Good article
Bisnis Indonesia Kesehatan Minggu, 20/03/2005 Pemberian ASI pada bayi perlu perlindungan hukum Setelah peraturan pemerintah (PP) tentang pemasaran susu Formula dicanangkan, tidak ada alasan bagi perusahaan produk tersebut memberikan sampel kepada masyarakat tanpa persetujuan pemerintah dan pihak layanan kesehatan menerimanya dengan dalih promosi. Peraturan pemerintah (PP) tentang pemasaran susu formula juga menegaskan pemberian air susu ibu (ASI) kepada bayi harus ditingkatkan dan dilindungi. Masa eksklusif itu sampai usia bayi enam bulan dan dapat dilanjutkan hingga dua tahun. Jika produsen susu formula dan layanan masyarakat melanggar PP itu, sanksinya bukan hanya tindakan administrasi tapi juga dalam bentuk hukum pidana dan perdata. Sanksi itu selama ini belum pernah diterapkan pemerintah dalam pengaturan pemberian ASI eksklusif dan peredaran susu formula bagi bayi, sebagaimana termaktub dalam SK No.237/Menkes/SK/IV/1997 direvisi No.450/Menkes/SK/IV/2004. Sanksi itu juga menyangkut larangan mengimpor dan mengedarkan susu formula, botol, dot yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Termasuk pelarangan pada lebel produk yang menggambarkan ilustrasi bayi, tulisan mengidealkan produk, tulisan 'semutu air susu ibu', kalimat provokativ agar ibu tidak menyusui dan lainnya. Menurut Rachmi Untoro, Direktur Bina Kesehatan (Gizi) Masyarakat Depkes, PP yang saat ini dalam proses persetujuan presiden itu diperlukan, terutama untuk melindungi kesehatan bayi. "Demi pengembangan sumber daya manusia bangsa negeri ini di masa mendatang, maka dipandang sangat perlu pemberian ASI eksklusif sejak dini hingga enam bulan. Kalau perlu lebih. Sebab, pada tahun pertama akan menentukan hari depan seorang anak," jelasnya kepada Bisnis baru-baru ini. ASI, lanjut dia, dibandingkan susu formula adalah makanan yang paling baik bagi bayi di tahun-tahun awal, dan hal itu harus disadari masyarakat. "Banyak kerugiannya jika bayi di bawah satu tahun, apalagi kurang dari enam bulan, diberi susu formula. Khususnya masalah kesehatan," tegasnya. Menurut Rachmi, hasil penelitian 300 negara menyimpulkan bahwa bayi yang diberi ASI sejak dini akan memiliki kekebalan tubuh lebih sempurna, IQ cukup tinggi dan perkembangan fisik sangat ideal. Di dalam kandungan ASI, menurut dia, terdapat zat makrofag, limfosit, imunoglobulin, laktoferin, faktor bifidus dan lainnya. "Bagi bayi mudah dicerna dan diserap, juga eskresi tidak membebani ginjal karena solute loadnya rendah," paparnya. "Sebaliknya bila bayi diberi susu formula, selain ketahanan tubuh rentan, IQ pas-pasan bahkan rendah, begitu juga fisiknya akan mengalami kegemukan dan harus waspada terhadap diabetes. Itulah perlunya seorang wanita memberikan ASI kepada bayinya," sarannya. Selain manfaat ASI banyak bagi kesehatan fisik, urai Rachmi, faktor psikologis bagi bayi pun tidak kalah pentingnya. Jika seorang ibu kerap memberikan ASI-nya maka perkembangan jiwa si bayi akan jauh lebih baik ketimbang hanya memberikan susu formula melalui botol. "Ada sentuhan kejiwaan ketika wanita menyusui bayinya, berbeda pada saat memberikan susu dengan botol dot. Perlu diketahui oleh para ibu bahwa proses perkembangan psikologis bayi di tahun pertama sangat penting, karena hal itu awal dari pembangunan jiwa selanjutnya," jelas Rachmi. Tidak manusiawi Agus Pambagio, Ketua Pendiri Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa, LSM yang konsentrasi terhadap kesehatan keluarga, menegaskan bahwa pemberian susu formula kepada bayi di bawah enam bulan atau satu tahun sangat tidak manusiawi. "Bagaimana mungkin DHA bintang diberikan kepada manusia. Tentu saja akan berdampak pada penurunan kecerdasan dan kesehatan anak manusia. Jadi perlu ada tindakan perlindungan terhadap bayi," katanya kepada Bisnis. Perlindungan itu, lanjut Agus, harus dikonkretkan ke dalam bentuk hukum, yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. SK Menkes hanya terbatas pada sanksi adminitratif berupa teguran lisan sampai pencabutan izin usaha. "Kalau PP sudah ada maka akan terjadi tindakan hukum, baik pidana maupun perdata. Saya mendesak pemerintah segera merealisasikan dan sekaligus mensosialisasikan PP tersebut," pinta Agus. Pada bagian lain dia menyesalkan sikap instansi layanan kesehatan memprovokasi masyarakat agar memberikan susu formula kepada bayi yang baru lahir. Tindakan tak terpuji yang bisa dikategorikan pelanggaran pidanabanyak terjadi di rumah sakit anak dan keluarga. "Biasanya para medis itu memberi secara gratis susu tersebut, bahkan untuk dibawa pulang. Itu kan nggak benar, dan patut disesalkan. Saya pikir perlu sanksi pidana bagi pelakunya. Kalau tidak, hal serupa akan terus terjadi dari waktu ke waktu di negeri ini," sesalnya. Masalah pemasaran dan promosi susu formula, menurut Agus, perlu mendapat perhatian. Pemerintah mesti mengatur secara ketat, jangan sampai muncul indikasi yang bersifat memperdaya masyarakat agar meninggalkan ASI. "Padahal, sebagaimana kita ketahui pemberian susu formula kepada bayi di bawah usia enam bulan sangat tidak menguntungkan. Tapi justru memutarbalikkan fakta itu dengan memprovokasi masyarakat agar memberikan susu sapi." Dia juga berharap masyarakat menyadari pentingnya pemberian ASI kepada bayi di bawah enam bulan. "Kode etik WHO pun menegaskan batasan pemberian ASI kepada bayi selama enam bulan. Bukan empat bulan seperti yang tertera pada SK Menkes No.237/1997. Saya tidak setuju masa pemberian ASI seperti itu, kalau perlu satu sampai dua tahun." Peran suami Dari hasil berbagai riset LSM dan layanan kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa pemberian susu formula kepada bayi di bawah usia enam bulan banyak dilakukan wanita perkotaan. Ada beberapa alasan kenapa tindakan kurang patut itu mereka lakukan. Pertama, menyangkut keberadaan seorang ibu yang waktunya lebih banyak di kantor, kedua, rasa takut jika payudara membesar dan tidak indah lagi, sehingga suami kurang menyukai. Dua faktor itu diakui oleh para wanita sebagai penyebabnya. Menurut Rachmi, semua itu adalah pembenaran para ibu. "Di samping memang nggak mau direpotkan oleh anak. Padahal mereka bisa memasukkan ASI ke dalam botol sebelum bekerja, dan disimpan di dalam suhu 5-10 derajat selama beberapa jam." Tentang sikap suami, lanjut dia, memang banyak dikeluhkan meski kebenarannya perlu diteliti lebih jauh. Setelah menyusui bentuk payudara wanita pasti berubah, karena kulit tubuh tidak bisa kembali menyusut seperti semula. Jika alasannya takut bentuk payu dara tidak indah lagi karena menyusui, Rachmi menyarankan sebaiknya para suami mengerti betapa penting ASI bagi bayinya. Artinya, peran suami sangat dibutuhkan sang istri dalam hal pemberian makanan sehat tersebut. Bukan justru sebaliknya. Ketua Sentra Laktasi Indonesia (Indonesian Breastfeeding Center) Utami Roesli mengatakanperan suami penting dalam kaitan itu. Sayangnya sejauh ini tidak sedikit para suami menyadari hal tersebut. Padahal perhatian suami dapat merangsang proses produksi ASI, khususnya menyangkut pikiran positif agar ibu merasa nyaman saat memberikan ASI. (sin) © Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited. AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA UTARA !!! ================ Kirim bunga, http://www.indokado.com Info balita: http://www.balita-anda.com Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]