Saat mendapat berita gembira tentang kehamilan pertamaku, aku bersama suami
langsung sujud syukur. Pada 12 Desember 2000, putriku lahir. Ia kami beri
nama Norifumi Sophie Rachmania. Rasanya aku mengalami kebahagiaan yang tiada
tara. Ia adalah sosok mungil pemberi semangat, sekaligus penghibur dalam
kehidupan kami yang pas-pasan kala itu. Demi dialah kami bertahan menjalani
hari demi hari.

Hidup kami rasanya makin lengkap dengan keberadaannya. Apalagi, ditambah
kehadiran anak kami yang kedua, M. Noriyuki Fachrurazi atau Yuki (1,6).
Kehidupan keluarga kami terasa kian harmonis. Setiap akhir pekan, kami
sekeluarga selalu pergi berjalan-jalan. Entah itu ke arena permainan
anak-anak, ke mal, atau hanya makan bersama di restoran siap saji. 
Sampai pada suatu akhir pekan kelabu itu, yang membuat acara akhir pekan
kami tak bisa lagi sama. Hidup kami rasanya langsung jungkir balik.... Sabtu
sore (30/08) itu, kami tidak langsung pergi jalan-jalan. Berhubung minggu
depannya ada saudara yang akan menikah, aku mengajak singgah ke tempat
penjahit langganan terlebih dahulu yang terletak di Jalan Sawo Kecik, Bukit
Duri, Jakarta. 

Sebetulnya yang turun di situ cukup aku saja. Tapi, Sophie bersama tantenya
(adikku) ikut turun. Yuki tinggal di mobil bersama suamiku. Jalanan di
sekitar tempat itu memang tidak terlalu lebar, hanya tiga meter. Lokasinya
sih, lebih mirip gang, tapi mobil bisa lewat dari dua arah, meskipun mepet.
Jalan itu, kecil tanpa trotoar, tapi suasananya "hidup". Kendaraan umum
seperti mikrolet banyak yang melewati jalan itu.

Ketika aku sedang asyik menerangkan design baju yang kuinginkan pada
penjahit, adikku berkata, "Teh, aku ambil Yuki dulu, ya." Aku mengiyakan
saja. Sayangnya, aku tidak menyangka Sophie mengikuti tantenya. Sekilas aku
masih melihat Sophie menyusul langkah adikku. Ternyata, setelah aku lihat
lebih jelas, adikku sudah berada di seberang jalan, sedangkan Sophie baru
saja hendak menuju ke jalan. Secepatnya, aku mencoba menyusul dan berusaha
meraih tanggannya. Belum sempat kuraih, dia terus berjalan. Dalam hati, aku
berdoa, semoga tidak ada mobil yang lewat. Perasaanku pun deg-degan.

Tiba-tiba, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi datang. Buum! Tubuh Sophie
dihantamnya, tepat di depan mataku. Ya Tuhan....! Hanya selang beberapa
detik, aku melihat tubuh Sophie terpental sekitar 50 meter di depan mobil
tadi. Belum sempat aku berbuat apa-apa, mobil yang melaju itu --sepertinya
pengemudinya tidak bisa mengerem-- kembali menerjang tubuh anakku yang
terbaring di jalan. Melihat kejadian itu, tak kuasa aku untuk berteriak,
walaupun hatiku menjerit kencang. Aku seperti dipaku ditempat. Shock!

Peristiwa itu terjadi di depan mata kami semua: aku, suami, anakku, dan
adikku. Kami lantas berlarian ke arahnya. pedih sekali rasanya melihat
bidadari kecilku berlumuran darah, merintih kesakitan sambil mengucap
dengang lirih, "Ayah...Ayah...Ayah..."

Kami berebut masuk ke mobil, melarikannya secepat mungkin ke Rumah Sakit
Mitra Internasional di Kampung Melayu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
tempat kejadian. Sepintas, aku masih melihat mobil yang menabraknya tidak
bergerak. Pengendaranya, seorang wanita berusia kurang dari 40 tahun,
terlihat masih shock. Suamiku mengklakson mobilnya berulang-ulang agar
menepi, memberi jalan buat kendaraan kami. Akhirnya dengan bantuan
orang-orang di sekitar lokasi itu, mobil wanita tersebut bisa dipinggirkan.
Di mobil, Sophie masih dalam keadaan sadar. Dia terus merintih. Wajahnya
kebam-lebam. Aku tahu, betapa sakitnya dia. Melihat itu, rasanya aku ingin
mati saja. Aku cuma bisa bilang, "Kakak tahan, ya? Tahan, ya?" untuk
menenangkannya.

Sampai di rumah sakit, Sophie langsung masuk ke ruang UGD dan mendapat
perawatan intensif. Kami bersyukur Sophie dapat ditangani dengan cepat,
tanpa harus melewati prosedur segala macam. Aku terus menagis sambil
menunggu kepastian dari dokter. Perasaanku galau. Beberapa jam kemudian
dokter yang menanganinya keluar dari ruang operasi.

