Facebook: Radityo Djadjoeri
YM: radityo_dj
Twitter: @mediacare
4sq: http://foursquare.com/user/mediacare

  ----- Original Message ----- 
  From: Item 
  To: jurnalisme ; koran-digi...@googlegroups.com ; ajisaja ; mediacare ; 
bhinneka_tunggal_...@yahoogroups.com ; dpr-indone...@yahoogroups.com 
  Sent: Thursday, August 12, 2010 6:28 AM
  Subject: [mediacare] warung makan murah di surabaya -- masih ada di zaman 
neolib


    

  http://jawapos. co.id/metropolis /index.php? act=detail&nid=149576 


  Selasa, 10 Agustus 2010  
  Mustika Hikmawati Buka Warung Amal untuk Kaum Duafa 

  Makan Secukupnya, Bayar Seikhlasnya 

  Banyak cara untuk berbuat mulia. Salah satunya yang dilakukan Mustika 
Hikmawati. Dia membuka Warung Amal untuk kaum duafa. Cukup bayar Rp 1.500, 
pembeli bisa menikmati sepiring nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, plus air 
minum.

  MIFTAKHUL FAHAM SYAH 

  ---

  MEJA makan ukuran sedang, dilengkapi tempat lauk-pauk dan beberapa kursi 
plastik, ditata rapi di teras rumah berukuran sekitar 4 x 4 meter. Sebuah 
spanduk cantik dibeber di depan teras, bertulisan Warung Amal, Makan 
Secukupnya, Bayar Seikhlasnya. Cukup Bayar Rp 1.500.

  Tentu saja, pemberitahuan itu bisa diibaratkan undangan bagi orang yang 
sehari-hari berlalu lalang di Jalan Darmo Kali, tempat warung tersebut berada. 
Utamanya kalangan tukang becak, pengamen, atau pengangguran.

  Dalam sehari sekitar 70 orang datang ke warung yang buka pukul 09.00 sampai 
14.30 itu. Menunya sederhana: pecel, rawon, sayur lodeh, sayur asem, sup, juga 
soto ayam. "Sekitar pukul 14.00 makanan sudah habis semua," kata Ninis Churati, 
salah seorang di antara empat relawan di warung tersebut.

  Meski sederhana, warung itu cukup dikenal di kalangan kaum duafa. Dengan uang 
Rp 1.500, pengunjung bisa menikmati sepiring makanan nikmat plus segelas air 
putih. "Sebelumnya sekali makan cuma bayar Rp 1.000. Karena harga-harga naik, 
sejak pertengahan Juni lalu, kami ikut naik jadi Rp 1.500,'' ujar Ninis.

  Tetap murah. Sebab, sesuai dengan namanya, warung tersebut didirikan memang 
dengan niat mulia, membantu kaum duafa (tak mampu). "Terlalu berlebihan, Mas, 
kalau saya disebut sebagai orang mulia. Saya hanya mengelola warung," tutur 
Mustika, pengelola Warung Amal. "Merekalah (relawan warung, Red) yang lebih 
mulia," lanjutnya ketika ditemui Jumat sore, 6 Agustus. 

  Perempuan 44 tahun itu mengungkapkan, ide untuk mendirikan warung tersebut 
bermula dari kakaknya, Satria Dharma, yang tinggal di Balikpapan. Pada awal 
tahun ini, dia berbincang dengan kakaknya. Saat itu Satria mengemukakan konsep 
membantu kaum duafa. 

  Sang kakak menyarankan perempuan kelahiran Surabaya tersebut membuka Warung 
Amal seperti yang dijalaninya di Balikpapan. Konsep yang dicetuskan Satria itu 
tentu saja bukan warung komersial yang lebih fokus mencari untung. Namun warung 
makan yang harga menunya terjangkau oleh kaum duafa. Karena itu, harga makanan 
juga harus sesuai dengan kantong mereka tanpa mengurangi kenikmatan rasa dan 
gizinya. 

  "Maka, saya pun membuka warung ini pada Februari lalu," ucap Mustika. "Tapi, 
sekali lagi, saya hanya mengelola. Di lapangan saya dibantu empat ibu (Ninis 
dkk, Red) itu. Sedangkan bahan makanannya di-support kakak," lanjutnya.

  Tiap bulan Satria mengiriminya uang untuk belanja bahan pokok, seperti beras 
dan minyak. Selain dari Satria, Mustika mendapatkan bantuan dari kakaknya yang 
lain, Rohyati Wahyuni, dosen Universitas Airlangga (Unair). 

  Dia tidak hanya membantu keuangan warung, tapi juga menyosialisasikan Warung 
Amal tersebut lewat jejaring sosial untuk menarik para donatur. "Hasilnya 
nyata. Saya sering kali mendapatkan sumbangan dari beberapa pihak," ungkap 
Mustika. 

  Dari sumbangan itulah Mustika menjalankan warungnya. Setiap hari dia tinggal 
belanja keperluan lauk-pauk. Setelah belanja, perempuan yang bekerja di sebuah 
pabrik farmasi tersebut menyerahkan semuanya kepada empat ibu yang menjalankan 
warungnya itu. Selain Ninis, ada Umi, Cholifah, dan Nunuk. 

  Mereka bekerja dengan keikhlasan tinggi, tanpa dibayar serupiah pun. "Wong 
beliau saja mau membantu dengan pengeluaran yang tak sedikit, tenaga dan uang, 
masak saya yang hanya modal tenaga tidak mau, Mas," ujar Ninis. "Istilahnya, 
saya di sini untuk mencari bekal ke akhirat," tambahnya.

  Karena harga di warung itu disesuaikan dengan kantong kaum duafa, tentu saja 
pendapatannya lebih kecil daripada pengeluarannya. Jika semua makanan habis 
(sekitar 70 porsi), warung tersebut hanya mendapatkan Rp 105 ribu. "Hari ini 
(Jumat lalu, Red) kami hanya dapat sekitar Rp 80 ribu," kata Ninis. Pendapatan 
itu tak bisa diukur dengan jumlah pengunjung. ''Sebab, kadang ada yang 
nambah,'' ucapnya.

  Dalam sehari, Warung Amal menyiapkan sekitar 4-5 kg beras. Bahkan, ketika 
harga masih seribuan, mereka sampai menghabiskan beras 7-8 kg per hari. Karena 
beras sudah disuplai dari Satria, Mustika tinggal belanja sayur, ikan, daging, 
dan lauk-pauk lainnya. "Seperti konsep awalnya, kami memang tidak memikirkan 
keuntungan. Kami hanya ingin membantu mereka (kaum duafa)," tegas Mustika.

  Namun, selama bulan Ramadan, kaum duafa yang tidak menjalani ibadah puasa 
harus mencari warung lain. "Selama bulan Ramadan kami tidak buka," terang ibu 
tiga anak itu.

  Di kalangan warga sekitar, keluarga Mustika dikenal suka beramal. Menurut 
Ninis, setiap bulan keluarga tersebut selalu menyantuni warga sekitar. Tak 
kurang dari seratus orang selalu mendapatkan bantuan 5 kg beras, 1 kg gula 
pasir, dan 1 kg minyak goreng. "Beliau (Mustika, Red) sudah begitu baik. Karena 
itu, kami pun berusaha membantunya dalam usaha warung ini, Mas," ungkap Ninis. 
(*/c9/cfu)





  

Kirim email ke