Rekan2x sekalian, saya ada artikel yg mungkin berguna buat kita semua


______________________________________________________
Balita Kena Flu, Jangan Main-main

Ini peringatan bagi keluarga yang mempunyai balita. Ada baiknya selalu
mewaspadai penyebaran Haemophilus Influenza tipe B (Hib), biang penyebab
utama infeksi bakteri invasif pada anak-anak seluruh dunia.
Bahkan dijelaskan Prof Michael D. Decker dari Vanderbilt University School
of Medicine AS, dalam temu ilmiah "Combination Vaccine In Indonesia year
2000" di Graha Bik. Iptek Dok FK Unair, Sabtu (3/6), serangan Hib ini
termasuk berisiko tinggi membawa kematian balita. Menurut Decker, serangan
Hib di negara-negara belahan utara dan negara tropis memang berbeda. Untuk
negara belahan utara, serangan Hib cenderung pada manusia usia lanjut.
Sedang untuk negara tropis, termasuk Indonesia, Hib menyerang pada anak-anak
(balita), yang biasanya dalam bentuk meningitis (radang otak).
Hal itu didukung hasil penelitian Hardiono Pusponegoro, serta Bradford dan
kawan-kawan.
Dari penelitian itu Hib disebutkan sebagai penyebab utama meningitis bakteri
pada usia 2 bulan hingga 2 tahun. Juga diungkap sekurang-kurangnya 37,8%
meningitis bakteri disebabkan Hib. "Bradford dan kawan-kawan yang juga
melakukan penelitian di Lombok, telah menemukan 4,6% anak sehat berusia
kurang 2 tahun mengandung koloni Hib dinasofaring," ujar Decker.
Penularan Hib tak ubahnya seperti penyakit flu. Di mana bakteri menyebar
melalui air liur penderita yang di bawah angin lalu dihirup calon penderita.
Lalu sejauh mana kerentanan penyebaran Hib pada anak-anak di Indonesia?
Decker memang
tak menyebutkan data, sejauh mana epedemi infeksi Hib yang menjadi penyebab
radang otak pada balita di sini. Hanya saja, Indonesia, yang tentunya sama
dengan negara tropis, termasuk rentan akan penyebaran penyakit berisiko
tinggi membawa kematian itu.
"Yang penting, tindakan kita adalah mengantisipasi secara dini, sehingga
tidak kehilangan kesempatan untuk mencegah sebagian besar serangan penyakit
ini," katanya.

Sama Tingginya
Decker mejelaskan, angka serangan Hib di negara-negera belahan bumi utara
sama tingginya dengan negara-negara tropis. Ini juga berarti serangan Hib di
negara-negara yang sudah tinggi tingkat ekonominya, seperti Swedia, Kanada,
maupun Firlandia, sama tingginya dengan di Indonesia.
"Jadi, status sosial ekonomi tidak melindungi seseorang dari penyakit Hib,
dan semua pasien (masyarakat) berhak mendapatkan perlindungan dari penyakit
itu," ujarnya.
Sementara itu, Dokter Darto Saharso dari Devisi saraf anak lab./SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Unair Surabaya,
mengatakan penyakit radang otak pada balita itu mulai teridentifikasi sejak
1986, dan tiap tahun terjadi lonjakan kasus. Berdasarkan data dari rumah
sakit Dr Soetomo, penyakit radang otak yang disebabkan serangan Hib itu 11%
terhadap anak usia 5 tahun, 27% pada anak 1-4 tahun, dan 62% pada anak 1
bulan hingga 1 tahun.
Dari data di sana juga terlihat tingkat risiko kematian cukup tinggi.
Seperti pada 1997, dari sejumlah kasus, hanya sekitar 17% yang berhasil
diselamatkan tanpa cacat, 28% mengalami cacat, dan sekitar 55% membawa
kematian. "Dari data itu, tentunya menjadi tantangan kita, sejauh mana bisa
menyelamatkan balita dari serangan Hib," ujarnya.
Lalu dengan tindakan apa untuk menangkal serangan Hib itu? Decker maupun
Darto, mengatakan, untuk sementara tindakan orangtua balita yang paling
tepat adalah melakukan preventif melalui imunisasi. Apalagi hasil rekayasa
ilmu kedokteran didukung teknologi medis telah ditemukan vaksin Hib
konjugat. Imunisasi vaksin Hib itu, lanjut Decker, sebaiknya dilakukan pada
balita mulai usia 2 bulan, di mana antibodi maternal sudah tidak ada lagi.
"Menghadapi serangan Hib itu, WHO kini telah merekomendasikan untuk
mempertimbangkan penggunaan vaksin Hib konjugat dalam program imunisasi
nasional bagi negara-negara anggotanya," tegas Decker.
Dalam pertemuan ilmiah membedah fenomena penyakit Hib, diikuti 250 dokter
itu ramai diwarnai tanya jawab. Bahkan dari penjelasan Decker, rupanya masih
ada keraguan sejumlah dokter sehingga mereka lebih memilih menunda pemberian
vaksin Hib hingga bayi berusia enam bulan. Langkah ini lebih untuk
menghindari pemberian suntikan lebih dari dua kali pada balita.
Apakah tindakan ini benar?
Menjawab pertanyaan itu, Decker mengatakan, amat penting memulai seri
pemberian imunisasi pada kunjungan pertama anak untuk mendapatkan. Dengan
kata lain saat memberi suntikan DTP pertama, juga harus mulai memberi
suntikan Hib yang
pertama.  "Risiko terbesar penyakit Hib pada usia dini. Jadi bila menunggu
hingga anak berusia 6 bulan atau lebih berarti kehilangan separo lebih
keuntungan dari vaksin Hib," katanya.
Sekadar diketahui, dalam pengembangan vaksin Hib konjugat itu, salah satunya
hasil produksi Pasteur Merieux Connaught, di mana vaksin Hib yang dihasilkan
mengandung PRP-T, dan khusus pengembangan di sini ditangani PT Aventris
Pasteur. (sab)

Kirim email ke