Dear Bapak Sudiyono, 

Kalau menurut saya sabar itu milik semua, bukan cuma yang miskin tapi juga 
yang menengah dan kaya, dengan sabar hati menjadi lebih tentram dan sejuk 
untuk menyikapi keadaan. Saya cuma mau komentar, kalau nggak bisa berbuat 
banyak dengan keadaan sekarang, yah sabar itu kuncinya dan mulai melihat 
ke diri sendiri adakah yang bisa diperbuat oleh diri sendiri untuk 
memperbaiki keadaan sekarang dengan penghematan contohnya.

Regards



Sudiyono <[EMAIL PROTECTED]> 
10/05/2005 11:44 AM
Please respond to
balita-anda@balita-anda.com


To
balita-anda@balita-anda.com
cc

Subject
RE: [balita-anda]  Opini: 100ribu dapat apa?






 Memang buat Bapak dan Kita yang lumayan beruntung memang bisa
Hemat Pak,tapi buat saudara kita yang memang sebelumnya ga' punya
Trusssssssssssss di tambah kenaikan harga baru karena dampak BBM apanya
Yang mau dihemat,atau mungkin klu sebelumnya sebungkus nasi buat makan 1
hari,dihemat sebungkus nasi buat makan 3 hari.

 Jangan bandingkan keadaan orang susah dengan keadaan kita Pak,karena 
sangat
Jauh berbeda,mungkin Bapak bisa sedikit merasakan apa yang dirasakan 
mereka
Saat puasa ini,tapi itu belum apa apa Pak,karena Pas bedug Magrib Bapak
masih bisa menyantap Manakanan ENaaaaaaaaak, tapi buat Mereka,........

 Pemerintah seharusnya bukan memberikan Ikan pada rakyat miskin,karena 
Akan lebih bagus kalau diberikan Kail nya.

Dion's

-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED]
[mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, October 05, 2005 10:06 AM
To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] Opini: 100ribu dapat apa?

Dear moms and dads, 

100 ribu itu bukannya pengganti atas selisih kenaikan tersebut, dan 
bukannya sebagai tanggungan pemerintah terhadap semua kebutuhan si 
penerima, kita harus fair donk melihatnya.... (cmiiw) , sepertinya, 
sekarang semua kemiskinan ditumpahkan atas kenaikan harga BBM. Di bulan 
puasa ini saya sekeluarga kembali mau melihat berapa sih "kebutuhan hidup 
yang sebenarnya". terus terang kemarin saya terlalu banyak makan subsidi, 
seperti bensin dan minyak tanah, hampir tiap minggu makan diluar, lampu 
luar yang hidup terus, pokoknya nggak bisa berkata apa2 lagi selain mulai 
hemat dari diri sendiri.



"Melda" <[EMAIL PROTECTED]> 
10/05/2005 09:44 AM
Please respond to
balita-anda@balita-anda.com


To
<balita-anda@balita-anda.com>
cc

Subject
[balita-anda]  Opini: 100ribu dapat apa?






Sarkah, 37 tahun, tergopoh-gopoh menggendong anak balitanya sambil 
menuntun anaknya yang lain memasuki kantor Pos untuk mengambil dana 
kompensasi kenaikan BBM (KKB). "Kirain nggak antri, mana anak nangis 
ginihE#34; keluhnya begitu melihat antrian panjang "orang miskin" yang 
hendak mengambil uang sejumlah tiga ratus ribu rupiah sebagai 
kompensasi kenaikan BBM selama tiga bulan. 

Ya, Sarkah, ibu dua anak itu memang tak sendirian. Hari itu, 
setidaknya puluhan orang yang dikategorikan miskin dan berhak 
mendapatkan dana KKB sibuk mengantri di berbagai loket tempat 
penukaran kartu dana KKB. Selain Sarkah, yang anaknya tak berhenti 
menangis meski tiga lembar mata uang seratus ribuan sudah 
digenggamnya, ada wanita jompo yang butuh waktu tidak kurang dari 
setengah jam berjalan kaki sejak ia turun dari angkot untuk mencapai 
loket antrian. Ada yang rela beradu mulut karena merasa didahului 
antriannya. Di tempat lain, saling pukul pun terjadi dalam antrian 
para penerima dana KKB itu. 

Luar biasa. Ini pemandangan yang baru di negara Indonesia. Satu lagi 
parade kemiskinan terpampang jelas di mata kita. Wapres Jusuf Kalla 
yang menyempatkan diri melakukan inspeksi mendadak di daerah Jakarta 
Utara, seharusnya tak sekadar melihat proses kelancaran distribusi 
dan pembagian dana KKB itu. Semestinya, ia lebih melihat dari yang 
tak banyak dipandang kebanyakan pada hari itu. Antrian itu semestinya 
membuatnya mengurut dada, bahwa pada kenyataannya, jumlah orang 
miskin di negara ini jauh lebih banyak dari data yang diberikan 
pejabat lokal. Adakah pejabat negeri ini melihatnya? 

Konon, di negara kita ini, setiap masalah yang dihadapi rakyat 
terbiasa diselesaikan oleh rakyat sendiri. Seberat apa pun beban yang 
menimpanya, rakyat sendiri yang menanggungnya. Salah seorang teman 
dari NGO asal AS, sempat terheran-heran melihat daya tahan masyarakat 
Aceh yang tertimpa bencana tsunami Desember 2004. "Gila, mereka bisa 
tahan hidup meski pemerintah teramat lamban memberikan bantuan. Kalau 
di AS, mereka sudah berteriak agar Pemerintah bertindak cepat." 
Komentar singkat saya, "Mereka sudah terlalu lelah berteriak, entah 
yang diteriaki mendengar atau tidak." 

Kenaikan BBM, selogis apa pun maksud dan tujuan pemerintah, yang itu 
bisa dimengerti oleh orang-orang berpendidikan dan berpenghasilan 
tinggi, tetap merupakan bencana bagi orang miskin. Belum usai negeri 
ini dilanda berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana 
sosial, tambah satu lagi bencana kenaikan BBM. Setidaknya ini diambil 
dari sudut pandang mereka, para penerima dana KKB. 

100 ribu rupiah sebulan dapat apa? Pertanyaan itu bukan saja milik 
Sarkah. Senyum dan air muka cerianya saat menggenggam tiga lembar 
ratusan ribu, diyakini hanya akan berlangsung sesaat. Bisa jadi uang 
itu akan habis dalam beberapa jam saja, entah untuk bayar hutang, 
beli beras yang harganya tak ingin kalah bersaing dengan harga BBM, 
beli susu anaknya yang selama ini tak pernah terbeli, atau beli baju 
baru, bukankah sebentar lagi lebaran? 

Dengan segenap keyakinan, uang sejumlah itu akan habis dalam waktu 
yang tidak berapa lama. Padahal seharusnya itu untuk satu bulan. 
Seperti kebanyakan orang berduit, uang seratus ribu akan habis untuk 
mentraktir makan siang teman-teman di RM. Sederhana, seratus ribu 
juga biasa dihabiskan untuk duduk-duduk di Food Centre sambil 
menikmati lima paket Combo 1 KFC, uang senilai itu juga habis dalam 
sekejap untuk memesan dua porsi besar Pizza. Tak lebih dua puluh tiga 
liter yang bisa didapat dari uang itu untuk mengisi tangki mobil, 
bisa juga dihabiskan dalam waktu kurang dari dua jam oleh anak-anak 
di arena Time Zone. Seringan kapas uang seratus ribu kita gelontorkan 
untuk membeli tiga atau empat tiket twentyone. Hampir lupa, seratus 
ribu juga biasa kita belikan pulsa handphone, yang terkadang sudah 
harus diisi ulang kembali tiga-empat hari kemudian. 

Bagaimana dengan Sarkah? Sarkah tak pernah makan di food centre, tak 
punya handphone yang harus diisi pulsanya, tak tahu rasanya Pizza, 
tak punya kendaraan, anak-anaknya pun tak pernah main di Time Zone, 
dan jangankan untuk mentraktir teman-temannya, untuk makan ia dan 
keluarganya sehari-hari pun masih gali lobang tutup lobang. Sarkah 
memang senang hari itu mendapatkan tiga ratus ribu, barangkali itu 
uang terbesar yang pernah digenggamnya selama ini. Tapi akankah 
Sarkah tetap tersenyum tatkala menyadari kebutuhannya takkan pernah 
tercukupi dengan uang seratus ribu perbulan? 

Kemarin sore, saya melewati sebuah sebuah restoran cepat saji di 
Tangerang. Ternyata, kenaikan BBM memang tidak berdampak besar bagi 
masyarakat kita. Kecuali Sarkah, dan teman-temannya para penerima 
dana KKB. Ups, jangan-jangan yang saya lihat sedang makan itu justru 
mereka yang baru saja menerima uang tiga ratus ribu? 

Bayu Gawtama












================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: 
[EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]




================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: 
[EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke