Bincang-bincang soal pembagian tugas suami-isteri,
selalu saja menarik. Sepanjang masa berbagai argumen
dikemukan, tidak sedikit para psikiater dan orang bijak urun
rembug memberikan arahan dan fatwa. Selama itu pula,
sepertinya ada saja fenomena yang pantas untuk
diungkap.

Sebagian wanita menganggap tugas wanita
lebih sebagai manajer di rumahnya tanpa perlu
dipusingkan urusan dapur dan merawat anak yang lebih
pantas dilakukan oleh para bawahan, alias pembantu
ataupun baby-sitter. Peran sosial dan aktualisasi diri
menjadi lebih utama. Di sisi lain, tidak sedikit
wanita yang tetap "teguh" dan bangga dengan kesibukan
seputar urusan dapur dan diaper ini. Mereka cukup puas
dengan imbalan surga untuk jerih payahnya membenamkan
muka di asap "sauna" mazola (minyak goreng) dan
berparfumkan aroma popok bayi.

Saya tidak hendak membahas kekurangan dan kelebihan
kedua sisi ini. Seperti saya tulis di muka, sudah
banyak para psikiater dan orang bijak yang memberikan arahan.
Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat
saya. Sebut saja Rani namanya.

Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan
memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan
konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik
itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang
akan digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami
untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit
Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani
terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih
menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan
seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula,
Rani mendapat pendamping yang "setara " dengan
dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.


Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja
diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan
tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera
mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif"
dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak
didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari
pemilihan nama ini seindah namanya pula.

Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6
bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi
terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu
negara ke negara lain makin meninggi.

Saya pernah bertanya , " Tidakkah si Alif terlalu
kecil untuk ditinggal ?" Dengan sigap Rani menjawab :
" Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya.
Everything is ok." Dan itu betul-betul ia buktikan.
Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak
dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan.
Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan
pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan
kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang
ibu-bapaknya.

" Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti."
Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur
disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah
memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu
yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif
minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan
dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum
memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat
Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat memahami" orang
tuanya.

Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka
merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia
jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu
menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan
menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang
bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif
tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya
menginginkan anak seperti Alif.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah
mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. " Alif
ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan saja Rani yang
dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan,
menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar
Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya.
Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan," Bunda,
mandikan Alif?" begitu setiap pagi. Rani dan suaminya
berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa
peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta
perhatian.

Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby
sitter. " Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang.
Sekarang di Emergency". Setengah terbang, saya pun
ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya
rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil
pemiliknya.

Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu
sedang meresmikan kantor barunya,shock berat.
Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski
setelah tubuh si kecil terbaring kaku. " Ini bunda,
Lif. Bunda mandikan Alif." Ucapnya lirih, namun
teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami
masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku
yang tegar itu berkata, " Ini sudah takdir, iya kan ?
Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau
sudah saatnya, dia pergi juga kan ? ". Saya diam saja
mendengarkan. " Ini konsekuensi dari sebuah pilihan."
lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak.
Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani
tertunduk. " Aku ibunya !" serunya kemudian, "
Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif. Beri
kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan itu
begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil
mengais-kais tanah merah ?..

Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut
pandang pembagian tugas suami isteri. Hanya saja,
sekiranya si kecil kita juga bergelayut : " Mandikan
aku, Bunda ." Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu
sampai terlambat ?


** Seperti yang dituturkan seorang sahabat

Salam hangat




>> Kirim bunga ke kota2 di Indonesia dan mancanegara? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke