31 Mei 02 11:29 WIB (Astaga.com) Nyonya Bush, Dengan hati pedih Saya membaca komentar Anda tentang para ibu di Palestina beberapa waktu lalu. Sebetulnya Anda tahu persis, para ibu di Palestina hidup penuh kesengsaraan, kedukaan dan ketakutan, karena tak tahu apakah putra dan putri mereka masih bisa makan, apakah mereka ditangkap serdadu Israel dan tak akan kembali? Mereka, Nyonya Bush, ibu-ibu Palestina itu, hidup di bawah pendudukan, kemiskinan, penghinaan luar biasa, dan pembunuhan terhadap anak-anak dan suami-suami mereka. Tapi mereka tetap bertahan! Dan semua kesengsaraan itu, masih lebih baik daripada pengingkaran Anda terhadap perasaan keibuan mereka.
Nyonya Bush, Anda mengatakan: "Betapa mudahnya berempati terhadap keluarga Israel yang khawatir jika anak-anaknya pergi ke toko atau ke tempat bowling." Tapi bagaimana dengan anak-anak Palestina yang kelaparan, dihinakan begitu rupa, atau dibunuh oleh satu-satunya penjajahan yang tersisa di atas Bumi ini? Apakah anak-anak itu tidak pantas mendapatkan sedikit saja cinta, kebahagiaan, dan empati, meskipun mereka berbeda agama dan etnik? Nyonya Bush, bisa-bisanya Anda mengatakan: "Saya tak bisa berempati kepada ibu-ibu Palestina dengan mengirim putrinya untuk meledakkan diri dan orang lain!" Apakah Anda memang tak punya air mata Nyonya Bush? Apakah hati Anda tak tersentuh sedikit saja menyaksikan anak-anak Palestina terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka di Nablus dan Jenin? Atau tidakkah Anda ikut marah, sebagaimana seluruh dunia marah terhadap penentangan Israel kepada masyarakat dunia, dengan mencegah penyidikan terhadap apa yang dikatakan Amnesti Internasional sebagai "bukti-bukti nyata kekejaman perang"? Lantas mengapa 462 serdadu Israel justru bisa berempati terhadap penderitaan rakyat Palestina, tapi Anda tidak bisa? Dengar Nyonya Bush, mereka mengatakan, "Kami tak akan mau lagi dikirim ke wilayah Palestina hanya untuk mengusir, menguasai, menghina, menyiksa dan membuat orang-orang Palestina menderita kelaparan!" Kenapa Anda tidak terdorong untuk berpikir: "Apa yang membuat anak-anak muda itu -para remaja yang seharusnya berhak menikmati masa muda mereka, yang masih begitu khawatir wajahnya ditumbuhi sebuah jerawat- begitu berani memutuskan mati sebagai martir dengan cara begitu menakutkan? Jawabannya Nyonya Bush, tak lain karena penjajahan dan pendudukan kejam selama 35 tahun, penghinaan harga diri dan pengingkaran terhadap hak-hak asasi mereka yang paling mendasar. Nyonya Bush, para ibu Palestina itu, termasuk saya, tak sedikit pun bermaksud memberikan pembenaran atas pembunuhan orang-orang Israel yang tak bersalah. Tapi untuk menghentikan aksi-aksi keputusasaan seperti itu, kita mutlak menjamin keamanan dan hak asasi rakyat Palestina dan juga rakyat Israel. Saya setuju, kita harus mengutuk aksi-aksi bom bunuh diri. Tapi kita pun harus mengutuk aksi pendudukan yang tak berperikemanusiaan. Saya menangis untuk para pembom bunuh diri itu, sebagaimana saya menangis untuk korban-korban mereka yang tak bersalah. Karena, mereka semua tak lebih sebagai korban dari pendudukan ini. Nyonya Bush, Anda tahu bahwa ada jutaan ibu-ibu Palestina di dunia ini, dan hanya ratusan yang anaknya jadi pembom bunuh diri. Saya yakin, sebagai seorang bekas guru dan pendidik, Anda pernah mengajarkan kepada anak-anak murid Anda bahwa menyamaratakan karakter semua orang adalah sebuah hal yang sangat berbahaya. Dan itu terbukti dengan peristiwa pemusnahan massal bangsa Yahudi oleh Nazi. Nyonya Bush, Anda telah melakukan penghakiman kolektif dengan memarginalkan dan merendahkan martabat kemanusiaan para ibu Palestina, hanya gara-gara aksi sekelompok orang-orang yang putus asa itu. Para ibu di Amerika yang pertama kali akan sakit hati, jika sang Ibu Negara Amerika mencoba menghilangkan perasaan mencinta dan mengasihi seorang ibu. Tahukah Anda, Saya pun seorang ibu Amerika-Palestina. Ibu saya adalah seorang ibu Palestina, begitu juga ibunya, dan seterusnya. Baiklah Saya ceritakan pengalaman saya. Saya tahu persis bagaimana kadar kasih sayang seorang ibu Palestina terhadap anak-anak mereka, meski dalam keadaan yang sangat ekstrem sekali pun. Ibu saya, dan sejumlah ibu di kota kami, membawa anak-anak ke sebuah gua di pegunungan pada perang tahun 1967, demi menyelamatkan kami dari pembunuhan massal seperti yang terjadi di Deir Yassin. Ibu saya berjaga sepanjang malam ketika salah seorang adik saya jatuh sakit di dalam goa yang dingin dan lembab. Ibu saya terus menangis tatkala kami telat kembali dari sekolah, khawatir serdadu Israel telah menangkap kami. Di saat masa-masa ujian sekolah, dia bahkan menghentikan semua kegiatan kehidupan sosialnya, hanya untuk bersiaga membuatkan kami teh dan kue-kue selama kami belajar. Ibu Saya mendadani saya dengan pakaian terbaik di saat kami mengunjungi teman kami sesama bangsa Palestina yang beragama Nasrani di hari Natal atau Paskah, sambil membawa berbagai hadiah dan kado buat mereka. Begitu juga, ibu-ibu dari teman-teman Kristen kami, selalu datang mengunjungi kami di hari-hari raya agama Islam. Teman-teman Kristen kami, seringkali kesal kepada ibu-ibu mereka, gara-gara dilarang makan es krim di depan kami pada bulan Ramadhan. Ibu meneladani kami kewajiban menghormati yang lebih tua dan menghargai orang lain. Ibu menunjukkan betapa hormatnya dia pada ibu tirinya yang sudah lumpuh, dengan memandikan dan menyuapinya setiap hari. Ibu menjaga nenek tiri kami sepanjang malam jika nenek tak bisa tidur ketakutan mendengar letusan senapan. Ibu Saya akhirnya menderita depresi yang sangat dalam, kesehatannya anjlok, di saat putrinya yang tertua menikah dan pergi jauh, jauh ke Amerika sini. Ibu pernah bersumpah tak akan pernah membiarkan saya pergi jauh meninggalkannya. Tapi kemudian ia merelakan saya pergi, meski dengan hati hancur, demi melihat saya bisa memperoleh pendidikan yang lebih baik dan hidup dalam lingkungan yang aman. Ibu mengatakan akan menangis setiap hari sejak keberangkatan saya, sampai kami bersatu kembali suatu saat. Nyonya Bush, masa kecil ibu saya penuh penderitaan dan kesengsaraan. Dia dan saudara-saudaranya adalah keluarga pengungsi yang terusir dari rumah mereka di Jaffa pada tahun 1948. Duapuluh tahun kemudian, ibu yang sudah melahirkan kami, membawa kami ke Jaffa, mengetuk pintu rumahnya yang dulu. Ibu hanya ingin menunjukkan kepada kami rumah masa kecilnya. Laki-laki yang membuka pintu rumah tak mengizinkan kami masuk. Tapi sang ibu Israel menyilakan kami. Ibu menangis sesenggukan mengenang masa kecilnya, begitu juga kami. Ketika kami pulang, adik laki-laki saya memetik sebuah jeruk dari pohon yang tumbuh di halaman rumah itu. Laki-laki Israel tadi menghardik adik saya. Tapi ibu saya balas berteriak, "Beraninya Anda menghardik dia hanya karena memetik sebuah jeruk dari pohon yang dulu ditanam oleh kakeknya sendiri?" Wajah sang ibu Yahudi itu begitu malu atas kelakuan suaminya. Toh, dengan mata yang merah hampir menangis dan sebuah anggukan kepala, ibu masih mampu mengucapkan terima kasih atas diizinkannya kami mengunjungi rumah kakek kami sendiri. Saat itu, saya belum mengerti kenapa ibu Israel itu mau mengizinkan orang Arab asing masuk ke kediamannya. Saya pun tak mengerti, mengapa ibu harus berterima kasih padanya, padahal kami mengunjungi rumah kakek kami sendiri. Waktu itu saya belum menjadi seorang ibu, karena itulah saya belum mengerti. Nyonya rumah Yahudi itu, tak bisa berbahasa Arab, dan ibu saya pun tak bisa berbahasa Ibrani. Tapi mereka berbicara dalam "bahasa ibu universal" yang bersumber langsung dari lubuk hati tanpa melalui pita suara dan bibir. Nyonya Bush, kini saya pun berbicara dalam "bahasa ibu universal", dan saya kini mengerti! Nyonya Bush, ibu saya hebat bukan? Dari cerita ini, tentu saja ibu saya tidak termasuk dalam kategori profil ibu yang mengirim anaknya untuk membom bunuh diri, seperti yang ada tuduhkan kepada semua ibu Palestina. Buktinya, saudara laki-laki saya berhasil meraih pendidikan tinggi. Faktanya, Nyonya Bush, ibu saya adalah tipikal kebanyakan ibu-ibu Palestina, para ibu yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kesehatan, pendidikan, dan keselamatan anak-anak mereka. Jika Anda sempat mampir dan mengunjungi mereka, Saya yakin Nyonya Bush, Anda pasti akan menghormati dan menghargai dedikasi dan ketekunan mereka yang begitu menakjubkan, jauh melebihi ibu-ibu di mana pun di atas Bumi ini. (Surat terbuka ini ditulis oleh Nahed Alsous, seorang ibu warga AS berkebangsaan Palestina. Ia ikut mendirikan "Mothers for Peace-International", sebuah koalisi para ibu dari berbagai latar belakang agama, ras, dan kebangsaan, yang bertujuan untuk perdamaian dan keadilan global. Surat ini dimuat lengkap dalam situs Palestine Chronicle, Kamis 30 Mei 2002) ____________ DISCLAIMER : The information contained in this communication is intended solely for the use of the individual or entity to whom it is addressed and others authorized to receive it. It may contain confidential or legally privileged information. If you are not the intended recipient you are hereby notified that any disclosure, copying, distribution or taking any action in reliance on the contents of this information is strictly prohibited and may be unlawful. Unless otherwise specifically stated by the sender, any documents or views presented are solely those of the sender and do not constitute official documents or views of The Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA). If you have received this communication in error, please notify us immediately by responding to this email and then delete it from your system. IBRA is neither liable for the proper and complete transmission of the information contained in this communication nor for any delay in its receipt. >> Kirim bunga ke kota2 di Indonesia dan mancanegara? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]