From: Hani, Umi [mailto:[EMAIL PROTECTED]]
Sent: 09 Februari 2001 10:46
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: Perilaku Agresif, Akibat Televisi?
Dari Milis tetangga.....
-----Original Message-----
From: He-Man
[mailto:[EMAIL PROTECTED]]
Sent: Friday, February 09, 2001 10:32 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [keluarga-islami] Perilaku Agresif, Akibat Televisi?
pikiran-rakyat.com
Perilaku Agresif, Akibat Televisi?
SUATU hari, Ny. Karina, salah seorang staf sebuah perguruan
tinggi swasta
(PTS) di Bandung, dibuat kaget. Pasalnya,
si bibi laporan, anak lelaki Ny.
Karina yang baru kelas
2 sekolah dasar "mengancam" kakaknya dengan pisau.
"Awas, ditusuk pake pisau," kata sang pembantu mengutip
kata-kata si kecil.
Ternyata Adit, sang adik, merasa
kesal saat kakaknya terus menggoda dirinya.
Mungkin
ancaman itu tidak sungguh-sungguh, tapi toh hal itu cukup membuat
sang ibu deg-degan.
"Yang benar, Bi? Ah, bukan pisau mungkin, Bibi salah lihat
kali," berondong
Nyonya Ina-- panggilan akrab Karina.
Tapi Bi Ijah bersumpah, ia melihat Adit
mengacungkan
pisau pada kakaknya.
Sebagai seorang dosen Ilmu Komunikasi Ina jadi bertanya-tanya,
apa mungkin
perilaku anaknya itu akibat terlalu sering
menonton televisi yang
menyuguhkan adegan-adegan
kekerasan? Sebab menurut teori yang ia ketahui dan
pelajari, TV selain memberi informasi, menghibur, mendidik juga
bisa
mempengaruhi.
Pikiran tersebut juga menghinggapi benak Drs. Iman, karyawan
sebuah
perusahaan swasta, tatkala melihat kelakuan dua
keponakannya. Kedua
keponakan laki-laki itu seringkali
bercanda di atas tempat tidur, mereka
seolah melakukan
perkelahian dengan saling piting dan menjatuhkan lawan
dengan membanting. "Persis seperti dalam acara Smack down yang
diputar
hampir tengah malam di RCTI," ujarnya.
Terus terang, lanjutnya, ia khawatir para keponakan yang masih
duduk di
kelas 1 dan 2 sekolah dasar ini meniru adegan
kekerasan itu dari televisi.
**
BOLEH jadi bukan hanya Ny. Ina dan Tn. Iman yang khawatir akan
pengaruh
adegan kekerasan dari tabung kaca alias pesawat
televisi. Mungkin masih
banyak orangtua, terutama yang
memiliki anak kecil, merasa takut anaknya
ketularan
"virus" televisi.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Betapa tidak, hampir setiap
hari anak
dikunjungi "tamu"-- terkadang datang secara
kebetulan-- yang "mengajari" dan
memberi contoh mengenai
sesuatu hal. Masih untung jika materi yang
diberikannya
itu mengandung unsur pendidikan, tapi bagaimana jika di
dalamnya tersembunyi hal-hal yang sedikit negatif, katakanlah
adegan
tusuk-menusuk atau banting-membanting. Anak-anak
yang masih dalam taraf
meniru, kemungkinan di satu
ketika akan mencontoh adegan itu. Mereka kan
belum
pandai memfilter mana yang baik dan buruk dilakukan. Anak-anak yang
gemar menonton akan memperhatikan gerak-gerik sang tamu di
layar kaca itu
bukan tidak mungkin menirunya.
Bukan tanpa sebab pula jika televisi dituduh sebagai salah satu
penyebab
agresifitas pada anak-anak. Hasil penelitian
dua psikolog dari Universitas
Michigan Dr. Leonard Eron
dan Dr. Rowell Huesmann pada tahun 1960 dan
sebelas
serta 22 tahun kemudian memperlihatkan betapa dalam pengaruh adegan
kekerasan dari televisi.
Seperti yang dikutip "Kumpulan Artikel Psikologi Anak" Intisari,
cetakan
April 1999, kedua psikolog itu memperlihatkan
hasil penelitian yang
mengagetkan yang dimulai 1960 pada
800 anak sekolah berusia 8 tahun. Betapa
tidak,
anak-anak yang terlalu lama menonton acara kekerasan di televisi
cenderung berperilaku agresif di ruang kelas maupun di tempat
bermain.
Setelah anak-anak itu dimonitor sebelas dan 22 tahun kemudian,
anak-anak
yang sudah remaja (19) dan dewasa (30) itu
jauh lebih agresif. Mereka
membuat masalah-masalah lebih
besar, termasuk kekerasan di dalam rumah
tangga,
pelanggaran lalu lintas, ketimbang rekan mereka yang kurang agresif
karena tidak terlalu banyak menonton adegan kekerasan di
televisi.
Menurut kedua psikolog itu, kendati seorang anak tidak agresif
pada usia 8
tahun, tapi menonton acara kekerasan di TV
dalam jumlah cukup banyak, akan
menyebabkan perilaku
lebih agresif pada usia 19 tahun dibanding dengan
rekan-rekan sebaya yang tidak menyaksikan aksi kekerasan di
televisi.
Dalam kesaksian di depan Kongres pada 1992, Eron dan Huesmann
mengatakan,
kekerasan televisi mempengaruhi remaja dari
segala usia, semua tingkat
sosio-ekonomi dan
intelegensi. "Tidak juga terbatas pada anak-anak yang
memang sudah berwatak agresif, dan terjadi di manapun."
Pendapat itu dikuatkan oleh komentar dosen Fakultas Psikologi
Universitas
Islam Bandung (Unisba) Alva Handayani,
S.PSi. Anak-anak, terutama yang masih
usia sekolah dasar
hingga kira-kira berumur 10 tahun memang suka meniru.
Sebab dilihat dari segi perkembangan kognitifnya, daya pilah/
filter
anak-anak seusia itu belum sempurna. Dengan
begitu, mereka cenderung
menerima mentah-mentah apa yang
dilihatnya.
Perilaku ini akan lebih berkembang tatkala di lingkungan
teman-temannya
muncul anggapan atau penilaian bahwa yang
pintar berantem adalah jagoan.
Maka anak cenderung akan
melakukan sikap agresif, sebab adalah suatu
kebanggaan
jika dia menang dalam berkelahi.
"Lagipula pola penyelesaian dengan perilaku agresif ini lebih
mudah
ketimbang dia harus mikir. Apalagi saat marah
energi seseorang akan lebih
tinggi, maka energi itu
disalurkan melalui perilaku tersebut," katanya.
Namun
demikian, anak yang lebih cerdas akan bisa memilah mana yang sifatnya
realitas dan khayalan.
**
BETAPA berpengaruhnya televisi tak lepas dari fungsi televisi
sebagai media
hiburan dan mempengaruhi, selain sebagai
pemberi informasi dan memberi
pendidikan. Menurut pakar
komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad)
Bandung,
Dr. Deddy Mulyana MA, sejalan dengan perkembangan teknologi dan
perkembangan kreativitas manusia, keempat fungsi itu cenderung melebur
dalam
satu kesatuan. Apalagi, TV pada dasarnya merupakan
media hiburan, sehingga
fungsi-fungsi lainnya kerap
dipadukan dengan unsur hiburan.
Program-program TV telah dapat dikemas semenarik mungkin,
sehingga mampu
memikat dan semakin mempengaruhi
pemirsanya. Bahkan, televisi telah mirip
candu.
Perkembangan-perkembangan tersebut juga membuat fungsi
mempengaruhi yang
dilakukan TV menjadi semakin kuat.
"Saat ini televisi benar-benar bisa
mempengaruhi. Dulu
pun fungsi ini sudah ada, tapi kini bisa sampai
batas-batas yang sangat optimal," ujarnya.
Salah satu program televisi yang menjadi kekhawatiran staf
pengajar Fakultas
Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad dan
Program Pascasarjana Unpad ini, adalah
program untuk
anak-anak. Ia menilai, program yang sebagian besar merupakan
tayangan impor tersebut tidak jarang mengandung nilai-nilai
kekerasan.
Meski demikian, Deddy mengakui, ini merupakan hal yang dilematis
bagi
pengelola televisi siaran. Di satu sisi, mereka
dituntut menjalankan
fungsi-fungsinya secara ideal.
Namun di sisi lain, mereka juga punya
kepentingan
terhadap program-program yang menjadi kegemaran masyarakat,
meski program tersebut minim dengan kandungan informasi dan
pendidikan,
bahkan cenderung tidak mendidik.
Permasalahannya, bagaimana menyeimbangkan agar fungsi hiburan
ini tidak
terlalu dominan. "Media massa memang tidak
bisa hidup tanpa keuntungan, tapi
jangan hal tersebut
dijadikan satu-satunya tujuan. Bagaimanapun, televisi
sebagai media massa punya kaitan dengan urusan pemberdayaan
masyarakat.
Dalam hal ini, dituntut pula peran aktif
masyarakat untuk peduli terhadap
program-program yang
ditayangkan televisi," jelasnya.
Yang terutama harus berperan aktif adalah para pemuka
masyarakat. "Kita
tidak perlu terlalu mengharapkan peran
aktif dari masyarakat umum, karena
mungkin untuk mencari
sesuap nasi pun mereka sudah cukup sibuk," ujarnya.
Deddy mencontohkan, di Kota Chicago, Amerika Serikat, para
orangtua pernah
melakukan aksi membakar alat permainan
yang dinilai akan mengakrabkan
anak-anak pada tindak
kekerasan. "Pembakaran ini tidak dilakukan secara
anarkis. Para orangtua itu membeli mainan tadi dari toko, lalu
membakarnya
sebagai bentuk protes," jelas Deddy yang
baru saja menyelesaikan tugasnya
sebagai peneliti dan
dosen tamu di Northern Illinois University, AS.
Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
agama,
seharusnya memiliki sikap peduli yang lebih
ketimbang mereka di AS. Sikap
kritis ini seharusnya
tidak hanya ditujukan pada televisi saja, tetapi juga
media lainnya, termasuk komik.
Sedangkan Drs. H Asep Saeful Muhtadi, MA (Kabid Pengembangan
Informasi Pusat
Dakwah Islam/Pusdai Jabar, dan dosen di
IAIN SGD Bandung) mengakui TV memang
cenderung memberi
dampak negatif, terutama film-filmnya menyajikan kekerasan
dan pornografi. Media televisi sebenarnya berdampak besar terhadap
pemirsanya yang berasal dari semua lapisan usia. "Semestinya
kita bisa
memanfaatkan televisi untuk sebesar-besarnya
pendidikan masyarakat."
**
MELIHAT besarnya pengaruh adegan kekerasan di televisi menuntut
kita mencari
cara bagaimana mengatasinya, paling tidak
menghindari sesedikit mungkin efek
negatifnya. Haruskah
televisi itu kita buang? Tentu saja tidak, toh TV masih
sangat bermanfaat bagi kita, misalnya saja dia bisa memberikan
informasi-informasi aktual, menayangkan film-film yang
mengandung pendidikan
dan kreativitas, juga
hiburan.
Hanya saja para orangtua dituntut mengawasi dan mendampingi
anak-anaknya
saat menonton televisi. "Orangtua bisa saja
memberikan pelajaran norma saat
anak menonton televisi.
Misalnya ketika ada adegan berantem, anak diingatkan
bahwa berkelahi bukan cara untuk menyelesaikan sesuatu masalah.
Atau
orangtua memberi penjelasan, adegan tersebut
merupakan rekayasa, khayalan,
bukan realitas, dan
sebagainya," saran Alva.
Sementara Asep Saeful Muhtadi menyarankan, untuk mengemas
pesan-pesan--
seperti pesan keagamaan-- bisa disampaikan
lewat film. "Dalam hal ini kita
bisa meminjam teori
belajar sosial dari Bandura. Bandura selaku pencetus
teori itu, menjelaskan proses belajar sosial terjadi dalam empat
tahapan,
yakni proses perhatian, proses pengingatan,
proses reproduksi motoris, dan
proses motivasional.
Setiap saat kita bisa perhatikan berbagai perilaku yang
dapat diteladani, lewat film kita menyaksikan tindakan tokoh utamanya
yang
berakhir dengan kemenangan. Jadi, selayaknya
film-film yang ditampilkan di
televisi itu yang memberi
keteladanan kepada masyarakat. Bukannya kekerasan,
apalagi pornografi."
Adalah tanggungjawab para produser, penyandang dana dan para
aktor dalam
memproduksi suatu film. "Perlu ada
tanggungjawab moral, apakah film yang
diperankan itu
bermakna positif bagi penonton atau tidak. Janganlah terlalu
berpikir pada komersial, sementara dampak buruknya tidak dipikirkan,"
tegas
Asep.
EYP/Erman/Aji
>> kirim cake & bunga ke 20 kota di Indonesia? klik, http://www.indokado.com >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED] Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
>> kirim cake & bunga ke 20 kota di Indonesia? klik, http://www.indokado.com >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED] Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]