Dear Mbak Luluk, ha..ha..ha...nggak apa2 kok Mbak kalau saya sih orangnya open2 saja sama pendapat dari rekan2 yang lain. Kebetulan kalau ini memang pendapat dari DSA Mbak not my opinion lho. Dan selama ini kalau saya lihat dari anak saya tidak ada kesulitan sama sekali untuk pindah dari minum susu menjadi makan makanan berserat seperti sayur2an, jadi walaupun minum susu tetap makan ikan dan sayur-sayuran no. satu buat anak saya. Memang saya akui kalau anak tersebut dalam keadaan benar2 lapar, dia akan makan apa saja, ini saya alami sendiri lho pernah waktu malam2 saat saya dan anak2 berada di rumah waktu itu usia anak saya 1 tahunan gitu pas saya lapar dan nggak ada makanan saya makan nasi digongseng tanpa minyak hanya pakai garam saja. Eh Mbak tahu nggak anak saya itu ikut makan dengan saya, he3x ternyata dia suka juga yah makan nasi sama garam kayak saya. Tetapi yang saya pikirkan adalah kebutuhan gizinya, yang mungkin sebagai ibu bekerja harus kita akui sulit untuk mencari pengasuh anak yang benar2 mau bersabar memberi anak kita makan dan sulit bagi kita untuk ganti2 menu makanan karena berbagai kesibukan yang kita alami dan saat di rumah mungkin kita sudah agak lelah. Jadi saya pikirkan karena anak saya doyan susu, maka daripada dia tidak makan lebih baik buat saya memberikan susu. Dan saya secara terbuka mengkonsultasikan dengan DSA saya, dan DSA tersebut menyarankan kepada saya kalau memang anak kita doyan susu maka tidak ada salahnya dia diberikan susu. Dan sekarang anak saya mau kok makan pepes tahu pakai daun kemangi, makan sayur sop dengan wortelnya, makan sayur labu dan lain2. Tidak ada kesulitan sama sekali buat mereka, walaupun waktu kecilnya mereka sangat susah sekali makan. Tetapi semuanya mungkin bergantung kembali kepada kita Mbak kalau memang kita punya banyak waktu atau ada orang lain selain pembantu atau baby sitter yang mau bersabar menghadapi anak kita makan, it's ok bisa saja diupayakan untuk memberikan yang menurut kita baik. Tetapi saran saya ini mungkin buat ibu2 yang seperti saya gitu, waktu sangat sempit dan tidak punya orang lain yang dapat diandalkan buat menjaga anak selain PRT dan BS he3x. So, harus cari penyelesaian yang simple dan tidak merepotkan buat anak saya. Rgrds, Lilis
Luluk Lely Soraya I <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Dear Mbak Lilis, Maafkan ya. Mungkin saya gak sependapat dg mbak. Kalo kita mo browsing dikit aja entah di Nakita atau situs-situs terpercaya spt www.askdrsears.com, dsb, maka hampir gak pernah saya menemukan advice dari dsa atau ahli gizi manapun agar memberikan susu atau menggantikan susu jika anak susah makan. Yg saya baca dari manapun justru konsumsi susu yg berlebihan yg membuat anak makin jadi urusan susah makannya. Dan memang tiap anak hampir pasti mengalami masalah susah makan. Penyebabnya bisa bermacam2, mulai dari bosan dg variasi makanan, terlalu byk makan cemilan padat kalori, terlalu byk minum susu, masuk periode negativism (terrible two), dsb.Jadi gak semata2 krn variasi makanan aja. Anak-anak kita tuh luar biasa pintar. Dan kita ortunya juga harus pintar dong. Dan memang betul yg dikatakan Mbak Intan dan ini statement resmi dari perkumpulan DSA sedunia loh ya : "bahwa anak yg normal (gak terganggu mentalnya) gak akan membiarkan dirinya kelaparan." Jadi kalo disikapi dg betul dia akan makan. Meski memang ada trik2nya. Spt hiasan makanan. Kita aja org dewasa sangat mempedulikan bentuk makanan saat datang ke restoran selain rasa. Jadi kalo nasinya dicetak dg cetakan agar2, kemudian sayurnya dicetak dg cetakan kue kering, ditaruh di piring yg cantik bermotif finding nemo. Kira2 anak mana yg akan nolak, at least utk menengok aja. Its only a matter of time. Soal cemilan sehat spt wortel kukus, yoghurt, dsb, hanya masalah kebiasaan kok. Sama spt anak doyan sayur atau gak. INgat anak itu plagiator sejati. Kalo dia liat ibu bapaknya gak suka sayur, maka besar kemungkinan anak gak suak sayur. Kalo dia liat ibu bapaknya suka nyemil gorengan, maka jangan harap anak suak cemilan wortel kukus, dsb. Saya sependapat kok dg mbak lilis bahwa susu itu bagus utk anak. Dan memang tepat sekali. Tapi bukan berarti harus berlebihan. Saya pernah berkesempatan tinggal di negeri orang (US). Waktu itu saya belum terlalu concern dg soal anak, dsb. Tapi selama saya tinggal disana & berteman dg teman2 yg berkeluarga. Saya gak pernah liat mereka "memaksa" anaknya mengkonsumsi susu saat anaknya berusia toddler (>1th). Apalagi saat susah makan. Jadi ? semua kembali ke kita. Rasanya kita sbg ortu juga harus terus belajar & membekali diri dg ilmu agar dpt memberikan yg terbaik utk anak. Saya posting juga artikel dari berbagai macam sumebr utk bahan pembelajaran bersama. Maaf kalo gak berkenan. Luluk ------------------------- Anak Sulit Makan? Kurangi Susu! Jakarta, Minggu Agar anak doyan makan, susu sebaiknya dikurangi, maksimal 1 - 2 gelas sehari Sulit makan! Ini sering terjadi pada anak-anak. Orangtua pun puyeng. Boro-boro menghabiskan makanan yang sudah dimasak dengan susah payah, menyuapkan sesendok demi sesendok saja bueratnya bukan main. Bagaimana mengatasinya? Anak yang sulit makan bukan monopoli masalah para ibu di negeri kita. Cuma satu kali mengeklik search engine di internet dengan kata kunci eating problem, syuut ... langsung terpampang puluhan situs web yang memaparkan kesulitan makan pada anak di planet ini. Dari situs tersebut ada sebuah situs yang menarik. Isinya, berbagi rasa diantara para orangtua yang anak-anaknya sulit makan. Salah satunya, pengalaman Rhonda di Kanada. "Dua anak lelaki saya berumur tiga dan lima tahun. Saya khawatir sekali karena tubuh mereka lebih kecil dibandingkan dengan teman-temannya. Mereka sangat pemilih soal makanan. Setiap makanan, yang saya masak dengan pertimbangan memenuhi standar gizi yang baik, selalu dikomentari ’Iiih’. Mereka menolaknya. Bagaimana agar mereka mau makan selahap kalau dibawa ke restoran fast food? Bagaimana pula agar mereka tidak selalu memilih makanan siap santap dari supermarket? Bagaimana membuat mereka mau mencoba makanan lain, bukan yang itu-itu saja?" Apakah Anda memiliki pengalaman dan pertanyaan serupa? Mari kita coba cari jawabannya Kurangi susu Faktor kesulitan makan pada anak, menurut dr. Eva J. Soelaeman, SpA, spesialis gastrohepato nutrisi anak dari RSIA Harapan Kita, Jakarta, bisa karena terlambat mengenalkan makanan padat pada si anak. Saat ia mulai diperkenalkan pada makanan kasar (usia setahun), saat itu juga seharusnya susu mulai dikurangi, maksimal 1 - 2 gelas sehari. Namun, orangtua cenderung kurang sabar memberikan makanan kasar. Akhirnya, daripada perut si anak tidak kemasukan makanan, diberikan saja susu melebihi jumlah yang semestinya. Dengan memperkenalkan aneka jenis bahan makanan, diharapkan anak semakin terbiasa dengan makanan rumah. Itu tergantung bagaimana pinter-pinter-nya ibu memberikan makanan bervariasi agar anak tidak cepat bosan. Salah satu penyebab susah makan, bisa jadi karena makanan sehari-hari kurang variatif. "Banyak ibu berpendapat, kalau belum makan nasi, (artinya) si anak belum makan," tambah Eva. "Padahal, makanan sumber energi seperti roti, bakmi, makaroni, bakpao, dll. bisa sebagai pengganti." Perlu juga diperhatikan apakah makanannya bergizi seimbang. Artinya, kandungan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral memenuhi syarat ilmu gizi dengan porsi disesuaikan kebutuhan dan usianya. Eva mengingatkan, agar tidak membiasakan makanan untuk anak diberi bumbu MSG sehingga kalau tanpa itu akan terasa hambar dan kurang enak bagi si anak. Orangtua juga sebaiknya mengatur menu makanan sehari-hari bagi anaknya, bukan diserahkan ke pengasuh. Apa yang dilakukan Ade, ibu dari dua anak yang masih duduk di TK dan SD, mungkin bisa ditiru. Hampir setiap hari ia berusaha memasak untuk keluarganya. Menyiapkan makanan sejak subuh sudah merupakan pekerjaan rutin sejak menikah. Agar menunya bervariasi, ia mencoba membuat daftar menu selama satu minggu. Untuk minggu berikutnya, ia berusaha tidak mengulang menu sebelumnya. (intisari) ------------------ http://www.kompas.com/wanita/news/0408/10/185144.htm MENGENAL SELERA MAKAN ANAK Menyiapkan makanan untuk anak-anak adalah hal yang gampang-gampang susah. Selain harus memenuhi standar gizi, tampilan makanannya juga harus menarik. Tak sedikit orang tua seperti Anda yang mengalami kesulitan dalam memberikan makanan pada anak. Apalagi kalau anak susah makan. Kurangnya keinginan makan pada anak umum terjadi, khususnya anak usia balita. Apa yang harus Anda lakukan untuk meningkatkan selera makan anak? Di usia balita, anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain. Kalau sudah asyik bermain, mereka seringkali mengabaikan waktu makan. Namun berbagai cara dapat Anda lakukan untuk menyiasati anak agar makan lebih banyak, terutama makanan yang bergizi tinggi. Salah satunya adalah menyuapi anak-anak sambil mengajaknya bermain. Biasanya anak lebih berselera makan makanan yang berupa cemilan karena tertarik dengan kemasan dan cita rasa yang disajikan. Saat ini banyak pilihan produk makanan dengan berbagai kemasan menarik di pasar. Mulai dari bentuk, warna, dan kemasannya. Tak jarang promosi produk-produk ini melibatkan pemberian produk mainan sehingga memperbesar daya tariknya. Namun yang harus Anda perhatikan adalah, apa pun makanan yang disajikan harus memenuhi kebutuhan gizi anak. Kalau anak senang makan cemilan, Anda sebaiknya memilihkan cemilan-cemilan yang memiliki komposisi gizi seimbang dengan kandungan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang lengkap. Yang perlu Anda perhatikan juga adalah bagaimana menciptakan suasana nyaman bagi si Kecil saat makan. Banyak cara bisa dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mona Ratuliu saat menyuapi si Kecil sambil mengajaknya bermain agar ia tidak bosan. Menambah pengetahuan dengan membaca buku yang membahas cara menyajikan makanan juga dapat dilakukan seperti yang Mona lakukan. Dengan demikian Mona mampu menyajikan makanan dengan bentuk dan warna-warna menarik, sehingga si Kecil lebih mudah diajak makan. Memperkenalkan Rasa dan Tekstur Makanan Secara Bertahap dr. Samuel Oetoro, MS menjelaskan bahwa pengenalan rasa dan tekstur makanan kepada anak harus dimulai sejak dini dan disesuaikan dengan tahapan usianya. Di usia 6 bulan bayi sebaiknya diperkenalkan denan bubur susu dan bahan makanan lain yang bertekstur. Menginjak usia 8 bulan perkenalkan pada nasi tim lunak. Usahakan untuk tidak mencampur aduk menu yang dapat menyebabkan rasanya menjadi aneh. Karena yang terpenting adalah memperkenalkan rasa dan variasi makanan pada si Kecil. Menu makanan biasa baru mulai diperkenalkan pada usia 1 tahun. Jika balita Anda suka makanan orang dewasa, seperti sate, ini adalah hal yang wajar. Yang penting gizinya harus lengkap, seimbang dan banyak variasinya. Artinya, mengandung karbohidrat, lemak, protein, dan sayuran atau mineral dengan komposisi seimbang dan jenis makanannya jangan monoton. Inilah yang selayaknya terpenuhi dalam menu sehari-hari. Jika anak belum suka makan makanan yang padat, Anda bisa menggantikannya dengan makanan cair, terutama susu. Sama seperti orang dewasa, anak-anak juga bisa merasa bosan dengan menu yang sama terus menerus. Anda harus jeli dan mampu memberikan makanan secara bervariasi. Selain harus jeli mengatur makanan agar anak tetap berselera, Anda juga tidak boleh memaksa anak untuk makan apalagi dengan ancaman. Karena ancaman ini dapat menyebabkan si Kecil trauma dan malah akan membuatnya semakin susah dibujuk untuk makan. (sahabatnestle) http://www.indomedia.com/intisari/1998/agustus/ogah.htm Anak Makan Salah Ortu Kalau seorang anak ogah-ogahan makan, bisa jadi bukan faktor si anak tetapi lantaran kesalahan ortu (orang tua) dalam menerapkan pola makan pada anak. Lantas apa yang harus dilakukan? Berikut paparan Dr. Ali Khomsan, ahli gizi yang juga dosen GMSK, Faperta IPB. Asupan gizi yang baik sering tidak bisa dipenuhi oleh seorang anak karena faktor dari luar dan dalam. Faktor luar lantaran keterbatasan ekonomi keluarga. Sedangkan faktor internal ada dalam diri anak yang secara psikologis muncul sebagai problema makan anak. Problema makan ini misalnya dijumpai dalam bentuk anak enggan makan. Perilaku ogah makan bukanlah persoalan sepele. Tidak ada obat mujarab yang bisa segera memulihkan nafsu makan anak. Anak yang malas makan selalu berusaha mencari-cari alasan untuk tidak makan. Misalnya dengan ngemut makanan, mempermainkan, atau memuntahkan makanan. Picky eater (pilih-pilih makanan) sering dijumpai pada anak yang membuat orang tua bingung. Anak yang cenderung berperilaku picky eater akan mengalami kesulitan dalam meramu variasi makanan untuk memenuhi kecukupan gizinya. Makanan yang dikonsumsi sehari-hari cenderung seragam, padahal keanekaragaman makanan merupakan cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan gizi. Anak-anak ini pun bisa saja setelah besar tidak mau mengkonsumsi makanan yang keras. Bahkan nasi pun harus diganti bubur. Mengapa problema makan ini muncul pada anak? Secara psikologis dapat diterangkan, perilaku makan timbul karena anak meniru atas apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lainnya. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang enggan makan, lantaran diet misalnya, akan mengembangkan perilaku enggan makan pula. Perilaku sulit makan juga dapat timbul karena orang tua tidak mengakui ego anak. Orang tua selalu memaksakan anak harus makan ini-itu dengan porsi yang sudah ditentukan. Misalnya dengan mengharuskan menghabiskan makanan di piring. Maksud orang tua mungkin benar mereka menginginkan anaknya tumbuh sehat dengan gizi cukup. Tetapi mereka kurang menyadari kalau makan bukan melulu persoalan gizi tetapi terdapat pula unsur psikologis. Soalnya, anak balita dalam rangka menuju proses kemandirian sebenarnya ingin pula diakui egonya. Jadi, sekali-kali beri mereka kebebasan untuk mengambil makanan sendiri tanpa harus disuapi. Ulah ortu Ada perbedaan mendasar bagaimana orang Barat mempersiapkan proses kemandirian anak dibandingkan dengan orang Timur. Di sini kita selalu cenderung meladeni anak, termasuk dalam hal makan karena tidak ingin makanan tumpah berceceran. Membuang-buang makanan adalah tabu dan bisa kualat. Sehingga dalam masyarakat kita bisa dijumpai orang tua masih menyuapi anak yang sudah kelas V SD. Hal ini nyaris tidak kita temukan pada masyarakat Barat yang sejak dini melatih anak untuk bisa makan sendiri. Perilaku makan yang kurang pas sering kali muncul karena ulah orang tua. Semisal kebiasaan untuk menenangkan anak yang sedang rewel dengan cara membelikan jajanan yang padat kalori (permen, minuman ringan, coklat, dsb.). Anak yang sudah mengkonsumsi makanan padat kalori perutnya akan segera kenyang sehingga ia tidak mau makan. Variasi makanan sangat menunjang tumbuh kembang anak. Karena itu kegiatan makan bagi seorang anak harus dibuat dalam suasana yang menyenangkan. Jangan ada unsur paksaan sehingga timbul kesan saat makan menjadi sesuatu yang menjengkelkan atau bahkan merupakan hukuman. Kebiasaan makan bersama yang sudah mulai ditinggalkan ada baiknya dihidupkan lagi. Anak balita pun bisa merasakan nikmatnya makan bila semua anggota keluarga duduk bersama-sama di meja makan. Problema makan pada anak dapat berakibat buruk bagi tumbuh kembang anak. Sedikitnya makanan yang masuk ke dalam perut anak dapat menjadi indikasi bahwa anak itu mempunyai peluang besar untuk menderita kurang gizi. Indikator status gizi kurang dicerminkan oleh berat badan atau tinggi badan anak di bawah standar. Dengan menggunakan ukuran standar sebagai pembanding kita dapat mengetahui status gizi seorang anak. Di dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), yang dibagikan secara gratis bagi peserta program Posyandu, tergambar grafik pertambahan berat badan berdasarkan usia anak. Melalui penimbangan anak balita setiap bulan dapat diketahui kecenderungan status gizi seorang anak. Mereka yang mengalami kegagalan pertumbuhan (berat badan tetap atau turun dalam penimbangan bulan berikutnya) sering disebabkan oleh kekurangan gizi atau sakit. Anak-anak itu mengalami kekurangan gizi karena kurangnya makanan di tingkat rumah tangga. Anak balita memang sudah bisa makan apa saja seperti halnya orang dewasa. Tetapi mereka pun bisa menolak bila makanan yang disajikan tidak memenuhi selera mereka. Oleh karena itu sebagai orang tua kita juga harus berlaku demokratis untuk sekali-kali menghidangkan makanan yang memang menjadi kegemaran si anak. Faktor psikososial yang bisa mempengaruhi nafsu makan anak bisa timbul karena pemberian makan yang terlalu tergantung pada seseorang. Misalnya, anak balita yang biasa disuapi pembantu mungkin nafsu makannya berkurang ketika harus makan bersama-sama ibunya yang selama ini selalu sibuk di kantor. Yang paling baik adalah menciptakan suasana sosial yang seimbang di dalam rumah tangga sehingga anak balita merasa dekat dengan semua anggota rumah tangga dan mau makan dengan siapa saja. Susu tidak wajib Asupan gizi yang baik tentu berperan penting dalam mencapai pertumbuhan badan yang optimal. Pertumbuhan badan yang optimal ini mencakup pula pertumbuhan otak yang sangat menentukan kecerdasan seseorang. Makanan siap saji cenderung tak seimbang kandungan gizinya. Masa pertumbuhan otak tercepat adalah pada trisemester ketika janin berada dalam kandungan sampai bayi berusia 18 bulan. Setelah itu otak masih tumbuh dengan kecepatan yang semakin berkurang sampai usia lima tahun. Oleh karena itu usia balita ini sangat rawan terhadap kondisi-kondisi kurang gizi. Pada usia rawan ini banyak orang tua yang mempunyai persepsi keliru mengenai makanan untuk anaknya. Misalnya, bayi sampai usia empat bulan sebenarnya cukup kalau hanya diberi ASI oleh ibunya tanpa tambahan makanan apa pun. Hal ini sesuai dengan sistem enzim dalam pencernaan bayi yang masih didominasi oleh enzim laktase untuk memecah laktosa susu. Tetapi sebagian orang tua menganggap bayi akan kelaparan tanpa makanan tambahan sehingga mereka memperkenalkan pisang, bubur, dan sebagainya. Padahal jenis makanan ini memerlukan kehadiran enzim maltase untuk memecah maltosa (karbohidrat) pada pisang atau bubur. Enzim maltosa umumnya belum banyak diproduksi oleh bayi di bawah usia empat bulan. Kesalahan dalam memberikan makanan ini tentu membuat tubuh bayi tidak dapat mencerna dengan sempurna makanan yang diberikan oleh ibunya sehingga sari makanan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Akhirnya, bayi bisa terhambat kecerdasannya. Setelah anak berusia dua tahun sebenarnya kehadiran susu dalam menu sehari-hari bukanlah hal wajib. Yang penting aneka ragam makanan dikonsumsi dengan cukup. Dengan memperhatikan 4 sehat saja (nasi, sayur, lauk, dan buah), anak-anak setelah usia dua tahun dapat tumbuh secara baik. Namun kenyataannya, orang tua seolah memaksa anak agar mengkonsumsi susu banyak-banyak dan membiarkan anak mengurangi porsi makannya. Padahal makan dengan porsi tiga kali sehari lebih penting daripada minum segelas atau dua gelas susu. Susu di banyak keluarga dianggap sebagai makanan dewa yang bisa menggantikan nasi, sayur, dan lauk pauk. Susu dari sudut pandang gizi bukanlah sumber protein tetapi lebih tepat sumber kalsium dan fosfor. Kalsium dan fosfor ini dengan mudah kita dapatkan dalam ikan teri atau ikan sarden. Sementara sumber protein utama kita adalah nasi serta lauk-pauk. Jadi, dengan konsumsi 4 sehat tanpa 5 sempurna pun anak-anak kita setelah usia dua tahun bisa tumbuh dengan optimal. Juga pertumbuhan tinggi badannya. Perawakan tinggi ini ditentukan oleh banyak faktor. Faktor genetik atau potensi biologik menjadi modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang. Tinggi badan seorang anak akan dipengaruhi tinggi badan kedua orang tuanya. Kita tidak bisa mengharapkan anak tumbuh tinggi bila orang tuanya pendek atau sebaliknya. Selain itu ada pula faktor hormonal. Hormon yang sangat penting untuk pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan, hormon tiroid, dan hormon seks. Hormon pertumbuhan diperlukan untuk merangsang perkembangan tulang panjang. Anak-anak yang menderita kekurangan hormon pertumbuhan hanya akan mempunyai tinggi akhir 120 cm pada masa dewasanya. Hormon tiroid berperan besar dalam metabolisme tubuh. Sedang hormon seks menentukan pertumbuhan anak pada masa pubertas. Jadi kalau ada anak disunat menjelang pubertas, sesudahnya dia tumbuh secara lebih cepat karena aktivitas hormon seks. Bukan khitan itu yang menyebabkan seseorang tumbuh lebih cepat. Ukuran perawakan tinggi sebagai manifestasi ketiga faktor di atas berbeda-beda untuk setiap populasi. Tinggi untuk ukuran kita belum tentu demikian untuk orang Eropa atau Amerika. Masyarakat kita bahkan mungkin belum bisa mentoleransi anak perempuan yang tingginya 175 cm. Tapi pada era globalisasi ini tinggi badan menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Soalnya, berbagai formasi pekerjaan mensyaratkan ukuran tinggi badan tertentu. Kalau dulu hanya ABRI dan awak pesawat udara, kini semakin banyak sektor yang menginginkan pegawainya berperawakan tinggi. Nah, ada baiknya para orang tua lebih memperhatikan perlaku makan putra-putrinya. -------------------- http://www.askdrsears.com/faq/fn1.asp Hi, Matthew was one-year-old on January 15th and is still breastfeeding. He eats a wide variety of solid foods... although in smaller quantities lately. My question is do I have to give him cow's milk ever? I gave up dairy because he was a very colicky and high need newborn. I tried introducing yogurt-he spit up later in the day. I tried to introduce soy yogurt- spit up. I offered a tiny piece of aged gouda for tasting and he pulled it out of his mouth. I have read about the issues surrounding cow's milk and possible intolerance or allergies. But is it okay if they never drink cow's milk. Didn't I read once that you aren't supposed to drink it beyond a certain age, anyway?" Does your baby really need actual cow's milk? No. The main thing that is in milk that is important for babies is calcium and fat. If your baby will eat yogurt, cheese, or calcium-fortified orange juice (when he is a bit older, of course), then your baby may not actually need milk. Many cereals are also calcium-enriched. The calcium requirement for infants is two or three servings of a calcium-rich food or beverage each day. One cup of milk, juice, or yogurt, or one piece of cheese, each counts as a serving. Breastfeeding at least four times each day also gives your infant plenty of calcium. Calcium-fortified soy milk is a good substitute for regular === message truncated === --------------------------------- Find local movie times and trailers on Yahoo! Movies.