Sekedar renungan ... mumpung masih bulan Ramadhan dan udah pada dapet THR kan ...



Membuka Pintu Hati

Sekelompok orang yang baru saja meninggal mendapatkan diri mereka sedang berdiri antre 
di depan gerbang akhirat. Sambil menunggu pengadilan Illahi, mereka mulai menanyai 
diri mereka sendiri mengenai perilaku mereka di dunia. 

''Apakah dulu aku menjadi orang tua yang baik?'' ''Apakah aku berhasil mencapai 
sesuatu yang berharga dalam hidupku?'' ''Apakah aku rajin beribadah sepanjang malam?'' 
''Apakah aku cukup berderma kepada fakir miskin?'' Dan, ketika akhirnya mereka sampai 
di gerbang, semua jiwa itu dihadapkan hanya pada satu pertanyaan, ''Seberapa besar 
kamu dulu mengasihi?''

Mengasihi orang lain adalah langkah pertama dari perjalanan panjang masuk ke dalam 
diri. Perjalanan ke dalam diri memang tak mudah. Banyak orang menyerah ketika baru 
memulainya. Kesibukan sehari-hari sering menjadi alasan. Tapi, penyebab sebenarnya 
bukan itu. Persoalan sebenarnya adalah pintu hati kita yang tertutup, bahkan terkunci. 
Ini membuat telinga kita tak mendengar dan mata kita tak melihat. Kita tak akan pernah 
dapat memulai perjalanan sebelum menemukan kuncinya, yaitu ''cinta dan kasih Sayang.''

Tanpa adanya rasa cinta pada sesama, pintu-pintu gerbang menuju kesadaran yang 
terdalam tak akan pernah terbuka. Agama-agama besar di dunia sebenarnya memiliki pesan 
tunggal: kasih sayang. Bahkan, Tuhan selalu dilukiskan sebagai Yang Maha Pengasih dan 
Maha Penyayang. Dengan bahasa yang berbeda semua agama selalu mengatakan: ''Sayangilah 
orang lain! Anda belum beriman sebelum mampu menyayangi orang lain sebagaimana Anda 
menyayangi diri Anda sendiri.'' 

Pernyataan diatas sungguh dahsyat! Ini benar-benar menjelaskan bahwa ukuran kemajuan 
spiritual Anda bukanlah pada seberapa rajinnya Anda beribadah kepada Tuhan. Esensi 
keberagamaan tidaklah ditentukan oleh banyaknya ruku dan sujud yang Anda lakukan, 
tetapi pada seberapa besar Anda mengasihi orang lain. Belajar mengasihi adalah sasaran 
kehidupan spiritual. 

Salah satu cara praktis untuk mengembangkan sikap cinta kasih adalah dengan mulai 
menyadari akan penderitaan. Sadar akan penderitaan -- entah itu penderitaan kita 
sendiri atau penderitaan orang lain -- akan membuat hati kita melunak. 

Mari kita mulai dengan sebuah cerita. Di sebuah SD seorang guru bertanya pada 
murid-muridnya, ''Siapa yang sudah sarapan pagi ini?'' Kira-kira separo murid 
mengacungkan tangan. Guru itu kemudian bertanya kepada anak-anak yang tidak 
mengacungkan tangan, ''Mengapa kalian tidak sarapan?'' Sebagian menjawab tak sempat 
karena sudah terlambat. Sebagian lagi mengatakan belum merasa lapar, ataupun tak 
menyukai sarapan yang disajikan. 

Semua memberikan jawaban senada kecuali satu anak. ''Karena,'' jawabnya, ''Sekarang 
bukan giliran saya.'' ''Bukan giliranmu?'' tanya sang guru. ''Apa maksudmu?'' ''Dalam 
keluarga kami ada empat anak,'' ujarnya, ''Tapi, ayah tak punya cukup uang untuk 
membeli makanan supaya tiap orang bisa sarapan setiap hari. Kami harus bergiliran dan 
hari ini bukan giliran saya.''

Apa yang Anda rasakan ketika membaca kisah ini? Bagaimana pula perasaan Anda membaca 
berita mengenai Haryanto (12 tahun) yang hampir tewas gantung diri di rumahnya. Ia 
putus asa karena orang tuanya tak mampu memberikan uang untuk tugas sekolahnya. 
Padahal uang yang dimintanya hanya Rp 2500! 

Orang-orang seperti ini ada di sekitar kita. Tapi, kadang-kadang kita tak bisa 
melihatnya karena mata kita tertutup. Yang sebenarnya tertutup adalah mata hati kita. 
Ini bisa terjadi karena hati kita dipenuhi oleh ego dan kepentingan kita sendiri. Kita 
terlalu banyak tertawa dan sibuk bergaul dengan orang-orang berpunya. Ini membuat hati 
kita tertutup. 

Untuk menjalankan cinta kasih kita perlu memulai dengan mencintai diri kita, kemudian 
orang-orang terdekat kita. Lihatlah mereka dengan hati Anda. Bukankah orang tua Anda 
adalah orang yang rela mengorbankan hidupnya bagi Anda? Bukankah pasangan Anda adalah 
orang yang telah memilih menyerahkan hidupnya kepada Anda? Bukankah anak-anak Anda 
sangat mengagumi Anda dan merindukan kebersamaan dengan Anda? Bukankah pembantu Anda 
adalah orang miskin yang mengabdikan hidupnya untuk melayani Anda? Teruslah perluas 
dengan mengamati orang-orang di sekitar Anda. Mereka semua memiliki penderitaan dan 
tantangan masing-masing. 

Seorang bijak pernah mengatakan, ''Ketika kamu melihat dirimu tidak berbeda dari orang 
lain, ketika kamu merasakan apa yang mereka rasakan, lalu siapa yang bisa kamu 
sakiti?'' Inilah cara menumbuhkan cinta. Kita semua sama karena itu jangan pernah 
menilai orang dari penampilan fisiknya. Tubuh bukanlah diri kita yang sebenarnya 
tetapi hanya sekadar 'sangkutan' dari jiwa. Jiwa itulah esensi manusia yang sejati.

Tapi, merasakan baru merupakan permulaan cinta. Cinta yang sebenarnya haruslah 
diwujudkan dengan memberikan sesuatu kepada orang lain. Ukuran cinta adalah pemberian, 
sekecil apapun bentuknya. Ibu Theresa pernah mengatakan, ''Yang penting bukan seberapa 
besar yang kita perbuat, melainkan seberapa besar cinta kasih yang kita sertakan dalam 
perbuatan kita.''



M. Tri Agus
Email : [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke