Semoga bermanfaat untuk ibu Elida dan ibu Sri Sukarti Regards, <<...>> Ninin Kristanti Network Operation & Maintenance Celullar Telp. 021-5331993/4 Ext. 6418 Fax. 021-5332914 HP. 0816-804942 e-mail: n_kristanti@satelindo <mailto:n_kristanti@satelindo> . co.id -----Original Message----- From: Khoerul Anwar [SMTP:[EMAIL PROTECTED]] <mailto:[SMTP:[EMAIL PROTECTED]]> Sent: Monday, November 29, 1999 3:37 PM To: '[EMAIL PROTECTED]' Subject: [balita-anda] Harapan "Sembuh" bagi Penyandang Autis ( 2 ) Sumber : Kompas (18/7 1999) AUTISME : Harapan "Sembuh" bagi Penyandang Autis AUTISME tergolong sebagai penyakit yang kompleks dan berat, dan karena itu dianggap tak bisa disembuhkan. Kondisi autis pada seseorang akan menetap. Perkembangan otaknya dalam berperilaku (behaviour) akan terhenti pada saat gejala itu pertama kali muncul. Bila tidak mendapat penanganan yang benar, baik melalui terapi perilaku maupun pengobatan, jangan harap ia akan "sembuh" dengan sendirinya. "Saya sulit melukiskan perasaan saya ketika saya dan istri saya menyadari ada kelainan pada putri kami, Patricia," tutur Harry Sugianto (37), warga Solo. "Ketika itu dia baru berumur 18 bulan. Ia mulai menunjukkan gejala tidak mau merespons panggilan mamanya. Tatapan matanya selalu menghindar, dan seterusnya. Setelah membaca berbagai informasi, wah, ketahuan anak saya termasuk autis." Ia lalu berusaha memeriksakan ke dokter anak, ke psikiater, dan sebagainya. Tetapi tak ada perkembangan yang berarti. Upaya lewat paranormal pun dilakukan, namun hasilnya nol. Ia mendengar tentang klinik terapi autisme di Semarang, cabang dari Surabaya. Harry kemudian mengirim anaknya untuk mengikuti terapi pelatihan di klinik Yayasan Agca Cabang Semarang. Ia harus melajo (ulang-alik) Solo-Semarang setiap hari. "Yah, demi anak, apa pun kami lakukan. Tetapi lama-kelamaan terasa capek, begitu pula bagi anak kami," tuturnya. Dalam waktu 1,5 bulan, Patricia mengalami perkembangan cukup berarti. Setelah berhenti mengikuti terapi di Semarang, Harry tergugah untuk mengumpulkan orangtua yang senasib di sekitar Kota Solo. Ia berhasil merangkul sebanyak 12 orangtua yang anaknya autis. Lalu mereka bersama-sama mendirikan klinik autis Nathanisa yang merupakan cabang Yayasan Agca Centre. Metode Lovaas Dr Handoyo MPH, pendiri Yayasan Agca Centre, menjelaskan terapi perilaku yang diterapkan di kliniknya menggunakan metode Lovaas (O Ivar Lovaas PhD). Handoyo yang putra bungsunya, Agil (kini 5 tahun) mengidap autisme, terpacu untuk melakukan berbagai upaya penyembuhan bagi anaknya. Agil sempat diupayakan di Yayasan Autisma Asa Jakarta, lalu di Laboratorium Tumbuh-Kembang RS Kandang Menjuangan Jakarta. Setelah membaca berbagai literatur dan metode mengenai autisme, ia memutuskan melatih sendiri putranya dengan metode Lovaas, karena terbukti efektif. Metode ini menuntut ketelatenan dan kesabaran terapis (pelatih). Sistemnya one on one, bahkan untuk terapi pertama dibutuhkan tiga pelatih untuk satu pasien. Selain itu diperlukan alat-alat peraga khusus yang harus diciptakan dan dibuat sendiri. Tahapan pertama pelatihan meliputi latihan kepatuhan serta kontak mata. Kemudian disusul melatih inisiatif, kemampuan bahasa (kognitif) atau berbicara. Lalu latihan kemampuan ekpresif, latihan kemampuan yang disebut preakademik seperti menyangkut konsep warna, bentuk, angka, waktu. Dan terakhir melatih kemampuan bercerita (memory recalling). Tidak ada ukuran, berapa lama seorang anak autis harus menjalani terapi perilaku, mengingat perbedaan kondisi masing-masing. "Terapi terhadap penyandang autisme bisa dikatakan seumur hidup," tuturnya. Seorang anak autis yang mengikuti terapi itu di Surabaya sekarang bisa bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK) untuk anak biasa. Tetapi ia harus tetap didampingi oleh orangtuanya, atau sistem shadowing. Begitupun di waktu senggang, ia harus menjalani terapi termasuk oleh orangtuanya. Istilah "sembuh" bagi seorang autis adalah bila ia sudah mandiri, bisa melakukan sesuatu (pekerjaan) sendiri. Pada kondisi autisme tertentu, bila "tembok" (gangguan) di otak berhasil digempur, ia akan berlaku seperti orang normal. Silakan heran, bila ada seorang penyandang autis berhasil meraih gelar doktor (PhD) di UCLA, Amerika Serikat! Obat secretin Dr Rudy Sutadi DSA menginformasikan, dewasa ini tengah diteliti oleh para ahli di AS tentang pengobatan secretin bagi pengidap autisme. Percobaan pada seorang anak autis, Parker Beck (3,5) tahun 1997 menunjukkan, suntikan secretin membuahkan hasil yang amat mengesankan. Secretin adalah hormon yang dikeluarkan oleh usus halus sebagai respons terhadap makanan. Reseptor secretin juga terdapat pada hipokampus yaitu bagian otak yang berhubungan dengan memori dan belajar. Namun belum ada kesimpulan tentang peran secretin di otak; apakah berperan pada fungsi belajar, bicara, atau kognitif. Sejauh ini belum ada kepastian tentang efektivitas pemberian secretin terhadap penyandang autisme. Dalam beberapa kasus, pemberian secretin punya efek langsung pada sistem saraf pusat. Namun 30 persen penderita autis yang mendapat secretin memberikan respons negatif. Mereka menjadi hiperaktif dan agresif. Padahal harga obat secretin mencapai 200 - 300 dollar AS per sekali suntik. (asa) Albert Einstein pun "Autis" SIAPA yang menyangka, banyak tokoh-tokoh besar yang masa kecilnya diidentifikasi mengidap autisme. Sebut saja nama fisikawan besar Albert Einstein, juga perupa jenius dan akbar Leonardo da Vinci serta Michelangelo. Tetapi gejala autisme pada tokoh-tokoh dunia itu tak lagi terlihat pada masa dewasa. Mereka bahkan menjelma menjadi orang-orang istimewa pada zamannya. Jangan keliru persepsi, "autisme" bukanlah kondisi membanggakan, tetapi justru sebaliknya. Seorang autis berarti abnormal, karena ia mengalami gangguan perkembangan pervasif pada aspek bahasa, kognitif, sosial, dan fungsi adaptif. Bila anak yang normal pada usia 18 bulan sudah bisa mengucapkan sepatah-dua patah kata dan merangkainya, anak autis tidak mampu. Oleh karena itu orangtua harus waspada, bila anaknya sampai usia 2,5 tahun belum bisa bicara. Maklum, usia di bawah tiga tahun merupakan "usia emas" bagi seorang anak untuk menandai apakah ia autis atau tidak. Umumnya, penyandang autis memperlihatkan perilaku yang tidak wajar dibanding anak-anak lain. Anak autis terkesan tidak acuh, menyendiri, individual, pendiam. Mereka umumnya tak mampu bereaksi terhadap sesuatu dalam lingkungannya. Bahkan mereka tak bisa berkomunikasi secara paling sederhana sekalipun, seperti "kontak mata" dengan orangtuanya, orang yang paling dekat secara emosional. Sebagian mereka bahkan tak punya memori, tak bisa mengingat apa yang telah terjadi, atau yang dia lakukan sebelumnya. Anak-anak autis hidup dalam dunianya sendiri. Mereka umumnya melakukan gerakan yang sama diulang-ulang, hingga berjam-jam. Atau memperlakukan suatu barang-misalnya mainan mobil-mobilan-tidak pada fungsi yang lazim. *** AUTISME mendapat bahasan secara mendalam dalam Simposium Autisme Masa Anak di Kota Solo, pekan lalu (12/7), yang diadakan dalam pertemuan ilmiah Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia (IDAJI). Tiga pembicara adalah dr Ika Widyawati SpKJA dari Bagian Psikiatri FK-UI Jakarta, dr Rudy Sutadi DSA Wakil Ketua Yayasan Autisma Indonesia, dan Dra Dyah Puspita SPsi, psikolog yang anak lelakinya mengidap autisme. Menurut dr Ika, fenomena autisme relatif baru bagi masyarakat kita. Sayangnya, masih sedikit informasi yang tersebar di masyarakat, padahal populasi penderita autisme diperkirakan amat banyak. Tak ada angka populasi jumlah penderita autisme di Indonesia, mengingat lemahnya sistem pendataan di sini. Tetapi prevalensi autisme di dunia terakhir mencapai 15 sampai 20 per 10.000 kelahiran, atau 0,15 - 0,2 persen. Ini meningkat tajam dibanding 10 tahun lalu yang hanya dua sampai empat per 10.000 kelahiran. Bila merujuk data di atas, di Indonesia akan lahir 6.900 anak penyandang autisme per tahun. Itu mungkin bisa jadi gambaran serius kondisi autisme di masyarakat, bila orangtua tidak waspada. Harus diingat, secara empiris terbukti autisme tidak pandang bulu. Kaya atau miskin, terpelajar atau tidak, semuanya bisa saja terkena autisme. Dan bila tidak secara dini diatasi, kondisi autis itu akan menetap. Dr Handoyo MPH, mantan Direktur RSU Pare (Kediri) yang kini mendirikan Yayasan Agca di Surabaya-yang bergerak dalam klinik pelatihan autisme-bahkan menyebutkan bahwa penyandang autisme yang tidak mendapat penanganan secara dini akan menjadi permanen. "Banyak orangtua tidak tahu anaknya mengidap autisme. Dan bila dibiarkan berlarut akan makin parah, atau menjadi gila autis seperti yang acap kita lihat di jalanan. Itu karena kondisi perkembangan otaknya terhenti, stagnan. Bahkan banyak di antara orangtua yang terpaksa memasung anaknya sendiri karena disangka gila, padahal mengidap autisme," papar Handoyo yang anak bungsunya juga autis. *** DOKTER Ika menjelaskan, autisme adalah kondisi otak yang secara struktural tidak lengkap, atau sebagian sel otaknya tidak berkembang sempurna, ataupun sel-sel otak mengalami kerusakan pada masa perkembangannya. Melalui pemeriksaan dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging) pada penyandang autisme, sekitar 30-50 persen mempunyai kelainan pada serebelum (otak kecil). Penelitian dalam bidang neurologis dan genetika menemukan kerusakan yang khas pada sistem limbik (pusat emosi) yaitu bagian otak yang disebut hipokampus yang berhubungan dengan fungsi belajar dan daya ingat, serta amigdala yang mengendalikan fungsi emosi dan agresi. "Penyandang autis umumnya tak bisa mengendalikan emosinya. Mereka acap kali agresif, atau sebaliknya pasif seolah tak punya emosi," katanya. Dr Rudy Sutadi menyebutkan, kelainan neurobiologis pada otak disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa teori menyebutkan tentang pengaruh obat-obatan tertentu, atau karena benturan pada kandungan. Saat ini belum bisa dipastikan gen mana yang berhubungan dengan autisme. Kemungkinan hal ini melibatkan beberapa gen secara kompleks. "Autisme terbukti bukan kelainan mental. Autisme bukan karena buruknya pengasuhan orangtua, atau faktor psikologis pada masa perkembangan anak," tambah Rudy. Orang sering salah mengira bahwa autisme identik dengan retardasi mental atau idiot. Memang pengidap autisme kadang menunjukkan retardasi mental (75-80 persen), atau kelemahan pada fungsi saraf motorik yang ditunjukkan pada kelemahan otot-otot tertentu. Oleh karena itu, prognosa tentang kelainan tersebut amat penting untuk menentukan langkah-langkah penanganannya. Dr Ika menyebutkan, selain banyak orangtua yang tidak memahami gejala autisme pada anaknya sendiri, kalangan profesional-yakni para dokter, dokter anak, bahkan psikiater-pun banyak yang belum mengerti tentang autisme. Mereka biasanya memberikan prognosa bahwa anak (yang autis) itu hanya mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara. Kadang kala mereka, bahkan, disamakan dengan penyandang retardasi mental. Anak autis pun lantas dimasukkan di sekolah luar biasa (SLB) yang khusus melatih bicara (speech therapy). Tentu saja tidak pas. (asa) Kunjungi: http://www.balita-anda.indoglobal.com <http://www.balita-anda.indoglobal.com> "Untuk mereka yang mendambakan anak balitanya tumbuh sehat & cerdas" -= Dual T3 Webhosting on Dual Pentium III 450 - www.indoglobal.com <http://www.indoglobal.com> =- Etika berinternet, kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] <mailto:[EMAIL PROTECTED]> Berhenti berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] <mailto:[EMAIL PROTECTED]> EMERGENCY ONLY! Jika kesulitan unsubscribe, email: [EMAIL PROTECTED] <mailto:[EMAIL PROTECTED]> Panduan Menulis Email yang Efektif http://hhh.indoglobal.com/email/ <http://hhh.indoglobal.com/email/> http://pencarian-informasi.or.id/ <http://pencarian-informasi.or.id/> - Solusi Pencarian Informasi di Internet Kunjungi: http://www.balita-anda.indoglobal.com "Untuk mereka yang mendambakan anak balitanya tumbuh sehat & cerdas" -=== FREE Handphone @ http://www.indoglobal.com/dedicated.php3 ===- Etika berinternet, kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Berhenti berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] EMERGENCY ONLY! Jika kesulitan unsubscribe, email: [EMAIL PROTECTED]