Sehatkah Anak TK Belajar Baca?
Tergantung Bagaimana Cara Mengajarnya

TAHUN-TAHUN belakangan ini, banyak SD, khususnya SD favorit, yang menerapkan persyaratan masuk harus bisa baca. Efeknya, banyak TK yang 'memaksa' muridnya belajar baca. Padahal, di TK tidak ada kewajiban anak belajar baca, kecuali hanya ajang sosialisasi prasekolah. Sehatkah situasi semacam ini?

Sekarang, syarat yang dibebankan kepada calon siswa SD itu telah membuat para guru TK (taman kanak-kanak) sibuk. Mereka sedikit 'memaksa' mengajarkan anak didiknya membaca sejak usia TK. Pasalnya, mereka khawatir, lulusan TK-nya tak bisa diterima di SD favorit. Padahal, salah-salah menangani para bocah itu, bisa membuat efek buruk pada perkembangan psikologis mereka.

Sebenarnya, tak sekadar guru TK yang dibikin sibuk. Para orang tua pun turut kelimpungan karena sangat mengharapkan anaknya bisa diterima di SD unggulan. Sering kali, para orang tua inilah yang memaksakan putra-putrinya untuk bisa baca.

Seakan menjadi tuntutan zaman, itulah yang cenderung berkembang belakangan ini.

Menjawab pertanyaan apakah sehat mengajar baca pada anak usia TK, Kepala Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dr Sinto Adelar mengatakan, "Tergantung dari mana melihatnya." Ia menjelaskan, jika anak diharapkan memiliki kemampuan baca dengan cara pemaksaan, jelas itu tidak sehat. Alasannya, pemaksaan terhadap anak akan berdampak negatif.

Namun, Sinto menambahkan anak usia 4-5 tahun belajar membaca juga tak bisa dikatakan sepenuhnya salah. Dosen UI ini mengatakan boleh-boleh saja anak sudah diajarkan membaca sejak usia 4-5 tahun. Yang penting orang tuanya harus melihat bagaimana kemampuan dan minat anak. "Kalau anak itu mampu dan berminat, sama sekali bukan masalah," katanya.

Sinto juga mengingatkan para pengajar atau orang tua yang membimbing anak untuk menjauhkan cara mengajar yang bersifat pemaksaan. Kegiatan belajar anak harus lebih bersifat kegiatan yang menyenangkan. Metode pengajaran membacanya itu tak membebaninya, yang bisa membuat anak tampak murung dan bingung.

Pengenalan huruf sejak usia TK atau bahkan sejak usia 3 tahun, sebenarnya bukan hal aneh. Yang penting, kata Sinto, metode pengajarannya biasanya melalui proses sosialiasi. Artinya, anak mengenal huruf dari benda yang sering dilihat dan ditemui.

Ia mencontohkan, bila anak sering melihat minuman Coca-Cola. Maka orang tua mulai mengenalkan huruf kepada anaknya satu per satu pada kemasan minuman. Kendati sambil bermain, anak mulai mengenal huruf C, O, L, A. Atau, dengan cara menulisan kata 'buku' pada jilid buku. Sehingga anak mengenal benda sambil belajar huruf yang membentuk nama benda tersebut.

Mengajarkan anak melalui metode sosialisasi, kata Sinto, jauh lebih efektif daripada metode pemaksaan. Tapi, sekali lagi Sinto mengingatkan metode apa pun harus dilihat apakah anak memiliki kemampuan dan minat. "Tetap harus dilihat kesediaan si anak sendiri," katanya.

Minat belajar anak untuk membaca tak lepas pula dari kebiasaan orang tuanya. Karena itu, Sinto meminta orang tua untuk membuat lingkungan keluarga yang kondusif dan membangkitkan minat belajar. Orang tua harus banyak memberi suri teladan. Misalnya, para orang tua, baik ibu atau ayahnya, menjadikan membaca koran atau buku sebagai tradisi dalam keluarga. Sehingga, anak berulang-ulang melihat apa yang dilakukan orang tuanya, akhirnya ia akan ikut-ikutan membaca.

Namun, Sinto mengingatkan kepada mereka yang mengajar anak usia 4-5 tahun. Seandainya anak yang sedang belajar membaca sulit mengerti apa yang diajarkan, sebaiknya jangan disalahkan. "Jangan sekali-kali mengatakan 'anak bodoh'. Karena Suasana yang tak menyenangkan akan menghambat minat anak," jelasnya.

Walaupun sangat mengharapkan anaknya mampu membaca sebelum masuk SD, tapi orang tua tetap diminta santai-santai saja dan tak terlalu memaksakan. Bahkan, Sinto menegaskan jangan sekali-kali menyiksa anak agar mau belajar membaca, sehingga ia merasa masa bermainnya telah terampas.

Menurutnya, bagaimanapun anak usia empat tahun umumnya tak bisa duduk konsentrasi selama setengah jam belajar membaca. Anak usia itu bukanlah orang dewasa. Dunia mereka identik dengan dunia bermain. Sehingga belajar pun harus tetap dalam suasana bermain. Kecuali, katanya, anak tersebut memang memiliki minat belajar mengenal huruf dan membaca.

Tak perlu seleksi itu

Di mata psikolog dari UI ini, sistem seleksi melalui kemampuan membaca dinilainya kurang tepat. Sinto mempertanyakan apakah SD yang menerapkan aturan itu memang diperuntukkan hanya bagi anak pintar atau sekolah itu yang membuat anak pintar?

Seharusnya, kata Sinto, sekolah-sekolah itu hanya menilai sejauh mana kesiapan anak memiliki kemampuan membaca. Caranya, dengan menilai kemampuan persepsi visualnya. "Apakah bisa membedakan bentuk? Kalau ia memiliki kemampuan persepsi visual yang bagus, maka ia memiliki kemampuan membaca," jelasnya.

Memang, tes seleksi calon siswa SD di satu sisi positif. Namun, di sisi lain orang tua sering terjebak dengan pemaksaan agar anaknya bisa masuk sekolah favorit. Kalau sudah begini kondisinya, anak pun seakan menjadi bulan-bulanan ambisi! Dan, itu tidak sehat!

Tri Agus
*********
Kunjungi website saya :
http://www.bearbookstore.com/members/triagus/index.html

Kirim email ke