sedih sekalleeee

Satu Kata Maaf
Penulis: Ruddy Raharjo
Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber femina 2004

 

Aku harus belajar memaafkan, belajar menyayangi, belajar melupakan yang sudah 
terjadi..

 

Siantan, Pontianak
20 Juli 2004
Wanita itu terbaring dengan serangkaian selang di sekujur tubuhnya. Komplikasi 
penyakit jantung, darah tinggi, dan paru-paru menggerogoti bobotnya yang dulu 
subur berisi. Dari balik selimut terlihat jelas tulang-belulangnya tersembul. 
Sebentar-sebentar kepalanya mendongak mencari aliran udara, menghirup, dan 
mengeluarkan napas dengan tersengal-sengal. Ia tampak tersiksa sekali.

Aku mengintip dari kaca pintu, ragu-ragu untuk masuk. Bukan saja karena takut, 
tapi juga karena enggan. Enggan melihat kondisi sakitnya, enggan bertegur sapa 
dengan orang-orang yang mungkin ada di dalam ruangan itu, dan enggan berdamai 
dengan perasaan sakit hati yang selama belasan tahun terpupuk hebat dalam 
hatiku. Tak mudah menghapus luka lama.
Siang ini aku baru saja sampai di Jakarta, setelah tiga hari mengikuti pameran 
di Bali. Taksi yang kutumpangi dari bandara sudah berhenti di depan rumah. 
Ponselku tiba-tiba berbunyi. "Pulanglah, Mei Cen. Waktunya sudah tiba," suara 
yang sudah sangat kukenal langsung menyergap pendengaranku. 

Aku tertegun, sementara sopir taksi sudah melotot tak sabar, hendak menagih 
ongkos. "Jangan keraskan hati lagi, sudah saatnya mengakhiri semua kebencian. 
Pulanglah, atau kau akan menyesal seumur hidup!" suara itu kembali terdengar, 
kali ini nadanya menyakitkan. 

Sudah hampir sebulan ini, kata-kata yang sama didengungkan terus oleh sang 
penelepon. Aku sudah katakan padanya, tak perlu repot-repot membujuk lagi. Aku 
tetap pada keputusanku, tidak bersedia memenuhi keinginannya. Titik. 

Namun, anehnya, saat berada di Bali, ketika seharusnya aku sibuk mengamati 
pernak-pernik kegiatan pameran, aku malah sering terbengong-bengong. Seperti 
mantra, isi pesan telepon itu berbalik menghantui, membuat setiap detik hidupku 
menjadi seperti bara api. Batinku bergolak hebat. Antara rasa sayang dan 
dendam. Antara rasa iba dan kepongahan. Sejujurnya, aku sudah merasa sangat 
letih menanggung beban ini. Mungkin, Tuhan memang khusus merencanakan saat ini 
untuk mempertemukan kami berdua. Saat kami harus bicara tentang kepahitan masa 
lalu. 

Dengan tangan masih memegang ponsel erat-erat, aku menghitung dalam hati. Sudah 
berapa lama kenangan buruk itu menyiksaku? Lebih dari lima belas tahun. Sama 
sekali bukan waktu yang sebentar. Jauh dari dalam lubuk hati, aku benar-benar 
ingin mengakhiri semuanya. Mulai belajar memaafkan lagi, belajar menyayangi 
lagi, belajar melupakan segala sesuatu yang telah terjadi, belajar untuk 
memiliki hati dan jiwa yang baru. Ya, aku harus segera memulainya. Sekarang. 
Dengan mantap, aku meminta sopir taksi memutar kembali mobilnya dan mengantarku 
ke bandara. 

Karena ada kerusakan teknis, lewat pukul delapan malam barulah pesawat mendarat 
di Pontianak. Untuk sampai di rumah sakit tempat Mama dirawat, aku masih harus 
meneruskan perjalanan sekitar empat puluh menit lagi menggunakan mobil sewaan. 
Di dalam mobil yang pengap karena asap rokok dan keringat lima orang lainnya, 
aku kembali mempertanyakan niat hatiku. Bagaimana jika Mama menolak bertemu 
denganku? Bagaimana jika ternyata seluruh keluarga juga ikut menghina, lalu 
mengusirku? Kalau itu yang terjadi, berarti harga diriku akan remuk dua kali, 
tanpa sisa sedikit pun. Ya, Tuhan, sudah benarkah keputusanku kali ini? 

Di depan salah satu kamar rumah sakit, aku melangkah mondar-mandir tak keruan. 
Ternyata, bukan hal mudah untuk masuk ke dalamnya, lalu menyapa, "Apa kabar, 
Mama? Aku sudah datang!" Untuk menenangkan jantungku yang rasanya berdebar tiga 
kali lebih cepat, aku segera menyingkir ke ujung lorong yang redup. Dengan 
gelisah aku bersandar di tembok, sambil berulang kali mengetukkan hak sepatu di 
lantai yang kusam. 

Alangkah jahatnya! Aku memang anak durhaka! Begitu teganya aku membiarkan dia 
terkapar sendirian di dalam sana, sekarat menghadapi ajal. Padahal, aku sudah 
mengetahui penyakitnya sejak tiga tahun lalu, tapi tak pernah sekali pun aku 
berniat menjenguknya, apalagi mendampingi di saat-saat terakhirnya. 

Tapi, hei. tunggu dulu! Jahat? Aku jahat? Bukankah wanita itu jauh lebih jahat? 
Lihat saja apa yang selama ini dia lakukan padaku! Dia bukan saja tidak 
mengasihiku, tapi juga ingin melenyapkanku dengan segala macam cara. Dia ingin 
membunuhku! Aku, darah dagingnya sendiri!

Masih teringat jelas pertengkaran kami yang terakhir, yang terhebat, dan yang 
paling tak bisa kulupakan. Setiap suku katanya bahkan masih aku hafal dengan 
jelas.

"Waktu itu Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen. Mengertilah sedikit! 
Pikirmu, cuma kamu yang susah, cuma kamu yang dapat masalah? Kamu tidak 
pikirkan bagaimana keadaan Mama? Enak saja kamu bicara, sepertinya paling 
pintar sedunia! Semua yang kalian pakai dan makan itu hasil jerih payah Mama, 
tapi kamu sama sekali tidak tahu terima kasih. Tidak tahu balas budi! Anak 
tidak tahu diuntung! Benar-benar anak pembawa sial!" 

Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi kepala. Anak pembawa sial, 
itulah ungkapan yang paling sering aku terima selama tinggal di rumah ini.

"Mama tidak perlu khawatir lagi soal uang! Mulai sekarang, tanggungan Mama 
berkurang satu. Aku akan mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk 
membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah, tidak akan pernah 
menginjak rumah ini lagi! Akan kubuktikan, aku bisa hidup tanpa kalian!" 
jeritku membabi buta, lalu menerjang kamar, dan mengemas barang-barangku.

"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu minggat dari rumah 
ini, selamanya pintu ini tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak sinting! 
Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing, sudah besar tambah bikin masalah! 
Anak kurang ajar, anak durhaka! Makin cepat kamu keluar dari rumah ini, makin 
baik!" teriak Mama, melengking tinggi. 

Dengan berurai air mata, aku lemas terduduk di tepi ranjang. Malang benar 
nasibku. Lahir tak dikehendaki, hidup pun tak punya arti. Berjam-jam lamanya 
aku menangisi diri, sambil memasukkan barang-barangku yang tak seberapa banyak. 
Aku tak tahu akan ke mana. Tapi, keinginanku saat itu hanya satu. Pergi jauh 
dan tidak kembali lagi. 

Hanyut dalam lamunan, pipiku mulai dibasahi air mata. Kejadian yang lalu itu 
menyisakan dendam dan kebencian luar biasa di antara aku dan Mama. Aku 
bertekad, tak ingin lagi menggoreskan namanya dalam hidupku. Begitu juga 
sebaliknya. Kami bertahan dalam benteng pembenaran diri sendiri.Aku berjuang 
luar biasa keras demi memenuhi sesumbar sumpahku, tanpa pernah berpikir untuk 
kembali ke kota ini lagi. 

Tapi, suratan hidup tampaknya tak bisa diganggu gugat. Sampai akhirnya, 
sekarang aku ada di sini. Duduk menatap langit, tak tahu harus berbuat apa. 
Bulan di ujung rimbunan pohon rupanya sedang malas menyembulkan sinarnya, 
membuat kulit tanganku makin pucat dan gemetar. Air mataku menetes lagi. 

September 1968
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Rasanya, ruangan ini tak sama dengan yang 
kemarin. Tidak ada mainan bola yang digantung di atas kepala. Tidak ada gambar 
ikan berenang dilukis di tembok. Tidak ada balon warna-warni melambai di dekat 
jendela. Sambil menggeliat melemaskan otot yang masih agak kaku, aku 
menelengkan kepala. Kenapa sepi sekali? Mana teman-temanku? Bukankah semestinya 
mereka juga ada di sini, berbaring berjajar dalam boks yang bersekat-sekat? 
Biasanya teriakan mereka membuat aku marah. Berisik sekali. Walaupun agak 
menyebalkan, aku sayang pada mereka. 

Ingat soal minum, perutku lapar bukan main. Biasanya, wanita berbaju dan 
bertopi putih selalu datang untuk memandikan dan mendandaniku dengan bedak 
wangi. Setelah itu, dia pasti akan mengayun-ayun, sambil menyorongkan botol 
susu ke mulutku. Ah, enaknya! Aku mulai menggesek-gesekkan kaki, terasa 
lengket. Kenapa, sih, tidak ada yang mengganti popokku? Basah dan dingin 
menempel di kulit, belum lagi ditambah tiupan angin dari jendela kayu yang 
terbuka. Coba tunggu sebentar lagi, siapa tahu wanita berbaju dan bertopi putih 
akan muncul dan menyapaku seperti biasa, "Halo manis, sudah bangun?" Tapi, 
setelah lama menunggu, pintu itu tetap tertutup. Aduh, aku sudah tak sabar 
lagi! 

Mendadak pintu terbuka dengan keras, membuatku spontan berteriak kaget. 
Seseorang berjalan masuk. Siapa wanita ini? Kenapa dia tidak berbaju dan 
bertopi putih? Sambil terisak-isak dengan muka merah, aku mencoba mengingat. 
Wah, mukanya tidak ramah. Aku pikir dia akan segera menggendong dan memberiku 
minum, tapi .. Hei, dia kembali berjalan ke arah pintu, membuka, dan menutupnya 
lagi, seolah tidak peduli pada tangisanku. 

Kenapa aku sendirian, dibiarkan kelaparan dan kedinginan seperti ini? Huh, 
lebih enak tinggal di perut Ibu. Mau makan, tinggal isap. Makanan akan langsung 
sampai di depan mulut. Mau berhangat-hangat, tinggal bergelung di selimut 
cairan ketuban. Semua serba enak, tidak perlu capai-capai menangis jika ingin 
sesuatu.

Ups! Tunggu dulu! Ibu? Apakah wanita yang tadi datang itu ibuku? Bisa jadi. 
Berarti, aku sudah ada di rumah dan ini kamarku? Asyik juga, paling tidak aku 
tidak perlu repot berdesak-desakan tempat dengan teman-teman lain seperti 
kemarin. Tidak perlu berebut minum, mainan, dan berebut minta perhatian. Aku 
sendirian. Hore! Aku jadi raja! Enak juga, ya, punya ibu. Tapi, mana dia? Oh, 
itu dia datang lagi. Tapi, kenapa, sih, dia selalu membuka dan menutup pintu 
de-ngan suara sekeras itu? Telingaku jadi sakit. Aku menangis lagi. 

Tangisanku makin keras ketika wanita itu menyentuh dan menyekaku dengan kasar. 
Rupanya, dia marah padaku karena buang air besar. Lalu bagaimana lagi? Umurku 
kan baru 5 hari? Aku belum bisa membersihkan kotoranku sendiri. Minumnya mana, 
Bu? Yah, kok, susunya dingin.. Tapi, biarlah, daripada tidak sama sekali. 
Karena kelaparan dan hanya disuguhi sedikit, aku melengkingkan suara, tanda 
minta tambah. Walau dengan muka galak dan mulutnya mengomel, dia memberiku 
sedikit susu lagi. 

Setelah menutup jendela, ia lalu membuka bajuku dan menyeka dengan air hangat. 
Aku asyik memerhatikan wajahnya. Rasanya, wanita berbaju dan bertopi putih yang 
selalu menemaniku lebih cantik dan kurus, juga harum. Sedangkan wanita di 
depanku bertubuh agak gemuk dan memiliki raut wajah keras. Pakaiannya mirip 
seperti gorden. Tapi, tak apa, dia adalah ibuku. Hmm... enaknya aku panggil 
apa, ya? Ibu, Mama, Mami, atau Bunda? Lebih enak Mama. Mudah mengucapkannya. 

Wah, setelah mandi aku merasa lebih segar, walau masih kedinginan. Bajuku 
bertangan pendek, tanpa dibalut kain bedong, tanpa kaus kaki. Bawa aku berjemur 
di luar, Mama. Sinar matahari begitu menggoda untuk disapa pagi ini. Atau, 
kalau tidak, dekaplah aku sebentar di dada Mama, karena aku ingin kehangatan. 

Aku mencoba menggapai tangan Mama, menampilkan senyum termanisku, berharap ia 
akan tertawa dan menggelitiki pipiku. Tapi, Mama malah membenahi ember dan baju 
kotor, lalu kembali menghilang dari balik pintu. Sia-sia aku menunggunya terus 
pagi ini, berharap ia mau bermain denganku sejenak. Sepanjang sisa hari itu 
Mama hanya menjengukku tiga kali. Datang melongok untuk mengganti popok dan 
menyodorkan botol susu yang isinya tak banyak.

Malam hari, aku tidur bersebelahan dengan Mama. Dia hanya mengayunku sebentar, 
tidak memberi pelukan selamat tidur atau ciuman. Aku menangis sedih karena 
ingin dininabobokan, tapi Mama malah membalikkan tubuh, memunggungiku. Aku 
mulai protes dan meronta, tapi yang kudapat adalah cubitan kecil di kaki. 
Sakitnya.. Lagi-lagi aku menjerit. Makin melengking suaraku, makin dalam Mama 
menekuk tubuhnya.

Akhirnya, aku menyerah. Karena lelah mengisi hari dengan terlalu banyak 
tangisan, akhirnya aku tertidur dengan mengulum jempol tanganku. Ini hari 
pertamaku datang ke rumah, bertemu sosok Mama yang sudah sembilan bulan mengisi 
bagian hidupku, tapi aku sudah merasa tertolak. 

Januari 1972
Seluruh kejadian itu berulang terus hingga aku menginjak tiga tahun. Walau 
setiap malam aku tidur dengan Mama, aku hampir tak pernah mendapat pelukan dan 
ciuman sayang. Paling-paling hanya usapan di kepala. Kata-kata manis, nyanyian 
kecil, atau dongeng pengantar tidur juga tak aku dapatkan. 

Biasanya, kalau Mama bicara, kalimatnya pendek-pendek dan nadanya datar, 
kadang-kadang agak membentak. Padahal, aku ingin tahu rasanya bermanja-manja, 
apalagi jika aku sedang sakit. Badan rasanya sungguh tak enak, tidur tak 
nyenyak, makan pun tak suka. Kalau saja Mama mau sedikit memanjakan aku dengan 
pelukan, aku sudah cukup terhibur. 

Bukan cuma dalam hal sentuhan dan kata-kata saja Mama bersikap pelit, soal 
keperluanku yang lain juga begitu. Makan dijatah, minum susu dibatasi. Kalau 
masih lapar, minum saja air putih banyak-banyak, begitu kata Mama. 

"Di rumah ini bukan cuma kamu yang butuh makan, Mei Cen. Masih ada enam kakak, 
dua kakak ipar, Tante Lin, Oma, dan Mama. Kita harus saling berbagi, jelas?" 
tegur Mama galak, ketika suatu kali aku merengek minta porsi daging gorengku 
ditambah. 

Porsi makan kami di rumah adalah dua kali sehari, sekerat kecil daging dan 
separuh bagian telur satu kali seminggu, sementara sisanya adalah sayur-mayur 
saja. Mula-mula, tentu saja aku menolak aturan itu dengan tangisan merajuk dan 
mulai menga-muk. Tapi, setelah merasakan panasnya sabetan tangan Mama di 
pantatku, lama-kelamaan aku jadi terbiasa dan bisa belajar menahan lapar lebih 
lama.

Mandi cukup satu kali saja sehari, malah kalau perlu cuci muka saja sepanjang 
minggu. Irit air, irit sabun. Kalau kutanya mengapa, jawab Mama singkat saja, 
"Karena kita bukan orang kaya, Mei Cen. Mengertilah sedikit." Tentu saja aku 
belum bisa mengerti apa arti perkataan itu, seperti juga ketidakmengertianku 
tentang kondisi tangan dan kakiku. 

Kedua kakiku selalu ditutup kain menyerupai sepatu dan tidak boleh dilepas 
kecuali mandi atau tidur. Tanganku juga. Padahal, aku sudah bilang pada Mama 
bahwa aku kepanasan. Mama berkeras mengatakan bahwa tangan dan kakiku sedang 
tumbuh membesar. Jadi, harus dibungkus dengan telaten supaya pertumbuhan 
tulangnya bagus. Seperti buah mangga saja, katanya. Rapat-rapat dibungkus 
supaya cepat masak. 

Kalau kain yang melilit tangan dan kaki itu sering dibuka, nanti pertumbuhannya 
terganggu, begitu Mama berpesan. Masih belum cukup dengan penjelasannya, Mama 
merasa perlu untuk mengancam akan memukuli dan mengunciku di kamar gelap 
berhari-hari, jika aku berani membuka ikatan di tangan dan kakiku, tanpa 
seizinnya. Jadi, dengan sangat terpaksa aku mengangguk mengiyakan.

Pekerjaanku setiap hari hanya duduk bermain di pojok kamar, ditemani dua boneka 
bekas yang sudah kumal. Mama tidak mengizinkanku keluar rumah. Tak pernah aku 
merasakan nikmatnya jalan-jalan pagi, melihat kerumunan burung, berkejaran di 
tanah lapang, atau naik sepeda di sore hari. Hari-hariku diisi dengan sepi, tak 
punya teman bicara. Seisi rumah terlalu si-buk untuk diajak bermain. Mama dan 
adiknya, Tante Lin, harus banting tulang mencari uang karena Papa sudah tak 
ada. 

Mohan Liaw, ayahku yang berdarah Dayak-Tionghoa itu, semasa hidupnya bekerja 
sebagai penggali sumur. Ia meninggal karena kecelakaan lalu lintas ketika aku 
masih berada dalam kandungan. Dua kakak laki-laki tertua sudah menikah, tapi 
masih tinggal serumah. Empat kakak lain punya urusan sendiri karena mereka 
sudah beranjak remaja dan lebih senang bermain dengan teman pria daripada 
bermain masak-masakan dengan aku. 

Setiap hari pukul dua pagi, Mama dan dua kakak laki-lakiku sudah beranjak pergi 
ke peternakan di luar kota untuk membeli puluhan ayam. Pulang ke rumah, mereka 
dibantu empat kakak perempuan mencabuti bulu-bulu ayam dan memotongnya. Pukul 
lima pagi, Mama dan dua kakak ipar membawanya ke pasar untuk dijual. Pulang ke 
rumah saat menjelang sore, Mama sudah kelihatan sangat lelah dan aku tidak 
boleh mengganggunya dengan rengekan untuk menemaniku bermain. Aku juga tidak 
boleh mengganggu Tante Lin yang sudah lelah karena setiap hari harus membuat 
kue-kue untuk dijual. 

Bermain dengan Oma? Yang benar saja, umur Oma sudah 84 tahun. Kakinya lumpuh, 
bicaranya sudah tak jelas, telinganya pun tak berfungsi baik. Kerjanya sama 
denganku. Setiap hari hanya duduk-duduk melamun saja di kursi. Walau begitu, 
Oma baik karena setiap hari dia pasti memberiku uang, sekadar lima puluh atau 
seratus rupiah. Aku rajin menyimpannya dalam kotak kecil yang kuamankan di 
kolong ranjang. 

Dibandingkan Mama yang banyak bepergian, Tante Lin lebih memungkinkan untuk 
menemaniku berlama-lama di rumah. Mengajariku bicara, membacakan buku cerita, 
menyuapi makan, bahkan membopongku ke kamar mandi karena aku belum bisa 
berjalan. Hal yang mengherankan. Karena, aku sering melongok dari jendela dan 
melihat beberapa anak tetangga seumurku sudah pandai berjalan, bahkan berlari 
mengejar layang-layang. Sedangkan aku. berjalan saja tidak bisa. Kalau aku 
mencoba berdiri, pasti jatuh. Sakit dan ngilu sekali rasanya. 

"Mestinya aku sudah bisa berjalan kan, Ma?" tanyaku suatu sore. Tampaknya, Mama 
tidak mendengar sehingga aku harus mengulang pertanyaanku beberapa kali. Kali 
keempat barulah Mama mengangkat wajah dari tumpukan baju kotor yang tengah 
dicucinya. Ia terdiam sebentar, lalu menjawab lirih, "Kakimu belum kuat untuk 
diajak berjalan." 

"Karena kakiku bengkok?"

"Bukan! Umurmu masih kecil, jadi belum bisa jalan sendiri." 

"A Ming dan Budi seumur denganku, tapi mereka sudah pandai berjalan." 

"Mereka lain! Mereka anak laki-laki, kaki mereka lebih kuat."

"Oh.." Aku mencoba mencerna penjelasan Mama. Mungkin, betul juga penjelasan 
Mama. Aku percaya padanya, Mama tak mungkin bohong. 

"Lalu, kapan kakiku kuat, Ma?"

"Nanti, kalau kamu sudah besar."

"Kapan aku besar, Ma?"
"Nanti, kalau sudah berumur lima tahun."

"Oh.." Aku menghitung-hitung dalam hati. Itu berarti aku harus menunggu dua 
tahun lagi. Hmm. tidak terlalu lama.
"Lalu, tanganku? Kenapa tanganku juga harus selalu ditutup, Ma?" 

Kali ini Mama menghela napas, sambil menghapus keringat di dahi dengan punggung 
tangannya. "Supaya tanganmu tidak kedinginan, Mei Cen. Kalau kedinginan, 
tanganmu sering kram."

"Kram itu apa?"

"Kejang, susah bergerak."

"Tapi, nanti tanganku bisa sembuh?"

"Ya, kalau kamu sudah besar."

"Kalau aku sudah berumur lima tahun?"

"Ya."

"Tidak perlu pakai kain lagi?" 

"Ya."

"Sungguh? Mama tidak bohong, 'kan? Mama janji?" kejarku dengan nada menuntut. 
Dalam hati, aku gembira bukan alang kepalang. Asyik, sebentar lagi aku bisa 
berjalan!

Aku begitu sangat merindukan datangnya hari ulang tahunku yang kelima. Berharap 
bisa berjalan dan berlari sekuat macan, dan tanganku tak lagi disarungi kain 
seperti bantal. Sambil menunggu saat yang Mama janjikan itu, aku tetap berusaha 
belajar berjalan. Minta ampun susahnya! Mencoba berdiri dengan berpegangan pada 
semua benda yang ada, lalu menyeret kaki untuk melangkah satu dua. Sakitnya 
jangan ditanya, tapi aku tetap memaksakan diri. Lutut dan siku sudah lebam biru 
keunguan terkena benturan setiap kali aku terjatuh. Tidak cuma itu. Aku juga 
sulit menggerakkan jemari tangan untuk mengambil sesuatu, apalagi barang yang 
kecil. Memegang sendok atau menjumput kancing, misalnya. Jari-jari tangan 
rasanya kaku dan aneh. 

Dan, lagi-lagi Tante Lin datang sebagai penyelamat. Ia berbaik hati meluangkan 
waktu istirahatnya untuk melatihku menggerakkan kaki dan tangan, sementara Mama 
dan kakak-kakakku tidak bisa terlalu diharapkan. Karena terlalu memaksa diri 
berlatih, aku jadi sering menangis karena kesakitan dan kelelahan. Tapi, setiap 
kali itu juga ucapan Mama bahwa pada umurku yang kelima aku akan bisa berjalan, 
datang menyemangatiku. 

Setiap hari aku rutin mencoreti kalender dengan spidol merah, menghitung hari 
demi hari, takut kalau ulang tahunku yang kelima bakal terlewat. Nanti aku akan 
memakai baju terbagus dan mengundang semua teman tetanggaku untuk merayakannya, 
sambil bermain kejar-kejaran di halaman rumah. Pasti menyenangkan sekali. 
Cepatlah datang, cepatlah datang! Aku sudah tidak sabar menanti.



bersambung ke bagian 1b 

Kirim email ke