"Kondisi anak ibu sangat kritis. Paru-paru kanannya pecah, kedua tulang
bahunya rontok, tulang rusuk retak, dan di tengkorak pangkal otaknya juga
retak. Kami belum bisa berharap banyak," ujar dr. Antonius, spesialis anak.

Setelah mendengar penjelasan itu, pandanganku langsung buram, lututku lemas,
dan hati ini rasanya seperti ditusuk-tusuk.

Keluargaku sepertinya sudah pasrah mendengar vonis dokter. Tapi, aku belum
menyerah. Aku terus berharap, malaikat mungilku bisa kembali ke pelukanku.
Aku terus berdoa agar beberapa operasi yang dia jalani hari itu membawa
mukjzat. Lewat jendela kamar, kupandangi sosok mungil itu. Sedih sekali
melihat tubuhnya harus "dilubangi" untuk mendapat bantuan perawatan dari
mesin. Kenapa bukan aku saja yang menggantikannya? kurasakan, air hangat
mengalir dari kelopak mataku.

Sambil memandanginya, aku teringat peristiwa Sabtu pagi itu. Ayahnya
bercerita tentang mimpi yang dialaminya dua malam berturut-turut. Mungkin
itu firasat ayahnya. Mimpi pertama, ayahnya memimpikan Sophie meninggal
dunia. Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum. Padahal, menurut mitos,
mimpi itu artinya orang yang dimimpikan malah panjang umur. Malam kedua, dia
melihat air bah yang bening, sekitar 50 meter. Dia menyelamtkanku dan
sikecil, Yuki. Tapi, Sophie tidak ada. Saat suamiku menceritakan kepadaku,
aku hanya tertawa saja, dan mengatakan bahwa itu hanya bunga tidur, tidak
berarti apa-apa. Siapa sangka kami akan mengalami hal ini?

Hari Minggu-nya, ternyata masa kritis Sophie bisa dilewati, meskipun 90%
fungsi tubuhnya masih dijalankan oleh mesin. Kondisinya belum membaik, tapi
harapanku muncul kembali. Keesokan harinya, fungsi tubuhnya sudah mulai
membaik. Paginya, dia hanya mendapat bantuan mesin 40% saja. Siangnya malah
lebih baik lagi, hanya 10%. Secara umum, kondisi tubuhnya mulai membaik,
jantungnya bekerja sendiri, paru-parunya sudah berfungsi kembali. Rasanya
bahagia sekali, sepertinya doa-doaku terjawab.

Sambil menunggui di samping tempat tidurnya, aku sering menyanyikan lagu
anak-anak kesayangannya. Sophie memang suka sekali menyanyi. Sepertinya aku
juga mendengar suaranya mengikuti irama lagu yang kunyanyikan.

Tapi, kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama. Ada satu bagian luka yang
tidak terlihat oleh dokter. Di bagian otaknya terdapat rembesan darah yang
tidak terdeteksi. Hal ini menyebabkan dia kejang dan kondisinya kembali
memburuk. Hatiku cemas sekali. Aku terus berdoa kepada Tuhan agar diberikan
kesempatan kedua untuk merawatnya lagi. Aku masih yakin, Sophie akan kembali
sehat, apalagi aku melihat usaha keras dr. Antonius. Jantungnya masih terus
dipompa.

Namun, takdir berkata lain. Saat melihat dia mengembuskan napas terakhir,
aku masih belum percaya dia sudah pergi untuk selama-lamanya. Aku terus
berteriak, "Kakak pulang, ya? Kakak cepat pulang lagi, ya," jeritku tidak
rela melepasnya. Bude-ku yang sudah lama berada di sampingku berkata sambil
menepuk pundakku, "Likat, Sophie tersenyum." Aku melihatnya. Ternyata benar,
dia tersenyum manis. Melihat itu, rasanya aku ingin mendekati untuk
memeluknya dan tak akan kulepaskan lagi. Tapi, aku hanya bisa memandanginya
dari balik jendela ruang ICU. Akhirnya, tepat pukul 16.40, Sophie dinyatakan
telah tiada.

Kini, yang bisa kulakukan hanyalah mengenangnya. Aku masih ingat kala
pertama kali menggendongnya di pelukanku. Rasanya bahagia sekali, sekaligus
lega, sebab proses kelahirannya tidak semudah yang kubayangkan. Setiap
kontraksi, aku hampir pingsan, karena tidak kuat menahan sakit. Tapi, dokter
yang membantu persalinanku sangat sabar. Keputusan untuk dioperasi caesar
pun sudah di depan mata. Tetapi, tak berapa lama, dengan cara divakum bayi
perempuan mungil itu akhirnya keluar juga. Kami memberinya nama Sophie,
sesuai dengan nama dokter yang menolong persalinanku. Norifumi juga nama
yang sangat unik, artinya malaikat. Dia memang malaikat kecil kami.

Semua orang dalam keluargaku menyayangi Sophie. Perilakunya yang riang dan
lincah selalu membuat hati setiap orang yang melihatnya ikut gembira. Aku
sangat bersyukur akan kehadirannya dalam kehidupan kami. Dia anak yang
sangat mengerti orang tua. Tidak banyak permintaan dan selalu menurut kepada
orang tuanya.

Sejak bayi pun Sophie tergolong anak yang kuat. Tidak gampang jatuh sakit.
Saat ayahnya masih bergabung dengan kelompok lawak Padhyangan 6, Sophie
selalu menyertai ayahnya manggung. Bahkan, tidak jarang juga dia dibawa
keluar kota. Untungnya dia anteng dan tidak rewel. Jadi, semua crew yang ada
juga ikut menjagainya. Bisa dibilang, Sophie adalah anak asuhan Padhyangan.
Setelah usianya beranjak 9 bulan, ayahnya mengundurkan diri dari kelompok
itu dan hijrah dari Bandung ke Jakarta untuk bekerja di salah satu provider
telepon selular. Di Jakarta kehidupan kami makin membaik. Kami membangun
keluarga ini mulai dari nol. Tapi, sepertinya, setelah kelahiran Sophie,
rezeki selalu saja datang. Makanya, kami sering bilang Sophie itu pembawa
berkah dalam keluarga kami. Kadang-kadang, kami menyebutnya secara guyon
sebagai "anak preman", karena dia cepat beradaptasi di segala situasi dan
kondisi. Diajak naik becak, angkot, motor, hingga sekarang naik mobil pun
dia oke-oke saja.

Istimewanya, dia cepat menghafal sesuatu. Walau usianya baru dua tahun
lebih, dia sudah hafal banyak lagu. Lagu-lagu dalam satu VCD anak-anak bisa
dinyanyikannya semua. Kesukaannya menyanyi ini tidak hanya dilakukan di
rumah. Di acara anak-anak, dimana pun, kalau disodori mikrofon, dia langsung
tarik suara, tanpa malu.

Sophie sangat dekat dengan ayahnya. Aku tahu, ayahnyalah yang paling merasa
kehilangan. Sophielah yang selalu membangunkan ayahnya setiap pagi, lalu
membawakan koran dan secangkir teh. Meskipun sering tumpah di tempat tidur,
aku tidak sanggup melarangnya melakukan kebiasaan itu. Kini, tidak ada lagi
suara yang berkata, "Ayah, hati-hati, ya?" sambil melambaikan tangannya dan
mengantarkan ayahnya berangkat kerja. Tak ada lagi sapaannya untuk ayahnya
via telepon setiap siang. "Ayah cepat pulang, ya," celotehnya manja.

Beberapa minggu setelah dia pergi, rasa sakit terus menderaku. Apalagi mulai
muncul kerinduanku untuk memeluk dan menciumnya. Rindu mendengar
celotehannya, rindu menlihat gerak-geriknya, rindu sapaannya. Saking
rindunya, aku sering menangis sejadi-jadinya. Akhirnya, aku shalat untuk
menenangkan hati.

Banyak orang bilang, anak adalah titipan Tuhan. Tapi, kadangkala aku masih
terus bertanya-tanya, mengapa Tuhan mengambilnya terlalu cepat, padahal kami
menerima dengan sepenuh hati titipan-Nya tersebut? Apa dosa kami? Apa
kesalahan kami? Tapi, mungkin ini adalah rencana Yang Mahakuasa, karena di
sisiNya Sophie pasti lebih bahagia.

Aku mencoba bersikap tegar, walau setiap sudut rumahku selalu mengembalikan
kenangan tentang Sophie. Tidak hanya itu. Saat berbelanja, membayar listrik
atau telepon, ke bank, atau hanya jalan-jalan di depan rumah, selalu terasa
ada dia di sampingku. Karena, ke mana pun aku pergi selama ini, Sophie
selalu kuajak. Lucunya, bila diajak ke mal, bukannya dia yang lelah, malah
dia yang sering bertanya padaku, "Mama capek, ya?"

Sophie sudah pergi, dan tak ada cara untuk mengembalikannya padaku.
Betapapun sakitnya, kami tidak dendam dengan wanita yang menabraknya. Kami
malah menganggapnya saudara. Dia benar-benar bertanggung jawab atas
perbuatannya. Selama Sophie dirawat, dia terus berada di rumah sakit,
termasuk saat pemakaman. Kami tahu, dia pasti tidak sengaja. Sebab, seperti
kami, dia juga shock dan stres.

Kenangan indah bersama Sophie, mulai dari kelahiran hingga akhir hisupnya,
menjadi memori yang tak akan kami lupakan. Selamat jalan malaikat kecilku!

(Kisah nyata M. Denny Abe (32) dan Henna Hennyastuty (30), yang harus ikhlas
melepas kepergian putri pertama mereka, Norifumi Sophie Rachmania (2 tahun 8
bulan), akibat ditabrak mobil - CN02).

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke