Halo lagi ...

Terus terang saya jadi penasaran dengan metode Shicida. (Asyik juga jadinya, 
terpancing cari informasi ... )

Dari referensi tsb, tampaknya metoda Shicida BUKAN untuk mengajar membaca sejak kecil. 
Karena tujuannya adalah peningkatan memory - untuk mengoptimalkan proses image dan 
kapasitas imajinatif. Jadi dengan flashcard, anak dilatih mengingat dengan kecepatan 
tinggi. Diharapkan, dengan segudang memori dikepala, anak menjadi kreatif.

Kalau ternyata anak jadi bisa baca sejak kecil, itu bonus. Tapi prinsip metoda ini 
mengajarkan bagaimana agar mampu menghubung-hubungkan (asosiasi) informasi dengan 
cepat dan imaging training.
NB : Sampai dimana pengaruhnya pada tiap orang ? perlu diingat, bahwa kemampuan 
imaging sangat berkaitan dengan modal dasar (IQ) seseorang - terbukti dalam pengalaman 
saya  menterapi klien,-  maksudnya, yang IQnya rata-rata nggak akan bisa disulap jadi 
superior. Atau bila trainingnya lewat hipnosis, bisa lebih baik? - cuma masalahnya, 
berarti harus dihandle yang ahlinya.

Imaging baik maka kecerdasan emosional (EQ) baik ?

Tidak juga. Meskipun dalam metode Shicida diajarkan pula tekhnik pelatihan pernafasan 
atau imaging - yang kadang digunakan pula dalam terapi psikis, bukan berarti anak yang 
dilatih metode ini akan dengan baik membaca situasi dan bereaksi emosional yang 
proporsional. 
Memory, imaging, EQ, memang sama-sama terkait dengan otak kanan, tapi bukan berarti 
sama.
EQ harus dilatih, diasah melalui contoh simulasi atau dongeng atau kisah nabi dan 
feedback dari perbuatan riil anak. Anak yang dilatih tekhnik pernafasan bisa jadi 
lebih mudah diarahkan untuk menggunakannya (secara benar, tentunya) untuk merubah mood 
atau arah berpikirnya. Sekali lagi, untuk ini perlu latihan, waktu dan kesabaran. 
Bukan instant.

Mbak Lilis Suryani tanggal 4 Juni lalu di milis ini juga sudah meringkaskan artikel 
mengenai pengembangan EQ. (waktu itu judul email : DSA di Depok)

Apakah berarti pendidikan a la tradisonal hanya melatih otak kiri ?

Sebenarnya tidak. Kuncinya adalah sikap dan ide dari guru dan ortu. Kalau boleh, saya 
kutip pendapat salah satu peneliti kreativitas selama 20 lebih :
"The best way to encourage creativity in children is to foster curiosity, encourage 
questions and provide challeges in everyday life" - Chen Lung-an.

Kreativitas dapat diajarkan, bukan dalam ruang kelas, tapi dari kehidupan, bagaimana 
membuka mata anak tehadap dunia, membantu mereka melihat berbagai kemungkinan.
- inilah yang saya lihat dalam pola pendidikan balita dan dasar di Jerman. Anak diajak 
ke musium, ke kantor polisi, laboratorium, dll. Hanya saja pihak yang didatangi juga 
sudah siap dengan paket informasi yang memungkinkan anak mencoba, mencari tau dan 
menemukan berbagai hal menarik- sayangnya di kita belom jalan, ya ... Mereka juga 
dipancing untuk berkreasi dengan bahan alam yang ada di sekitarnya, atau memanfaatkan 
kotak atau kemasan bekas produk. 

Satu lagi yang saya liat, prakarya anak benar-benar murni karya mereka, bukan seperti 
di kita yang umumnya para ortu  heboh bila anak mereka dapat tugas atau ortu yang 
menghias sepeda anak untuk lomba sepeda hias waktu tujuhbelasan, .... "soalnya malu 
juga kan kalo bikinan anak jelek ....."

sekedar mengingatkan

Keprihatinan saya terhadap arah/trend pendidikan anak yang belakangan ini seolah 
bertema "cetaklah anak super", bukanlah berarti tidak setuju dengan tekhnik pendidikan 
baru. Tapi maaf, saya "mencium" ambisi ortu yang bisa merusak anak. Kalau ditanya apa 
dasarnya, saya sulit menerangkan. Mungkin ini juga salah satu bentuk imaging - karena 
terbiasa menjadi observer.

Saya berharap balita yang pandai baca tulis pada akhirnya memang gemar membaca 
(moga-moga bukan komik) dan terpancing untuk cari informasi dari berbagai sumber - 
bukan sekedar disuapi.

Semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Benar kan ? Tapi sekali lagi 
saya menghimbau kepada rekan-rekan agar berhati-hati sebelum bertindak. Cobalah untuk 
mencari tau essensi dari sesuatu yang baru secara menyeluruh, jangan sebagian saja. 
Banyak bertanya pada yang pakarnya (tapi hati-hati juga lho dengan muatan sponsor 
penyelenggara acara!)

Bukankah segala sesuatu tergantung dari niat awalnya ? Cuma memang kita harus bertanya 
lagi pada diri sendiri dan mencoba jujur. Tidak mudah lho mencoba melihat sisi gelap 
diri kita.
Bila anda menggunakan metoda baru dengan niat membantu pengembangan anak, lakukanlah. 
tapi ortu harus penuh toleransi dan apresiatif, jangan sampai membunuh sense 
kreatifitas anak.
Ingatlah, usia balita masih pada tahapan konkret, jadi bila anak 1,5 tahun hanya 
tertarik pada onta saat dibacakan kisah nabi, _  adalah hal yang sangat wajar.
Teruslah memberi stimulasi, terutama dari contoh riil sikap dan perilaku kita - pada 
porsi yang wajar - karena itu memang tugas kita sebagai ortu. 

bisa lihat  http://www.sinorama.com.tw/en/1999/199903/803044eb.html



Kirim email ke