Dari Harian Republika
http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=20962&kat_id=10

========================================

Minggu, 11 Maret 2001
Hubungan Vaksin MMR dengan Autisme
Oleh: Dr Rudy Sutadi, SpA

Sebenarnya, tidak diragukan lagi bahwa vaksinasi telah menurunkan angka
kesakitan maupun kematian oleh berbagai penyakit infeksi. Dimulai sejak
Edward Jenner pada tahun 1796 melakukan vaksinasi cacar, kemudian dari waktu
ke waktu ditemukan berbagai vaksin yang ditujukan untuk melawan berbagai
penyakit infeksi.
Saat ini, sebelum anak mencapai usia dua tahun telah diberondong dengan
berbagai jenis vaksinasi, sehingga paling tidak telah mendapat vaksin
sebanyak 13-18 kali. Yaitu BCG, DPT, polio, campak, dan hepatitis B. Juga,
vaksinasi meningitis (HIB) dan MMR.
Hingga kini orangtua hanya percaya begitu saja akan keamanan pemberian
vaksin. Dalamsejarah pemberian vaksin, terbukti bahwa telah banyak terjadi
reaksi buruk (adverse reaction)setelah anak mendapat vaksinasi. Salah
satunya yang diketahui akhir-akhir ini adalah hubungan antara pemberian
vaksin MMR dengan terjadinya autisme.

WABAH AUTISME

Lama sekali, pada suatu kuliah di Fakultas Kedokteran di Harvard University,
dikatakan bahwa bila Anda menemukan satu orang saja penyandang autisme dalam
praktek, itu sudah terlalu banyak. Namun ternyata, dari tahun ke tahun angka
kejadian penyandang baru autisme semakin lama semakin meningkat.
Dari berbagai kepustakaan beberapa tahun yang lalu, jumlah penyandang
autisme diperkirakan hanya sekitar 2-5 per 10.000 kelahiran. Namun kemudian
meningkat menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran. Data terakhir bahkan
menunjukkan peningkatan lagi, yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran atau
1:250 anak, bahkan pada beberapa daerah di Amerika angka ini bisa mencapai 1
dari sekitar 100 anak. Angka sebesar ini sudah dapat dikatakan sebagai
wabah!
Di Indonesia, secara kasar kemungkinan besar terdapat ribuan kasus baru
penyandang autisme di seluruh Indonesia. Dari penelitian diperkirakan dasar
kelainan autisme adalah faktor genetik. Namun sampai saat ini belum pernah
diketahui adanya wabah (epidemi) penyakit genetik. Di samping itu, berbagai
penyakit genetik lain yang telah diketahui, tidak ditemukan peningkatan yang
dramatis seperti autisme ini.
Peningkatan angka autisme juga bukan karena meningkatnya kewaspadaan
masyarakat (awam maupun profesional) serta diagnosis yang lebih baik, sebab
hal yang sama tidak terjadi pada penyakit-penyakit genetik lainnya walaupun
juga mengalami publikasi luas serta cara/perangkat diagnosis yang lebih
baik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tentunya terdapat faktor
lingkungan yang berperan meningkatkan angka kejadian autisme ini, yang
diduga kuat adalah vaksin MMR.
Autisme dapat terlihat sejak usia bayi, tetapi dapat juga gejala-gejala baru
terlihat saat usia 18-24 bulan (late onset autism). Yaitu terjadi kemunduran
pada perkembangannya, bahkan kemampuan yang sudah dimiliki hilang begitu
saja. Ternyata banyak orangtua yang menyadari bahwa late onset autism atau
regresi autistik pada anak mereka terjadi tidak lama setelah divaksinasi
MMR.

FAKTA DAN PENELITIAN

Sejak diperkenalkannya vaksin MMR, maka terlihat bahwa angka kejadian
penyandang baru autisme sangat meningkat. Kejadian ini bukan hanya
berkebetulan (koinsidens), namun benar-benar merupakan hal yang nyata. Di
California misalnya, sejak vaksin MMR diperkenalkan pada tahun 1978, jumlah
penyandang autisme semakin meningkat setiap tahunnya. Yaitu yang biasanya
ditemukan kurang dari 200 pasien baru per tahun, meningkat menjadi hampir
600 orang per tahunnya pada tahun 1990-an.
Begitu juga di Inggris, vaksinasi MMR mulai dilakukan pada tahun 1988, sejak
itu terjadi peningkatan jumlah penyandang baru autisme. Yaitu yang biasanya
kurang dari 250 per tahunnya, terus meningkat sampai hampir 400-an per tahun
pada awal tahun 1990-an, dan hampir 600 pada tahun 1995-1996.
Prof Dr Andrew Wakefield, MD, dari Rumah Sakit Pendidikan Royal Free di
London, pada tahun 1995 menerbitkan hasil penelitiannya mengenai hubungan
antara virus campak (measles) dengan penyakit Crohn yaitu suatu peradangan
usus yang menyebabkan diare kronis. Setelah itu, banyak orangtua penyandang
autisme yang menghubungi Wakefield dan mengemukakan bahwa anak-anak mereka
juga mengalami masalah pencernaan serta perburukan perilaku dan
menghilangnya kemampuan yang sebelumnya telah ada (misalnya bicara) tidak
lama setelah anak-anak tersebut mendapat vaksinasi MMR.
Oleh karena itu Wakefield melakukan penelitian pada 12 anak yang kemudian
dipublikasi di Lancet tahun 1998. Kemudian penelitian dilanjutkan pada 160
anak, terdapat keadaan serta hasil yang sama, yaitu adanya virus campak pada
usus anak-anak penyandang autisme yang sebelumnya tidak mempunyai masalah
sebelum vaksinasi MMR. Penelitian lain di laboratorium-laboratorium Jepang
juga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Wakefield.
Wakefield menyimpulkan bahwa enterokolitis autistik tampaknya merupakan
bagian terpenting pada wabah autisme. Gambaran histologi dan imunologi hasil
biopsi pada enterokolitis autistik ternyata khas dan berbeda dengan penyebab
peradangan usus yang lain.
Dari hasil penelitian Wakefield di atas, diketahui hubungan antara vaksin
MMR dengan autisme yaitu kemudian kaitannya lebih lanjut dengan terjadinya
hiperpermeabilitas (peningkatan permeabilitas) usus, suatu keadaan yang
disebut leaky gut syndrome. Ini merupakan kemungkinan pertama di mana
autisme merupakan akibat tidak langsung dari vaksin MMR.
Sedangkan akibat langsung dari MMR yang menyebabkan autisme diketahui dari
hasil penelitian Dr Vijendra Singh. Singh menemukan bahwa sampai 80% (dari
400 kasus dan kontrol) anak-anak autistik memiliki otoantibodi terhadap
myelin basic protein (MBP) yaitu jaket yang menyelimuti serabut syaraf,
sehingga serabut syaraf bersangkutan tidak lagi berfungsi karena tidak dapat
menghantarkan sinyal. Dan, semakin banyak jumlah antibodi terhadap virus
campak, semakin banyak pula anti-MBP, sehingga semakin luaslah kerusakan di
otak.
Antibodi tersebut jarang ditemukan pada anak normal/kontrol (0-5%). Singh
menyimpulkan bahwa autisme disebabkan oleh respons otoimun spesifik terhadap
MBP yang menyebabkan kerusakan myelin pada otak yang sedang berkembang.
Akhirnya, dengan adanya kerusakan 'perkabelan' otak maka terjadilah autisme.

KEBINGUNGAN ORANGTUA

Adanya kontroversi tentunya menimbulkan kebingungan di kalangan orangtua.
Yaitu pihak mana yang akan mereka pilih sebagai pegangan, serta akankah
mereka memberikan vaksinasi MMR pada anak mereka. Lembaga resmi milik
pemerintah, tentunya berpikir dengan skala nasional. Sehingga mungkin
terjadinya beberapa kasus autisme pasca MMR dari sekian ribu anak, bagi
mereka mungkin tidak berarti apa-apa. Tetapi lain halnya bila kita berbicara
tentang suatu keluarga. Satu anak saja yang autisme dalam satu keluarga akan
merupakan beban yang sangat berat bagi kedua orangtuanya.
Selain itu, berbagai advocacy groups di Amerika dan Inggris telah menggugat
pemerintah mereka untuk memisahkan fungsi pengawasan/penelitian keamanan
vaksin dari departemen kesehatan, karena adanya perbenturan kepentingan
(conflict of interest) bila badan/orang-orang yang sama harus mempromosikan
vaksin, tetapi juga sekaligus bertugas menyelidiki kemungkinan hubungan
antara vaksin dengan masalah kesehatan. Terbukti dengan adanya manipulasi
data pada penelitian tahun 1999 mengenai hubungan autisme dengan MMR.
Jepang yang merupakan negara maju, telah melarang penggunaan vaksin MMR
sejak tahun 1993. Pada tahun 1999, dipertimbangkan kembali pemberiaan MMR,
tetapi diputuskan bahwa lebih aman untuk tetap melarang MMR, dan tetap
melanjutkan penggunaan vaksinasi yang terpisah waktu pemberiannya antara
measles tersendiri, mumps tersendiri, dan rubella tersendiri, seperti juga
yang dianjurkan oleh Prof Wakefield.
Memang tidak semua anak yang mendapat MMR akan menjadi autisme. Hal ini
berhubungan dengan ada/tidaknya faktor predisposisi. Faktor predisposisi
yang sementara ini telah diketahui adalah bila kemungkinan adanya faktor
genetik (keturunan), yaitu bila di keluarga ada juga yang autistik. Namun,
banyak faktor predisposisi lain yang belum jelas, misalnya ada keluarga yang
retardasi mental, kesulitan/masalah belajar, terlambat bicara, dan lain
sebagainya.
Sedangkan faktor predisposisi yang masih memerlukan penelitian, misalnya
riwayat imunisasi dan reimunisasi ibu dan anak (serokonversi dan kenaikan
titer antibodi), riwayat kesehatan/penyakit ibu dan anak, riwayat gizi anak,
riwayat kehamilan/kelahiran serta perkembangan anak, dan lain sebagainya.
Dan bukan tidak mungkin masih banyak kemungkinan faktor predisposisi yang
belum terdeteksi saat ini. Dokter sepatutnyalah memberikan informasi yang
berimbang akan bahaya dan manfaat vaksinasi MMR ini. Orangtualah yang harus
memutuskan apakah anak mereka akan diberikan vaksinasi MMR atau tidak,
setelah mendapat penerangan yang cukup dan mempertimbangkan risiko serta
manfaatnya.
Adalah sangat mengherankan jika seorang dokter spesialis anak senior yang
dengan lantangnya mengatakan bahwa anaknya diberi vaksinasi MMR tetapi tidak
menjadi autisme. Rupanya dokter yang juga ilmuwan tersebut lupa akan teori
probabilitas dan risiko relatif (relative risk). Bahwa hanya sekian persen
anak yang terpapar oleh vaksin MMR yang akan menjadi autisme. Keadaan ini
sama halnya dengan bahwa tidak semua perokok berat akan mengalami kanker
paru. Hanya orang yang awam sama sekalilah yang boleh dengan bangga, berani,
dan secara lantang mengatakan bahwa dia adalah perokok berat tetapi tidak
terkena kanker paru.

PENUTUP/KESIMPULAN

Adalah terlalu dini dan terlalu berani bila saat ini mengatakan bahwa vaksin
MMR adalah seratus persen aman. Tidak dapat dikesampingkan begitu saja
adanya fakta bahwa banyak anak yang sebelumnya normal, sehat wal afiat,
tidak ada masalah, dan perkembangan sebelumnya normal, tetapi kemudian
mengalami regresi autistik (yaitu kemunduran dalam kemampuannya serta
hilangnya kemampuan yang sebelumnya sudah dimiliki, serta menunjukkan
gejala-gejala autisme).
Oleh karena hal ini masih kontroversi, maka seharusnyalah bersikap waspada,
berhati-hati, dan dilakukan penelitian lebih jauh oleh badan-badan yang
independen, sampai kemudian memang terbukti tidak ada keraguan lagi
benar/tidaknya bahwa memang vaksin MMR menyebabkan autisme.
Wakefield maupun penulis dan berbagai pihak lainnya, tidaklah anti terhadap
vaksinasi. Tetapi vaksinasilah secara aman. Oleh karena di Indonesia tidak
tersedia vaksin terhadap mumps dan rubella yang terpisah, maka penulis
sendiri memilih untuk tidak memberikan vaksin MMR kepada anak kedua penulis
yang saat ini berusia 14 bulan. Sedangkan anak pertama hampir berusia 7
tahun, karena ketidaktahuan penulis waktu itu, pernah mendapat MMR.
Kemudian, anak pertama penulis itu mengalami regresi autistik.
Jika, setelah penelitian ilmiah independen yang seksama, menunjukkan bahwa
regresi autistik merupakan akibat dari vaksinasi MMR, maka dengan penggunaan
vaksin secara bijaksana, kita mempunyai satu cara untuk mencegah autisme,
penyakit yang mengerikan ini. Pemberian vaksin tunggal sendiri-sendiri
dengan waktu terpisah (measles saja tersendiri, mumps saja tersendiri,
rubella saja tersendiri) akan menghindari kemungkinan terjadinya autisme.
Sedangkan bila diberikan bersamaan akan menimbulkan risiko autisme yang
sebenarnya bisa kita cegah.
Pemisahan pemberian vaksinasi tersebut berdasarkan fenomena yang disebut
compound effect (efek gabungan). Di mana dua atau lebih infeksi penyakit
(measles/campak, mumps/gondongan, rubella/campak-Jerman, dan
chickenpox/cacar-air) telah diketahui berhubungan dengan autisme dan regresi
autistik, baik peningkatan risiko maupun beratnya autisme. Secara alamiah,
infeksi/efek gabungan sangat jarang terjadi. Tetapi lain halnya dengan
pemberian polyvalent MMR yang memaparkan 'infeksi' ketiga penyakit tersebut
sekaligus dalam satu saat dengan satu injeksi. Oleh karena itu, sebaiknya
'infeksi-buatan' yang sekaligus tiga ini perlu dicegah.
Dari hasil penelitian Dr Singh, diketahui bahwa titer anti-MBP meningkat
pada 85% anak autistik. Sehingga bila memang vaksin MMR menyebabkan autisme,
maka bila vaksin MMR tidak diberikan dalam sekali suntikan, menurut Dr Singh
bukan tidak mungkin dapat menyelamatkan sekitar 325.000 anak di Amerika
saja! Berapa juta anak (dan keluarganya) seluruhnya yang mungkin dapat
diselamatkan dari autisme di Indonesia dan seluruh dunia? Mari kita tanya
pada rumput yang bergoyang!

Penulis adalah dokter spesialis anak, wakil ketua Yayasan Autisme Indonesia,
dan Yayasan Peduli Autisme.



>> kirim bunga, pesan cake & balon ulangtahun? klik, http://www.indokado.com  
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]




















Kirim email ke