From: Tjoek Lianto <[EMAIL PROTECTED]>
>Pelbagai trik telah dicoba oleh orang tua saya, sampai akhirnya
>yang manjur yaitu Swaterpiet (Piet Hitam anak buahnya Sinterklas). Jadi
>ceritanya menjelang Natal, orang tua saya bilang sama kakak saya, kalau
>tidak mau membuang dotnya nanti Sinterklas tidak akan memberi hadiah. Lalu
>pada saat acara Sinterklas, Sinterklas tetap memberikan hadiah, tapi dengan
>bisikan, kalau masih ngedot, nanti Swaterpiet akan datang mengambil kembali
>hadiah Sinterklas dan sekaligus mengambil kamu untuk dimasukkan ke dalam
>karungnya yang buessaaar itu. Hasilnya ternyata 100% manjur tuh mbak.


TRAUMA DENGAN PIET HITAM

Dari waktu ke waktu, di berbagai pertokoan dan pusat perbelanjaan biasanya
menyelenggarakan acara Sinterklas. Sinterklas yang baik hati dan
membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak yang manis. Anak-anak ini semua
senang, walau ada beberapa anak yang nakal yang kemudian harus berurusan
sejenak dengan Piet Hitam, sang pengawal Sinterklas.

Piet Hitam ini cukup ditakuti oleh anak-anak. Sayangnya, dalam
perkembangannya sekarang, Piet Hitam tidak lagi seperti dulu. Sikapnya
sekarang sudah kasar. Bila kita perhatikan pada acar-acara tersebut di
sebuah pusat pertokoan, Piet Hitam tersebut dengan kasar mengayun-ayunkan
sapu lidinya kepada anak-anak dan beberapa penjaga toko untuk mengusir
sekana-akan menunjukkan kesan bahwa ia adalah orang yang kejam dan harus
ditakuti. Padahal fungsinya sebagai suatu sarana pendidikan bukanlah seperti
itu.

Piet Hitam adalah figur yang memberikan hukuman, sedangkan sinterklas adalah
yang memberikan hadiah. Proses belajar yang diterapkan disini adalah “Reward
and Punishment” atau pemberian hadiah dan hukuman. Bagi anak-anak yang
berbakti kepada orang tuanya akan diberi hadian dan yang nakal akan dihukum
dengan ancaman dibawa oleh Piet Hitam dan dimasukkan karung ke negeri para
Piet Hitam. Tentu saja mereka semua takut.

Pendidikan ala Sinterklas dan Piet Hitam ini memang bukan budaya asli kita,
melainkan merupakan warisan dari Belanda. Saat ini, banyak timbul pro dan
kontra tentang masalah ini.

Sinterklas berasal dari nama Saint Nikolaas (Santo Nikolaus), seorang uskup
dari Hipo (Afrika Utara) dan Piet Hitam merupakan terjemahan dari Zwarte
Piet. Romo Mangunwijaya dalam bukunya yang berjudul Putri Duyung Yang
Mendamba, mengulas secara khusus mengenai masalah ini. Romo Mangun adalah
salah satu dari golongan yang kurang setuju dengan pendidikan macam
Sinterklas ini.

Romo Mangun mengutip uraian seorang ahli psikologi Belanda yang bernama
Bomans, yang mengungkapkan dengan nada keras bahwa Sinterklas adalah akal
bulus kaum dewasa untuk menambal kekuarangan mereka dalam mendidik anak.
Semua yang oleh orangtua gagal ditanamkan dalam anak, sang usukp alimlah
(Sinterklas) yang harus membereskannya. Sapu lidi dan karung, tiada lain
hanyalah saksi kemiskinan mereka, bukti ketidakmampuan orangtua. Sendi
Pedagogi Sibterklas adalah ketakutan. Anak harus takut agar menjadi penurut.
Dan anak penurut adalah anak yang baik. Menjadi anak yang penurut akan
menerima pahala dari seorang kakek yang naik kereta menjangan di atas atap,
sebuah simbol dari Tuhan.

Kalau dilihat dari segi pendidikan, memang cara mendidik berdasarkan ancaman
akan dimasukkan karung atau di cambuk dengan lidi sudah bukan jamannya lagi.
Tetapi kini, sangat sedikit sekali orangtua yang punya anak nakal yang mau
meminta sang Piet Hitam untuk menghukum anaknya. Orangtua ini sudah merasa
malu bila menunjukkan kepada umum bahwa anaknya nakal. Dan umumnya,
sinterklas kemudian hanya membagi-bagikan hadiah sedangkan Piet Hitam
kehilangan fungsinya dan jadi pameran saja yang akhirnya hanya
mengayun-ayunkan sapu lidinya, ibarat seorang samurai mengayun-ayunkan
samurainya.

Satu hal yang perlu kita kaji secara bersama, anak yang pernah diancam oleh
Piet Hitam, bisa menjadi trauma. Trauma itu bisa berlangsung untuk beberapa
hari, beberapa bulan atau mendekan terus dalam jiwa anak tersebut. Yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah pendidikan semacam itu efektif?
Dan mereka yang mengalami trauma ini tidak sedikit. Siapakah yang harus
bertanggung jawab? Piet Hitam? Ataukah seharus orangtua itu sendiri yang
gagal dalam mendidik anaknya?

Kalau kebetulan anak Anda adalah salah satu yang mengalami trauma dengan
Piet Hitam, cobalah untuk menyadarkan bahwa sesungguhnya yang diminta dari
orangtua adalah sikap hormat dan berbakti. Kalau anak Anda kebetulan
diganggu oleh Piet Hitam dalam acara tersebut sehingga ia menangis
menjadi-jadi, cobalah menunjukkan kepadanya bahwa Anda sebagai orangtua
lebih berkuasa pada Piet Hitam dengan menghardiknya dan memintanya untuk
tidak menggangunya lagi. Anak yang melihat bahwa orangtuanya lebih berani
dari Piet Hitam akan tunduk dan yakin pada perlindungan orangtua.

Yang penting sekarang, kalau kita mengikuti acara Sinterklas, apa tujuan
yang hendak kita capai. Sekedar bersenang-senang dan menggembirakan anak?
Ataukah ada tujuan pendidikan. Kalau kita kaji tulisan Romo Mangun tersebut,
ada benarnya juga. Tak baik mendidik anak dengan dasar ketakutan. Anak-anak
harus berkembang dengan sewajarnya, sebagai orangtua kita wajib
membimbingnya untuk selalu berada di jalan yang benar.

(Artikel ini pernah saya kirim dan dimuat di majalah Liberty beberapa tahun
lalu)




Kunjungi:
http://www.balita-anda.indoglobal.com

--------------------------------------------------------------------------
"Untuk mereka yang mendambakan anak balitanya tumbuh sehat & cerdas"
Berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Berhenti berlangganan, e-mail ke:  [EMAIL PROTECTED]
http://pencarian-informasi.or.id/ - Solusi Pencarian Informasi di Internet




Kirim email ke