saya sependapat ama mba renny.....klo suami tidak ngijinin dan suami dalam
keadaan sakit yaa...engga usah pergi....

-----Original Message-----
From: Renny Burhan [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, September 15, 2005 4:22 PM
To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] curhat dari suaramerdeka.com (kisah nyata
kali yak??)


Nyimak dari cerita ini.............
emang benar kata "nenek"
........kalo salah satu pasangan kita terasa berat ngijinin
sebaiknya dipatuhi.
Apalagi si suami kan juga lagi sakit. malahan sampai berdebat 2 X
Kalo saya juga menyalahkan si Risma..............
nekat dan ngotot menghadiri undangan
sahabat sih sahabat.......tapi liat2 sikon dong........

amit-amit deh......

Renny


----- Original Message -----
From: intan dima <[EMAIL PROTECTED]>
To: BA <balita-anda@balita-anda.com>
Sent: Thursday, September 15, 2005 2:53 PM
Subject: [balita-anda] curhat dari suaramerdeka.com (kisah nyata kali yak??)


Benarkah Takdir Bukan Hukuman?

Tak pernah aku bayangkan, sesuatu yang menjadi bagian takdir, rencana Ilahi,
didudukkan di pundakku sebagai sebuah kesalahan. Dan, dalam kesedihan
kehilangan, aku mendapatkan bencana lain, dicap sebagai "pembunuh". Sesuatu
yang tak pernah, tak akan pernah, terlintas dalam pikiranku. Tapi aku tak
lagi bisa menolak... Bukankah rencana manusia memang hanya sekrup kecil dari
rencana Tuhan.

Aku Risma (30), menikah, guru di sekolah swasta. Suamiku Farhan (31),
bekerja di perusahaan kontraktor. Kemampuannya dalam desain interior dan
gambar membuat kariernya cepat melesat. Ini berdampak langsung pada
kemampuan finansial kami. Karena itu, jika semula kami berencana tak
memiliki momongan saat menikah 6 tahun lalu, tapi di tahun kedua, rencana
itu kami batalkan. Di tahun ketiga pernikahan, aku telah memberinya kado
mungil yang luar biasa, seorang bayi perempuan yang cantik. Bayi itu kami
namakan Farhis, gabungan namanya dan namaku. Dan, jadilah hari-hari kamu
bergembira dengan bayi kami yang tumbuh subur, cantik. Tak ada hari libur
yang tidak kami habiskan bersama. Tak ada gerak sedikit pun dari Farhis yang
tidak kami ketahui. Farhan apalagi, setelah ada anakku, barangkali aku jadi
wanita kedua di hatinya. Kasihnya melimpah luar biasa. Dan aku senang, aku
bangga.

Farhis usia setahun, kami sudah memiliki rumah, dan kutinggalkan rumah
ayah-ibu di Pedurungan. Kami tempti rumah tipe 45 di perumahan Semarang
Atas. Mobil pun segera dibeli Farhan, meski dengan cara kredit. Alasannya,
ia selalu tak tega membawa Farhis jalan-jalan dan kepanasan. Aku pun setuju.
Apalagi, kalau sudah menyangkut urusan Farhis, tak ada yang dapat membantah
Farhan. Ia bahkan sudah menabung untuk keperluan anakku, mulai rencana
sekolah, sampai urusan-urusan yang menurutku masih akan berpuluh tahun lagi
akan kami hadapi. Tapi semua aku setujui saja, karena aku tahu, barangkali
itulah wujud kasih sayangnya. Oh ya, Farhan anak tunggal, sehingga kehadiran
Farhis membuat dia segara mendapatkan kesempatan punya "adik". Mertuaku pun
sayang luar biasa pada cucunya ini.

Namun, rencana manusia memang hanya sekrup kecil dari rencana Tuhan. Di
balik kegembiraan kami, tersimpan duka yang luar biasa besar, yang tengah
menanti. Tepatnya setahun lalu.

Usia Farhis sudah 2,5 tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, dan sedang
menggemaskan. Farhan jangan ditanyakan lagi besarnya cintanya pada anak kami
ini. Dan, tak ada liburan yang tidak kami habiskan bertiga. Tapi, hari itu,
bencana memang tengah dipersiapkan untuk kami. Kini aku dapat sadari hal
itu.

Minggu, dan kami dapat undangan pernikahan di Demak. Kenalanku semasa kuliah
menikah. Dan aku sudah menjanjikan akan datang. Farhan pun yang kebetulan
kenal, juga sudah memberi lampu hijau. "Sekalian, membawa Fehis
jalan-jalan," katanya. Kembali, soal Farhis dia tak lupa. Tapi, malam Minggu
itu, Farhan panas. Flu dan demam menyerangnya. Ketika pagi, meski dia sudah
agak mendingan, tetap saja tubuhnya terasa lemah. Aku pun tak tega
mengajaknya pergi. Maka, kuberanikan diri untuk pergi sendiri. Farhan
menolak. Dia meminta aku menunggu sampai jam 10 siang, menunggu kondisi
tubuhnya lebih baik. Aku setuju.

Nyatanya, Farhan tetap saja lemah. Untuk menyetir, jelas dia tidak mampu.
Dia pun usul untuk membatalkan memenuhi undangan itu. Tapi aku menolak.
Setelah "berdebat" sedikit, dengan agak berat, dia mengizinkan aku pergi.
Sendiri. Aku protes lagi. Aku ingin Farhis ikut, karena nanti siapa yang
akan mengurus dia. Lagi pula, dengan tubuh ayahnya yang masih lemah, aku tak
ingin merepotkan suamiku. Belum lagi kalau Farhis nanti buang air atau
menangis, kasihan Farhan. Kami berdebat lagi, dan aku kembali "menang".
Dengan sebal, Farhan mengizinkan. Dia pun ikut mengantar kami sampai
gerbang, sebelum aku pergi dengan Farhis di samping kiriku.

Dan rencana Tuhan terjadi. Aku tak ingat pasti bagaimana ceritanya. Cuma,
sewaktu dekat Sayung, perbatasan Demak-Semarang, ketika aku bermaksud
memotong sebuah truk yang jalan terlalu lambat, ternyata ada bus yang
tiba-tiba juga memotong dari arah berlawanan. Posisi mobilku yang sudah
separoh jalan memotong membuat aku panik. Untuk melalui nyaris tak akan
dapat, untuk mengerem, aku juga tak yakin. Dan dalam kepanikan sepersekian
detik itulah, aku nekat menambah kecepatan, bermaksud memotong truk itu.
Berhasil, itulah yang kukira, tapi nyatanya tidak. Bus itu yang juga melaju
kencang, menyentuh sisi kanan mobilku, meski tidak keras, benturan itu
menimbulkan goncangan yang cukup kuat, dan aku tak tahu pasti, cuma
tiba-tiba aku merasa seperti mendapat sorongan keras dari belakang, dan
mobilku tanpa terhindarkan melesat meninggalkan badan jelan, melesak ke sisi
trotoar, dan berhenti ketika menabrak pohon. Selebihnya, gelap. Aku pingsan.

Ketika sadar, aku di rumah sakit. Di sisiku hanya ada mertua, dan orang
tuaku. Farhan tak ada. Dan ketika aku tanyakan, semua hanya diam. Mertua
perempuanku yang menangis, merangung dan memeluki diriku. Ayahku hanya diam,
juga mertua lelakiku. Tapi aku tahu, mereka juga menangis. "Ada apa? Kenapa?
di mana Farhan? Farhis, anakku? Gimana dia?" begitu pertanyaanku meluncur,
dan tak ada jawaban. Tapi aku telah tahu sesuatu, aku telah merasa, dan
benarlah. Ya, Allah.... Anakku...

Dari ayah, aku tahu, Farhis telah tiada. Aku pingsan lagi. Ketika sadar, aku
hanya meronta-ronta, menjerit-jerit, dan hanya ayah yang ada untuk
menenangkanku. Mertua dan Farhan mengurus pemakanan anakku, yang tak dapat
kuhadiri, karena aku tak bisa bergerak. Rusukku retak, dan kakiku patah,
juga memar yang parah di kepala dan pinggulku. Aku hanya bisa menangis,
menangis. Dari cerita ayah kemudian, aku ternyata pingsan berkali-kali.

Kenapa Farhis meninggal, padahal benturan itu tidak keras, juga tabrakan
dengan pohon itu pun perlahan, selalu itu yang jadi pertanyaanku. Tapi, kata
ayah, anakku terlontar karena tak memakai sabuk pengaman. Dan, meski dokter
telah berusaha, pendarahan di kepalanya membuat nyawanya tak tertolong.
(Dulu, aku meraung saat mendengar cerita ini...)

Kini sudah setahun hal itu berlalu. Rasa kehilanganku belum juga sembuh.
Masih terbayang semua tentang anakku, jelas, sangat jelas. Tapi, sakit
karena kehilangan itu tak cukup, aku juga kehilangan Farhan. Begitu aku
sembuh dan boleh pulang 3 minggu kemudian, aku tahu, sudah ada yang salah
dengan suamiku. Dari dia yang tak menjemput, dan tak menungguiku di rumah
sakit, aku tahu, Farhan menyalahkanku atas kejadian itu. Tapi, begitu sampai
rumah, aku tahu lebih parah lagi, ternyata Farhan bahkan mengganggap aku
sebagai "pembunuh" Farhis. Dia pernah marah dan membentak-bentakku, "Kenapa
tidak kamu saja yang mati?! Kenapa harus Farhis, kenapa bukan kamu??" Ya
Tuhan... aku menangis saat dia mengatakan itu. Aku kehilangan suamiku, aku
telah kehilangan anak, suami, dan juga kebahagiaanku.

Aku telah minta maaf ke Farhan. Aku katakan, "Jika memang boleh memilih, aku
akan bersedia menggantikan nyawa anakku. Aku yang akan ikhlas mati, bukan
anakku. Tapi ini takdir. Tolong jangan salahkan aku, tolong... Aku pun
kehilangan anakku, bukan Mas saja, kita punya kesedihan yang sama..." Tapi
nihil, aku tak pernah di dengar. Farhan hanya berucap, "Seandainya kamu tak
pergi ke undangan itu... seandainya kamu patuh pada suamimu,..." Ohh.. untuk
urusan takdir, dapatkah kita bicara "seandainya..."

Kini telah setahun, dan hubunganku kian kacau dengan Farhan. Ia jadi
pemamun, dan kusut. Aku sering menemukan dia menangis. Dan aku tahu, lebih
daripada menyalahkan aku, dia pun menyalahkan dirinya sendiri. Hubungan kami
beku. Nyaris tanpa komunikasi. Hanya kehadiran mertua yang membuat kami bisa
membuat rumah ini serasa hidup lagi. Selebihnya, aku telah sungguh-sungguh
kehilagnan anakku, suami, dan kepercayaannya. Aku tak tahu lagi, entah
bagaimana cara bisa menjalani hidup ini....

(Cerita Ny Risma, melalui e-mail kepada redaksi)

---------------



_____________________________________
We are Merapi!
Dedicated for Service Excellence
For more details please visit us at http://www.merapi.net





================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke:
[EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke