barusan baca di era muslim, kita udah sering bgt baca cerita yg mirip dengan cerita ini, tapi tetap aja bikin kita terutama "moms" pasti terharu......hik...hik...hik...hik...
Iq, Maafkan Mama! Publikasi: 21/03/2005 14:22 WIB eramuslim - Senja menjelang. Saat yang kunanti setelah sepanjang hari aku harus menghabiskan waktuku di luar rumah. Putra kecilku yang mulai tumbuh besar selalu terbayang di pelupuk mata. Senyumnya yang jenaka, wangi tubuhnya, tawa riangnya, celotehnya, semuanya membuat rinduku bertambah setiap waktu. Bocahku, dia yang selalu membuat aku tertawa walau beban begitu berat terasa. Sayangnya aku tak bisa menikmati kebersamaan ini setiap waktu. Minimal sembilan jam sehari kubelanjakan waktu tanpa kehadirannya. Aku memang tak seberuntung perempuan lain yang mampu mengambil keputusan untuk tinggal di rumah, menunggui anaknya setiap waktu. Aku masih memerlukan pekerjaan ini, untuk menunjang ekonomi keluarga kami. Ups, tiba-tiba pikiranku melayang pada pekerjaan kantor hari ini. Begitu banyaknya kerjaan telah menyita hampir seluruh tenagaku. Dan membuatku tak sempat melontarkan senyuman. Sebentar lagi tukang ojek akan tepat berhenti di depan rumahku. Setelah kubayar, ojek pun pergi dengan raungan motornya yang memekakkan telinga. Dan, pintu pun terbuka. "Mamaaa!!" Sebuah teriakan kecil menyambutku, senyum tulus pun mengiringi. "Iq senang kalau Mama datang. Iq tadi main sama Yoga. Minum susunya empat kali," mulut mungil itu tak henti bercerita. Sementara aku yang sudah kelelahan dengan beragam masalah di kantor, seperti tak lagi punya tenaga untuk menanggapi sebagaimana harapannya. Tiba-tiba, tangan kecil itu sudah memegang kamera digital yang belum kusimpan di lemari. Dan, secepat kilat membukanya, mengaktifkannya dan lensa kamera pun tersentuh tangannya berulang kali. Spontan kurebut kamera itu dari tangannya. Mataku melotot. "Maafkan Iq, Ma. Ayo Mama ketawa. Mama jangan marah ya..." Bukannya mereda, kemarahanku malah memuncak. Bentakan pun membuatnya semakin menunduk. Air mata mengalir diantara tangisannya. Hatiku yang panas sama sekali tak luluh melihat pemandangan itu. Sisi hatiku yang lain menyuruhku untuk merengkuhnya ke pelukku, tapi emosi lebih merajaiku. Aku malah pergi, meninggalkannya menangis semakin keras, hanya ditemani pengasuh. "Ibu... mama marah, Iq sedih," bocah tiga tahun itu masih menangis. Si Ibu pengasuhnya menenangkannya. "Udah, Iq jangan menangis. Sekarang Iq minta maaf lagi ke Mama." "Mama, maafkan Iq. Mama jangan marah... Iq sedih," kali ini pun kalimat-kalimatnya tak membuat maafku terbuka. Hampir sepuluh menit tangisannya tak mereda. Permintaan maaf pun tak henti-henti diucapkannya. Diketuknya pintu kamarku, dan dibukanya perlahan. "Mama... jangan marah ya, Iq minta maaf." Tiba-tiba terlintas di benakku sebuah kisah di zaman Rasulullah SAW. Ketika itu, seorang bayi mengompol di pangkuan Sang Nabi dan si ibu langsung merenggut anak itu dari pangkuan Rasul. Ternyata Rasul tidak memperkenankan si Ibu melakukan hal itu, karena najis di baju Beliau masih bisa dibersihkan sedangkan perlakuan kasar sang ibu akan terus membekas di benak si anak. Astaghfirullah... tindakanku ini, jauh jauh lebih kasar daripada apa yang dilakukan ibu di kisah itu. Apa yang telah aku lakukan pada amanah Allah ini. Seketika kupeluk anakku. Tangisnya yang mulai mereda kembali pecah. Aku telah mengabaikan amanah-Mu Ya Robb... ampunkan aku, maafkan khilafku. "Mama baik? Ayo Mama ketawa," katanya di tengah isak tangis. "Maafkan Mama, Sayang," ucapku sembari tersenyum. Kembali kudekap dia dalam pelukanku. "Iq sayang sama Mama. Iq cinta Mama," katanya, masih di sela isak yang membuat hatiku bagai tersayat-sayat. "Mama juga teramat sayang sama Iq. Maafkan, Mama seringkali tidak sabar dan memarahi Iq," balasku. Kini kusadari. Bukan sebuah kesalahan jika dipegangnya lensa kamera itu. Semuanya hanya bagian dari pembelajaran yang sedang ia jalani. Dan tidak sewajarnya, suntukku di kantor kubawa ke rumah, hingga masalah kecil saja membuatku kehilangan kesabaran padanya. Dia mutiara yang seharusnya kujaga setiap waktu. Aku telah merampas haknya untuk selalu di sampingku. Kini aku pun masih harus memarahinya... Maafkan Mama sayang. Kuazzamkan dalam hati, untuk lebih bersabar kepadanya. Untuk mengendorkan urat syaraf ketika emosi mulai menaik. Mama tidak akan berjanji sayang, tapi insya Allah, mama akan belajar untuk membuktikan. Adzan maghrib berkumandang. Kuambil air wudhu, dan kuajak ia sholat. Akan kutundukkan wajah ini dihadapan-Nya, memohon ampun atas keteledoran yang baru saja kubuat. *** Ummu [EMAIL PROTECTED]