di
> rumah tidak dicabut !" kata Pak Harun meminta tolong.
> 
> "Soal pinjam uang itu sih gampang ! Tapi sebelumnya saya mau tanya, Pak
> Harun jangan memotong atau memprotes pertanyaan saya, tapi cukup menjawab
> dalam hati" saya mengajukan syarat. Karena Pak Harun tidak bereaksi,
> sayapun mengajukan beberapa pertanyaan.
> 
> "Apa yang dilakukan Pak Harun selama 5 bulan, sehingga rekening listrik
> tidak terbayar ?" Pak Harun hanya tersenyum.
> 
> "Kenapa Pak Harun mengeluhkan biaya rumah sakit yang tidak sampai  sejuta,
> sedangkan Pak Harun mampu memberikan 3 juta untuk Neneng ?" Pak Harun mau
> menjawab tapi saya cepat-cepat mengangkat jari telunjuk tepat di depan
> bibir saya supaya Pak Harun mendengarkan pertanyaan saya selanjutnya.
> 
> "Dulu apa kata Pak Harun ketika saya mengingatkan untuk menabung ?" saya
> kembali bertanya.
> 
> "Sekarang siapa yang setia mendampingi Pak Harun dalam kesulitan ? Apakah
> mahasiswi yang memakai baju 350 ribu, ataukah perempuan berdaster yang
> tidak pesolek ?" Walaupun dengan tertawa Pak Harun menujukkan sikap
> protes.
> Tetapi saya tak kurang akal untuk menundukkannya "Eit, nggak boleh protes,
> saya belum selesai bertanya. ! Kalau Pak Harun protes, berarti pinjaman
> uang dibatalkan !" saya mengancam. Pak Harunpun diam sambil tersipu-sipu
> karena malu.
> 
> "Pertanyaan saya yang terakhir : Bersediakah Pak Harun meminta maaf kepada
> istri dan anak-anak Pak Harun atas penghianatan Pak Harun terhadap mereka
> ?
> Sekarang Pak Harun boleh menjawab" kata saya.
> 
> "Wah, yang terakhir itu yang paling berat. Saya belum melakukan apa-apa
> kok
> disuruh meminta maaf.  Agama saya saja membolehkan laki-laki beristri
> empat, kok Bu Ning melihat saya seperti itu saja sudah sewot. Masak saya
> mau meminjam uang saja kok malah disuruh pakai minta maaf kepada istri dan
> anak-anak, pakai maksa lagi" kata Pak Harun sambil tertawa.
> 
> "IMF saja memberi syarat sebelum mengucurkan pinjaman, sekarang boleh dong
> saya minta Pak Harun memenuhi permintaan saya !" jawab saya sambil
> tertawa.
> 
> "Bolehlah Bu Ning kasih syarat, atau kalau perlu minta bunga juga boleh
> asal jangan menyuruh saya untuk meminta maaf kepada anak dan istri" kata
> Pak Harun mengajukan pilihan lain. Atas nama Kasih sayapun meminjamkan
> uang
> kepada  Pak Harun tanpa mempersulitnya lagi. "Agama saya melarang saya
> membungakan uang. Jadi, ambil uang ini kemudian akui kesalahan dan
> bertobatlah !" kata saya.
> 
> Beberapa bulan telah berselang, namun keberuntungan tampaknya belum
> berpihak kepada Pak Harun. Setiap bertemu dengan saya, Pak Harun berkata
> "Maaf saya belum mendapat rejeki untuk mengembalikan uang Bu Ning"
> 
> "Kalau Pak Harun minta maaf kepada istri dan anak-anak Pak Harun, pasti
> rejeki Pak Harun akan semakin lancar. Paling tidak pengampunan dari istri
> dan anak-anak akan membuat Pak Harun tenang bekerja. Lagi pula kalau
> mereka
> sudah memaafkan dan tahu kesulitan Pak Harun yang sebenarnya, mereka akan
> lebih giat lagi mendoakan Pak Harun" jawab saya.
> 
> Memang setiap hari saya dan Pak Harun selalu pulang bersama-sama, naik bis
> jemputan dari Jakarta ke Bogor. Tapi sayang sekali, hati kami teramat
> jauh.
> Kami hampir tidak pernah sehati dalam memandang perempuan dan anak-anak.
> Jadi, saya hanya berani mengatakan bahwa Pak Harun adalah laki-laki di
> sekitar saya, tidak lebih.
> 
> 
> 
> DISCLAIMER :
> 
> The information contained in this communication (including any
> attachments)
> is privileged and confidential, and may be legally exempt from disclosure
> under applicable law. It is intended only for the specific purpose of
> being
> used by the individual or entity to whom it is addressed. If you are not
> the
> addressee indicated in this message (or are responsible for delivery of
> the
> message to such person), you must not disclose, disseminate, distribute,
> deliver, copy, circulate, rely on or use any of the information contained
> in
> this transmission.
> 
> We apologize if you have received this communication in error; kindly
> inform
> the sender accordingly. Please also ensure that this original message and
> any record of it is permanently deleted from your computer system. We do
> not
> give or endorse any opinions, conclusions and other information in this
> message that do not relate to our official business.
> 
> 
> 
> ---------------------------------------------------------------------
> >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
> >> Info balita, http://www.balita-anda.com
> >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
> 
> ---------------------------------------------------------------------
> >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
> >> Info balita, http://www.balita-anda.com
> >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke