GATRA, Nomor 23/IV, 25 April 1998
http://www.gatra.com/IV/23/per-23.html

Demi Cinta Pada Anak

      Wanita Jepang cenderung keluar dari pekerjaan menjelang perkawinan.
Langkah kontroversial di tengah kemajuan.
      SETINGGI-tingginya karier wanita, akhirnya mereka kembali pada
kodratnya juga, yaitu sebagai ibu rumah tangga. Paling tidak, inilah yang
terjadi pada wanita di negeri maju seperti Jepang. Salah satu contohnya yang
dilakukan Eriko Abe. Karier wanita berusia 28 tahun, yang lima tahun silam
menamatkan pendidikan di perguruan tinggi swasta ternama di Jepang,
Universitas Sophia, itu melesat saat ia bekerja di sebuah perusahaan swasta
yang bergerak di bidang distribusi buku.
      Namun, di tempat kerjanya tersebut, wanita molek ini punya cita-cita
baru. Dia tak mau kalah dengan karyawan pria. Malah, tugas-tugas yang
biasanya dikerjakan lawan jenisnya dia lakoni juga. Tapi dalam perjalanan
waktu, Eriko tak mampu bertahan. "Saya sadar, apabila hamil, saya harus
keluar dari perusahaan," ujarnya.

      Keputusan keluar dari tempat kerja itu agaknya sudah kukuh, meskipun
suami dan bosnya tak keberatan dia terus bekerja. Hukum di Jepang yang mulai
diberlakukan pada 1992 pun membolehkan seorang wanita cuti setahun dan bisa
diperpanjang tiga tahun bila hamil dan melahirkan. Meski begitu, Eriko
merasa tidak enak dengan teman-teman sekerjanya dan tak ingin mengganggu
kerja sama tim. Sebab, pada saat teman-temannya bekerja, Eriko harus
bersenang-senang bersama bayinya di rumah.

      Yang lebih tegas lagi, misalnya, dilakukan Kato Mayumi -bukan nama
sebenarnya. Lulusan fakultas psikologi sebuah universitas di Jepang ini
akhirnya mundur dari pekerjaannya di perusahaan komputer. Sekarang dia
menjadi ibu rumah tangga dan setiap hari mengasuh seorang anak. "Saya telah
belajar di perguruan tinggi dan telah melihat pengaruhnya jika anak tumbuh
tanpa rasa cinta ibunya," katanya, seperti dikutip Majalah Look Japan, edisi
bulan lalu.

      Eriko dan Kato hanyalah sebagian sosok dari sekian banyak wanita
Jepang yang membuat langkah kontroversial, apalagi di tengah alam kemajuan
Jepang. Menurut survei Institut Tenaga Kerja Jepang, kesadaran karier dan
perilaku wanita di Negeri Sakura itu telah berubah. Survei tersebut
melibatkan lebih dari 1.000 wanita yang berusia di bawah 34 tahun dan belum
menikah. Ketika mereka dimintai pendapat soal pekerjaan setelah menikah,
sebanyak 68,7% memilih keluar, dengan alasan untuk melahirkan atau mengasuh
anak-anak.

      Tapi tak sedikit wanita menganggap pernikahan dan kelahiran anak cuma
alasan klise agar bisa keluar dari perusahaan. Banyak di antara mereka yang
cabut dari tempat bekerja karena tak puas dengan sistem yang berlaku di
perusahaan. Menurut hasil survei nasional Badan Perencanaan Ekonomi Jepang
pada tahun lalu, sebanyak 55,3% wanita pekerja mengaku tak menyukai
lingkungan kerja. Angka ini 1,7 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan
jajak pendapat serupa yang diadakan delapan tahum silam.

      Bahkan, jauh sebelumnya, kalangan ibu rumah tangga mengklaim bahwa tak
ada lingkungan yang baik bagi wanita pekerja. Pendapat itu disampaikan 78%
ibu rumah tangga berusia sekitar 20 tahun, dan 74,3% wanita yang berusia
sekitar 30 tahun. Dari studi itu, hanya 16,3% wanita yang menyebut alasannya
keluar lantaran tak tersedianya fasilitas untuk mengasuh anak di tempat
kerja mereka.

      Beberapa penyebab lain yang membuat wanita Jepang tak betah kerja
kantoran, antara lain, posisi dan gajinya dinilai masih rendah ketimbang
pria. Untuk mencapai kedudukan dan gaji yang lebih tinggi, atau minimal
seimbang dengan pria, para wanita harus bekerja lebih lama. Namun, jatah
lembur wanita dibatasi hanya 150 jam per tahun, atau sekitar 30 menit per
hari. "Wanita yang punya anak dan keluar dari pekerjaan tak berniat kembali
bekerja, karena mereka tak punya waktu untuk mendapatkan upah seimbang,"
ujar Kiyoshi Ota, Direktur Divisi Riset Badan Perencanaan Ekonomi Jepang.

      Selain itu, posisi wanita Jepang di kantoran lebih rendah ketimbang
pria. Menurut survei Badan Perencanaan Ekonomi Jepang, hanya 8,2% wanita
Jepang yang menjabat manajer. Sisanya dikuasai pria. Angka itu berselisih
jauh dibandingkan dengan, misalnya, kedudukan wanita pekerja di Amerika
Serikat. Di Negeri Paman Sam itu, persentase wanita yang menembus posisi
manajer mencapai 42,7%. Bahkan, jumlah wanita yang menjadi manajer di Jepang
masih kalah dibandingkan dengan di Hong Kong yang mencapai 18,7%.

      Hasil studi itu didukung Karasawa Akihiro. Manajer perusahaan yang
bergerak di bidang informasi ini mengaku punya banyak pegawai wanita. Ia
menganggap posisi wanita Jepang terjepit. Di satu pihak wanita ingin
meningkatkan karier, sedangkan di lain pihak tradisi dan sistem sosial belum
memungkinkan mereka bisa maju. Dan mereka tetap menginginkan kembali ke
rumah sebagai ibu yang baik apabila sudah punya anak.

      Kondisi ini jelas memprihatinkan. Padahal, seperti dikatakan Direktur
Badan Perencanaan Ekonomi Jepang, Omi Koji, pada abad mendatang banyak
peluang pekerjaan yang beragam dan tersedia bagi wanita, apalagi untuk
negara semaju Jepang. "Kita harus menciptakan masyarakat yang memungkinkan
wanita bisa menunjukkan kemampuannya," ujarnya.

      Aries Kelana, dan Seiichi Okawa (Tokyo)




Kunjungi:
http://www.balita-anda.indoglobal.com
"Untuk mereka yang mendambakan anak balitanya tumbuh sehat & cerdas"

------------------------------------------------------------------------
Berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Berhenti berlangganan, e-mail ke:  [EMAIL PROTECTED]
EMERGENCY ONLY! Jika kesulitan unsubscribe, kirim email ke: 
[EMAIL PROTECTED]
http://pencarian-informasi.or.id/ - Solusi Pencarian Informasi di Internet






Kirim email ke