iya, saya setuju dengan Angina's Mom...:)

Angina's Mom <[EMAIL PROTECTED]> wrote:Mema'afkan itu hal yg paling sulit 
dilakukan sebagian orang,
lebih mudah untuk menyalahkan. Anggaplah si Risma salah, toh dia jg
udah minta ma'af, menurut saya harusnya Farhan wise sama istrinya.
Memberi kekuatan, dukungan, supaya istrinya gak down. Kenapa?
coz, perasaan bersalah dalam diri Risma pasti besar sekali. Perlu
support dari orangĀ² terdekat utk meyakinkan dirinya klo itu bukan
sepenuhnya salah dia, tapi udah kehendak Tuhan. Justru dengan
menyalahkan, membuat Risma tambah tertekan.

Saya mo cerita, bagaimana klo kasusnya spt ini:
Hari senin 5 sept hubby pulang telat. Sampe di rumah dia cerita,
pulang kantor diajak teman kantor sebelah ngelayat. kebetulan
satu arah dgn jalan pulang. Yg mo dilayat di tangerang jg rumahnya,
tepatnya di cikokol. yg meninggal anak temennya temen kantor hubby.
Cewek, usia 4 tahun desember mendatang. Karena sakit, baru 1
mingguan. Gara-garanya badannya panas hari selasa 6 sept, katanya
sih radang tenggorokan. Hari jum'at udah membaik. Udah ceria,
sempet telpon-telponan sama neneknya. Sabtunya panas lagi, trus di
bawa ke RS honoris dan dirawat karena panasnya sampai 41 drjt.
Hari senin, si anak udah gak tertolong lagi. Di cek kadar gula
darahnya tinggi sekali. Saya tanya hubby, sakitnya apa? OrangĀ² juga
gak ada yg tau, beritanya belum jelas. Cuma sedih aja bayanginnya.
Fyi, si ibu anak ini udah resign dari persh 1 tahun yg lalu. Kata
temen hubby, dia resign karena mo ngurus anaknya yg semata wayang.
Ngebayanginnya aja udah sesak, brenti kerja buat anak. ehh..sekarang
anaknya malah pergi. :( Saya jadi inget Angina, soalnya seumuran,
cewek pulak, lagi lucu lucunya. -sigh-

Saya yakin si ibu pasti sedih banget. Gimana yah klo ditambah suaminya
menyalahkan dia? apa gak tambah stress tuh! :(

Jadi bapak bapak, N all.. gak usah saling menyalahkan yah, mending
saling mema'afkan aja.

God bless u all.

-- 
Best regards,
Angina's Mom
http://www.tristania-angina.com/blog 

Thursday, September 15, 2005, 3:34:00 PM, you wrote:


Taci> aduh ibu2 thong kejam2 atuh...
Taci> Ini sih murni Takdir..... memang sudah begitu 'jalan' hidupnya... jangan
Taci> ada yang salah dan menyalahkan
Taci> kasihan risma juga kan..???? pasti dibalik semua itu ada rencanaNYA yang
Taci> lebih besar dan lebih indah buat risma dan farhan,,,,,,,,


Taci> ---------------

Taci> saya sependapat ama mba renny.....klo suami tidak ngijinin dan suami dalam
Taci> keadaan sakit yaa...engga usah pergi....

Taci> -----Original Message-----
Taci> From: Renny Burhan [mailto:[EMAIL PROTECTED]

Taci> Nyimak dari cerita ini.............
Taci> emang benar kata "nenek"
Taci> ........kalo salah satu pasangan kita terasa berat ngijinin
Taci> sebaiknya dipatuhi.
Taci> Apalagi si suami kan juga lagi sakit. malahan sampai berdebat 2 X
Taci> Kalo saya juga menyalahkan si Risma..............
Taci> nekat dan ngotot menghadiri undangan
Taci> sahabat sih sahabat.......tapi liat2 sikon dong........

Taci> amit-amit deh......

Taci> Renny


Taci> ----- Original Message -----
Taci> From: intan dima 
Taci> To: BA 
Taci> Sent: Thursday, September 15, 2005 2:53 PM
Taci> Subject: [balita-anda] curhat dari suaramerdeka.com (kisah nyata kali
Taci> yak??)


Taci> Benarkah Takdir Bukan Hukuman?

Taci> Tak pernah aku bayangkan, sesuatu yang menjadi bagian takdir, rencana
Taci> Ilahi,
Taci> didudukkan di pundakku sebagai sebuah kesalahan. Dan, dalam kesedihan
Taci> kehilangan, aku mendapatkan bencana lain, dicap sebagai "pembunuh". 
Sesuatu
Taci> yang tak pernah, tak akan pernah, terlintas dalam pikiranku. Tapi aku tak
Taci> lagi bisa menolak... Bukankah rencana manusia memang hanya sekrup kecil
Taci> dari
Taci> rencana Tuhan.

Taci> Aku Risma (30), menikah, guru di sekolah swasta. Suamiku Farhan (31),
Taci> bekerja di perusahaan kontraktor. Kemampuannya dalam desain interior dan
Taci> gambar membuat kariernya cepat melesat. Ini berdampak langsung pada
Taci> kemampuan finansial kami. Karena itu, jika semula kami berencana tak
Taci> memiliki momongan saat menikah 6 tahun lalu, tapi di tahun kedua, rencana
Taci> itu kami batalkan. Di tahun ketiga pernikahan, aku telah memberinya kado
Taci> mungil yang luar biasa, seorang bayi perempuan yang cantik. Bayi itu kami
Taci> namakan Farhis, gabungan namanya dan namaku. Dan, jadilah hari-hari kamu
Taci> bergembira dengan bayi kami yang tumbuh subur, cantik. Tak ada hari libur
Taci> yang tidak kami habiskan bersama. Tak ada gerak sedikit pun dari Farhis
Taci> yang
Taci> tidak kami ketahui. Farhan apalagi, setelah ada anakku, barangkali aku 
jadi
Taci> wanita kedua di hatinya. Kasihnya melimpah luar biasa. Dan aku senang, aku
Taci> bangga.

Taci> Farhis usia setahun, kami sudah memiliki rumah, dan kutinggalkan rumah
Taci> ayah-ibu di Pedurungan. Kami tempti rumah tipe 45 di perumahan Semarang
Taci> Atas. Mobil pun segera dibeli Farhan, meski dengan cara kredit. Alasannya,
Taci> ia selalu tak tega membawa Farhis jalan-jalan dan kepanasan. Aku pun
Taci> setuju.
Taci> Apalagi, kalau sudah menyangkut urusan Farhis, tak ada yang dapat 
membantah
Taci> Farhan. Ia bahkan sudah menabung untuk keperluan anakku, mulai rencana
Taci> sekolah, sampai urusan-urusan yang menurutku masih akan berpuluh tahun 
lagi
Taci> akan kami hadapi. Tapi semua aku setujui saja, karena aku tahu, barangkali
Taci> itulah wujud kasih sayangnya. Oh ya, Farhan anak tunggal, sehingga
Taci> kehadiran
Taci> Farhis membuat dia segara mendapatkan kesempatan punya "adik". Mertuaku 
pun
Taci> sayang luar biasa pada cucunya ini.

Taci> Namun, rencana manusia memang hanya sekrup kecil dari rencana Tuhan. Di
Taci> balik kegembiraan kami, tersimpan duka yang luar biasa besar, yang tengah
Taci> menanti. Tepatnya setahun lalu.

Taci> Usia Farhis sudah 2,5 tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, dan sedang
Taci> menggemaskan. Farhan jangan ditanyakan lagi besarnya cintanya pada anak
Taci> kami
Taci> ini. Dan, tak ada liburan yang tidak kami habiskan bertiga. Tapi, hari 
itu,
Taci> bencana memang tengah dipersiapkan untuk kami. Kini aku dapat sadari hal
Taci> itu.

Taci> Minggu, dan kami dapat undangan pernikahan di Demak. Kenalanku semasa
Taci> kuliah
Taci> menikah. Dan aku sudah menjanjikan akan datang. Farhan pun yang kebetulan
Taci> kenal, juga sudah memberi lampu hijau. "Sekalian, membawa Fehis
Taci> jalan-jalan," katanya. Kembali, soal Farhis dia tak lupa. Tapi, malam
Taci> Minggu
Taci> itu, Farhan panas. Flu dan demam menyerangnya. Ketika pagi, meski dia 
sudah
Taci> agak mendingan, tetap saja tubuhnya terasa lemah. Aku pun tak tega
Taci> mengajaknya pergi. Maka, kuberanikan diri untuk pergi sendiri. Farhan
Taci> menolak. Dia meminta aku menunggu sampai jam 10 siang, menunggu kondisi
Taci> tubuhnya lebih baik. Aku setuju.

Taci> Nyatanya, Farhan tetap saja lemah. Untuk menyetir, jelas dia tidak mampu.
Taci> Dia pun usul untuk membatalkan memenuhi undangan itu. Tapi aku menolak.
Taci> Setelah "berdebat" sedikit, dengan agak berat, dia mengizinkan aku pergi.
Taci> Sendiri. Aku protes lagi. Aku ingin Farhis ikut, karena nanti siapa yang
Taci> akan mengurus dia. Lagi pula, dengan tubuh ayahnya yang masih lemah, aku
Taci> tak
Taci> ingin merepotkan suamiku. Belum lagi kalau Farhis nanti buang air atau
Taci> menangis, kasihan Farhan. Kami berdebat lagi, dan aku kembali "menang".
Taci> Dengan sebal, Farhan mengizinkan. Dia pun ikut mengantar kami sampai
Taci> gerbang, sebelum aku pergi dengan Farhis di samping kiriku.

Taci> Dan rencana Tuhan terjadi. Aku tak ingat pasti bagaimana ceritanya. Cuma,
Taci> sewaktu dekat Sayung, perbatasan Demak-Semarang, ketika aku bermaksud
Taci> memotong sebuah truk yang jalan terlalu lambat, ternyata ada bus yang
Taci> tiba-tiba juga memotong dari arah berlawanan. Posisi mobilku yang sudah
Taci> separoh jalan memotong membuat aku panik. Untuk melalui nyaris tak akan
Taci> dapat, untuk mengerem, aku juga tak yakin. Dan dalam kepanikan sepersekian
Taci> detik itulah, aku nekat menambah kecepatan, bermaksud memotong truk itu.
Taci> Berhasil, itulah yang kukira, tapi nyatanya tidak. Bus itu yang juga 
melaju
Taci> kencang, menyentuh sisi kanan mobilku, meski tidak keras, benturan itu
Taci> menimbulkan goncangan yang cukup kuat, dan aku tak tahu pasti, cuma
Taci> tiba-tiba aku merasa seperti mendapat sorongan keras dari belakang, dan
Taci> mobilku tanpa terhindarkan melesat meninggalkan badan jelan, melesak ke
Taci> sisi
Taci> trotoar, dan berhenti ketika menabrak pohon. Selebihnya, gelap. Aku
Taci> pingsan.

Taci> Ketika sadar, aku di rumah sakit. Di sisiku hanya ada mertua, dan orang
Taci> tuaku. Farhan tak ada. Dan ketika aku tanyakan, semua hanya diam. Mertua
Taci> perempuanku yang menangis, merangung dan memeluki diriku. Ayahku hanya
Taci> diam,
Taci> juga mertua lelakiku. Tapi aku tahu, mereka juga menangis. "Ada apa?
Taci> Kenapa?
Taci> di mana Farhan? Farhis, anakku? Gimana dia?" begitu pertanyaanku meluncur,
Taci> dan tak ada jawaban. Tapi aku telah tahu sesuatu, aku telah merasa, dan
Taci> benarlah. Ya, Allah.... Anakku...

Taci> Dari ayah, aku tahu, Farhis telah tiada. Aku pingsan lagi. Ketika sadar,
Taci> aku
Taci> hanya meronta-ronta, menjerit-jerit, dan hanya ayah yang ada untuk
Taci> menenangkanku. Mertua dan Farhan mengurus pemakanan anakku, yang tak dapat
Taci> kuhadiri, karena aku tak bisa bergerak. Rusukku retak, dan kakiku patah,
Taci> juga memar yang parah di kepala dan pinggulku. Aku hanya bisa menangis,
Taci> menangis. Dari cerita ayah kemudian, aku ternyata pingsan berkali-kali.

Taci> Kenapa Farhis meninggal, padahal benturan itu tidak keras, juga tabrakan
Taci> dengan pohon itu pun perlahan, selalu itu yang jadi pertanyaanku. Tapi,
Taci> kata
Taci> ayah, anakku terlontar karena tak memakai sabuk pengaman. Dan, meski 
dokter
Taci> telah berusaha, pendarahan di kepalanya membuat nyawanya tak tertolong.
Taci> (Dulu, aku meraung saat mendengar cerita ini...)

Taci> Kini sudah setahun hal itu berlalu. Rasa kehilanganku belum juga sembuh.
Taci> Masih terbayang semua tentang anakku, jelas, sangat jelas. Tapi, sakit
Taci> karena kehilangan itu tak cukup, aku juga kehilangan Farhan. Begitu aku
Taci> sembuh dan boleh pulang 3 minggu kemudian, aku tahu, sudah ada yang salah
Taci> dengan suamiku. Dari dia yang tak menjemput, dan tak menungguiku di rumah
Taci> sakit, aku tahu, Farhan menyalahkanku atas kejadian itu. Tapi, begitu
Taci> sampai
Taci> rumah, aku tahu lebih parah lagi, ternyata Farhan bahkan mengganggap aku
Taci> sebagai "pembunuh" Farhis. Dia pernah marah dan membentak-bentakku, 
"Kenapa
Taci> tidak kamu saja yang mati?! Kenapa harus Farhis, kenapa bukan kamu??" Ya
Taci> Tuhan... aku menangis saat dia mengatakan itu. Aku kehilangan suamiku, aku
Taci> telah kehilangan anak, suami, dan juga kebahagiaanku.

Taci> Aku telah minta maaf ke Farhan. Aku katakan, "Jika memang boleh memilih,
Taci> aku
Taci> akan bersedia menggantikan nyawa anakku. Aku yang akan ikhlas mati, bukan
Taci> anakku. Tapi ini takdir. Tolong jangan salahkan aku, tolong... Aku pun
Taci> kehilangan anakku, bukan Mas saja, kita punya kesedihan yang sama..." Tapi
Taci> nihil, aku tak pernah di dengar. Farhan hanya berucap, "Seandainya kamu 
tak
Taci> pergi ke undangan itu... seandainya kamu patuh pada suamimu,..." Ohh..
Taci> untuk
Taci> urusan takdir, dapatkah kita bicara "seandainya..."

Taci> Kini telah setahun, dan hubunganku kian kacau dengan Farhan. Ia jadi
Taci> pemamun, dan kusut. Aku sering menemukan dia menangis. Dan aku tahu, lebih
Taci> daripada menyalahkan aku, dia pun menyalahkan dirinya sendiri. Hubungan
Taci> kami
Taci> beku. Nyaris tanpa komunikasi. Hanya kehadiran mertua yang membuat kami
Taci> bisa
Taci> membuat rumah ini serasa hidup lagi. Selebihnya, aku telah sungguh-sungguh
Taci> kehilagnan anakku, suami, dan kepercayaannya. Aku tak tahu lagi, entah
Taci> bagaimana cara bisa menjalani hidup ini....

Taci> (Cerita Ny Risma, melalui e-mail kepada redaksi)

Taci> ---------------



================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]



__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke