TV Indonesia emang paling canggih klo nyalin acara LN neh.
Maaf ya OOT bgt.
just Fyi aja.

rgrd



 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/27/UTAMA/1644210.htm 
Dagangan Bernama Sayembara Cinta 


PARA perempuan muda, cantik dan wangi, berdiri menunggu seorang laki-laki muda 
turun dari helikopter berjalan menghampiri mereka. "Aku sampai mau pingsan," 
komentar Tere (22), satu- satunya yang berambut keemasan ketika menyaksikan 
peristiwa itu.

GADIS dengan tinggi lebih dari 160 cm itu adalah satu dari 20 perempuan dari 
berbagai latar belakang yang dipilih melalui seleksi untuk memenuhi undangan ke 
Vila Atas Ombak, Bali, sebagai tamu yang diperlakukan serba istimewa. Dalam 
perjalanan ke tempat tujuan dari kota masing-masing, mereka tampak sangat 
gembira, tetapi bingung karena tidak tahu untuk apa diundang ke Bali.

"Anda diundang ke sini untuk mengikuti sayembara cinta," kata Piere Gruno, 
mewakili pihak pengundang. Ia menjelaskan, mereka akan diperkenalkan dengan 
seorang miliarder muda, berdarah biru, bernama Marlon. Konon, Marlon baru saja 
mendapat warisan sebanyak Rp 50 miliar ditambah sejumlah properti dan beberapa 
perusahaan. Namun, untuk itu semua ia terlebih dahulu harus memilih seorang 
perempuan sebagai pasangan hidupnya.

Untuk itulah Piere Gruno, yang bertindak sebagai personal advisor (penasihat 
pribadi) sang miliarder, mengundang mereka yang telah lolos seleksi untuk 
mengikuti audisi merebut hati Marlon.

Dari sini permainan dimulai dan dikemas dalam tayangan berjudul Joe Millionaire 
Indonesia. Acara ini disiarkan RCTI mulai tanggal 18 Maret lalu setiap hari 
Jumat dan Minggu.

JOE Millionaire adalah tayangan reality show yang diklaim sebagai paling 
populer di dunia. Acara yang diproduksi Fox International ini telah diadaptasi 
di 13 negara. Indonesia adalah negara Asia pertama yang mengadaptasi acara ini.

Marlon Gerber, peselancar berdarah campuran Bali-Australia yang tinggal di 
Bali, menggantikan Evan Wallace Marriot, pekerja bangunan dari Virginia, AS, 
dan berpenghasilan 19.000 dollar AS setahun yang disulap menjadi Joe, si 
bangsawan yang mewarisi uang 50 juta dollar AS.

Marlon juga tidak boleh berlaku seperti Joe di AS yang tinggal serumah dengan 
para perempuan itu dan bisa sesukanya mencium bibir mereka. Kata Lala Hamid, 
"Joe Millionaire tidak 100 persen mengadaptasi acara aslinya," ujar Direktur 
Program RCTI itu.

Lala mewanti-wanti rumah produksi Cross Media Services yang membuat Joe 
Millionaire Indonesia untuk lebih menekankan acara ini pada sisi drama tontonan 
itu. Rasa sedih, bahagia, marah, dan sayang, mulai dari bahasa tubuh sampai 
pandangan mata, baik yang muncul pada Marlon sebagai Joe maupun para perempuan 
pesertanya yang lebih ditampilkan dalam reality show itu.

Akan tetapi, apakah persaingan ketat yang sampai mengarah pada kekerasan secara 
fisik (di balik layar) dan strategi untuk saling menjatuhkan demi memperebutkan 
cinta "sang pangeran" layak disebut drama, atau lebih tepat disebut tragedi?

Apakah perempuan yang menyediakan diri mereka untuk ditatap dengan berdiri 
berjajar dan melenggak-lenggok seperti harem di depan "sang pangeran" dalam 
suatu acara malam yang dibuat mirip gambaran pada film Moulin Rouge itu drama 
atau pelecehan?

Apakah kencan khusus sebagai "hadiah" membuatkan makanan kegemaran "sang 
pangeran" layak disebut drama? Bukankah eliminasi atau penolakan berdasarkan 
selera sang pangeran lebih layak disebut pelecehan terhadap kemanusiaan 
perempuan?

Pernyataan "pinter saja tidak membuat seseorang berada pada posisi aman" dari 
salah satu psikolog yang dikontrak khusus untuk acara itu barangkali cukup 
untuk menjelaskan sifat dari tontonan ini.

"Ini memang sekadar tontonan tentang kencan," ujar HB Naveen, Produser 
Eksekutif dan salah satu penulis skenarionya.

Di AS pun, meski Joe memberikan inspirasi untuk program sejenis lainnya, 
seperti The Bachelorette dengan Trista Rehn sebagai si pencari jodoh, tontonan 
itu bukan tidak menuai kritik. Berbagai media massa mengomentari tayangan itu 
sebagai "penipuan, kebohongan, keserakahan, dan kebodohan".

"Tayangan itu penuh kebohongan dan tidak jelas apa pesan yang hendak 
disampaikan," sergah Gadis Arivia, feminis, doktor filsafat, dan pendiri 
Yayasan Jurnal Perempuan. Ia menegaskan, "Dasar pengujian cinta bukanlah 
penipuan."

Program itu, entah sengaja atau tidak, telah dikonstruksikan sedemikian rupa 
sehingga memberi kesan bahwa persaudaraan di antara kaum perempuan adalah 
sesuatu yang nonsense; bahwa perempuan tak ada bedanya dengan laki-laki yang 
hanya mengenal zero-sum game dalam persaingan; bahwa perempuan tak lebih 
sebagai obyek.

"Di AFI dan Indonesian Idol ada kreativitas dan kompetisi talenta. Di sini 
apa?" tanya Gadis.

Pemilihan laki-laki berdarah campuran sebagai Joe menegaskan apa yang disebut 
sebagai colonialized mind, pikiran yang terjajah, karena menganggap laki-laki 
bertampang bule sebagai yang paling hebat, dan, karenanya, diperebutkan.

Kepada para laki-laki muda diberikan gambaran bahwa perempuan tidak tulus; 
tidak menginginkan laki-laki sebagaimana adanya; tak bisa dipercaya; bahwa 
laki-laki harus sangat hati-hati karena perempuan hanya menginginkan uang 
sehingga para perempuan itu harus membuktikan bahwa mereka bukanlah satu pun 
dari jenis itu.

"Ah ini kan acara yang isinya pertarungan cinta, bukan masalah uang," kata 
Naveen. "Adakah mereka tetap mencintai Marlon meski kemudian tahu siapa 
sebenarnya Marlon. Jadi, di sini yang bicara hati, dan kekayaan bukan 
tujuannya," ucap Naveen ketika ditanya apakah pada akhir acara Joe dan peserta 
yang dipilihnya akan mendapatkan ganti "warisan" kebohongan berjumlah Rp 50 
miliar itu.

Mungkin memang bukan masalah uang, melainkan "pertarungan cinta". Jadi, 
sebenarnya tidak jelas apa kegunaan identitas suku yang ditempelkan kepada para 
peserta (pada episode selanjutnya identitas ini dihilangkan). Orientasi seksual 
Joe pun dikonstruksikan tanpa melihat kenyataan adanya orientasi seksual lain.

Kata Naveen, tidak ada peserta yang sakit hati setelah acara ini selesai. 
Bahkan, semua peserta menjadi teman baik dan pergi bersama-sama untuk 
mempromosikan acara ini. "Ini adalah tontonan televisi, tak beda dengan 
sandiwara," kata Naveen.

Tontonan seperti itulah yang disebut Jean Baudrillard sebagai hyperreality; 
kepalsuan ditampilkan dalam suatu realitas yang tampak sungguh-sungguh sehingga 
orang tertipu.

"Televisi menyuguhkan realitas tayangan sebagai sesuatu yang benar-benar riil. 
Seperti penciptaan Disney Land untuk anak-anak. Tampaknya sangat riil, padahal 
tidak," ujar Gadis seraya menjelaskan makna pencitraan dalam the genesis of 
simulacra.

Legitimasi ilmiah dalam proses pencitraan yang dilakukan dengan 
mengikutsertakan para psikolog dikatakannya merupakan bagian dari pengelabuan 
dan konspirasi demi kapital.

"Tidak ada pesan positif dari tayangan seperti itu," tegas Gadis mengenai 
tayangan yang dibuat dengan biaya Rp 5 miliar ini. Menurut Lala, 12 menit slot 
iklan sudah terisi untuk acara yang berdurasi sekitar 60 menit dalam 26 
episode, 13 episode eliminasi dan 13 episode Behind the Scene Joe Millionaire 
Indonesia.

Pencapaian secara ekonomi tampak mengesampingkan dampaknya karena diasumsikan 
masyarakat cukup paham bahwa tayangan itu sekadar sandiwara. Padahal, menurut 
Gadis, dalam masyarakat dengan tingkat pendidikan yang kurang dapat menerima 
informasi secara matang seperti di Indonesia, tayangan seperti itu berpotensi 
membuat masyarakat mengalami disorientasi. "Tanda" berupa tayangan akan 
diterima apa adanya, tanpa olahan refleksi.

"Itulah yang disebut Baudrillard sebagai hypercapitalist mode, suatu modus 
kapitalisme yang sangat canggih dan tidak mudah dihadapi karena jauh lebih 
rumit dari sekadar modus yang menghadapkan buruh dengan majikan," tegas Gadis.

Entah apa yang sebenarnya ada di benak peserta ketika mereka memutuskan untuk 
terus ikut seluruh acara ini. Seorang peserta yang berprofesi sebagai model 
mengatakan akan menggunakan acara itu sebagai batu loncatan.

Barangkali itulah hebatnya kemayaan dalam realitas tayangan seperti itu: ia 
menciptakan mimpi dan janji-janji. Termasuk perubahan nasib, barangkali. Ibu 
Kartini, maafkan kami.. (CP/MH)

Kirim email ke