Forwarded  Message :
-------------------------------


Dear all,
Ini ada kisah sedih tentang kehidupan kita sebagai seorang ibu dan
wanita karir, semoga dapat diambil hikmahnya baik yang sudah berkeluarga 
maupun yang masih single.

Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya. Sebut saja Rani
namanya.  Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki 
idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : 
meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi 
yang akan digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari 
Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip, 
beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan 
pendidikan kedokteran dan berpisah dengan
seluk beluk hukum dan perundangan.  Beruntung pula, Rani mendapat
pendamping yang "setara " dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski 
berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai
staf  Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama 
putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf 
terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya.  Tentunya filosofi 
yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.

Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan
Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang  dari satu kota ke kota lain 
dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya pernah
bertanya , " Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?" Dengan
sigap Rani menjawab : " Saya sudah mempersiapkan segala  sesuatunya. 
Everything is ok."

Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun
lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh 
menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu 
memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang  ibu-bapaknya. 
"Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek 
Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak 
salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil 
dalam bidang akademis dan pekerjaannya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu 
Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka 
belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif.  Lagi-lagi 
bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif 
bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua
orang tuanya  pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif 
selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya 
malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua
orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya 
menginginkan anak seperti Alif.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak 
dimandikan baby-sitternya. "Alif ingin bunda mandikan."  Ujarnya.  Karuan 
saja Rani yang  dari detik ke detik waktunya sangat
diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif 
mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya.

Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan," Bunda, mandikan Alif "
begitu setiap pagi.Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang 
dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.
Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. " Bu dokter, 
Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency".
Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah 
punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya. 
Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor 
barunya,shock  berat. Setibanya di rumah, satu-satunya
keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan,
meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku." Ini bunda, Lif. Bunda
mandikan Alif." Ucapnya lirih,namun teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri 
mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, "Ini sudah 
takdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah 
saatnya, dia pergi juga kan ?". Saya diam saja  endengarkan. "Ini 
konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat.

Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. 
" Aku ibunya !" serunya  kemudian, " Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif. 
Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif".
Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil 
mengais-kais tanah merah

             ***

Sekali lagi, saya tidak ingin membahas  perbedaan sudut pandang pembagian
tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut : " 
Mandikan aku, Bunda ." Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu sampai 
terlambat ?
________________________________________________________________________
Get Your Private, Free E-mail from MSN Hotmail at http://www.hotmail.com


>> www.jajak.com >> Pilih jawabannya dan rebut hadiahnya <<
>> Kirim bunga ke-20 kota di Indonesia? Klik, http://www.indokado.com
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]


















>> www.jajak.com >> Pilih jawabannya dan rebut hadiahnya <<
>> Kirim bunga ke-20 kota di Indonesia? Klik, http://www.indokado.com
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]















Reply via email to