Mengomentari kisah Sdr Imelda, kebetulan pelanggan perusahaan tempat saya bekerja juga mengalami hal serupa. Malah nasibnya lebih tragis daripada Sdr Imelda, karena dia sudah mentransfer uang tersebut. Baru terjadi, tanggal 10 Nopember. Dan kasiannya lagi, dia belum ijin suaminya untuk mentransfer uang tersebut (dia kena 2,8 juta), mau bikin surprais, katanya. Jadinya dia yang surprais. Modus operandinya, seseorang menelponnya mengaku sebagai Dirut Perusahaan kami, lalu memberi selamat karena dia telah mendapat hadiah mobil (dalam seminggu kami telah menerima 4 aduan, yang 3 selamat karena lapor duluan). Lainnya persis sama dengan kisah Sdr Imelda. Dikasih nomor HP pribadi, juga nomor rekening pribadi. Begitu dia transfer, baru lapor ke perusahaan saya, ya, telanjur basah. Hilanglah uang 2,8 juta. Sampai-sampai dia menangis di depan manajemen kami. Kejadian ini sudah berulang berkali-kali sampai kami pusing dibuatnya. Begitu mulai marak, langsung kami klarifikasi lewat koran lokal dan radio, trus sekitar 4 bulan berhenti. Begitu masyarakat seakan lupa, terus dia marak lagi. Tapi secara logika, yang seperti ini jelas-jelas palsu. Coba kita pikirkan : - Kenapa pemberitahuannya memakai telepon, bukannya surat resmi plus logo, undangan resmi untuk penerimaan hadiah atau pemberitahuan di media masa atau malah didatengi ke rumah. Baru urusan administrasi belakangan. - Kenapa nomor rekeningnya atas nama pribadi, bukan atas nama perusahaan. - Kami pernah iseng-iseng menyelidiki berapa saldo rekening tersebut, ternyata NOL. - Kami juga pernah menyelediki bahwa setelah menerima transfer, nomor rekening tersebut tidak ada, atau dicabut. - Pelaku tidak berani memakai telepon biasa, melainkan memakai HP agar mudah bergerak dan susah dilacak kalau dia mau menghilang lebih gampang. Pernah juga kami menelepon kembali ke no. HP dimaksud, ternyata salah sambung / orang yang dimaksud tidak ada. - Perusahaan penyelenggara undian biasanya akan membuat pemberitahuan yang mudah diverifikasi oleh penerima undian. So, rekans yts, kalau ada peristiwa seperti ini terulang, janganlah sekali-kali menuruti apa kata dia sebelum memverifikasi ke instansi resminya. Ini bisa menimpa siapa saja (korban ada yang petani, dosen, ustadz, pedagang, dll) dan di mana saja, bahkan di kota saya, Jember, yang notabene dibanding Jakarta cuma secuilnya saja. OK, semoga info ini bermanfaat.