Martin L. Sinaga:
Tingkat Kecemasan Hidup Menentukan Peringkat Keberagamaan
22/11/2005

Hasil survei Pippa Norris dan Ronald Inglehart tentang tingkat
keberagamaan suatu masyarakat mungkin mengejutkan sebagaian orang.
Tesis utama keduanya dalam buku The Sacred and the Secular menyatakan
bahwa kecenderungan umat manusia untuk beragama sangat terkait dengan
tingkat kecemasan hidupnya (existential security). Semakin tinggi
kecemasan hidup, semakin beragama suatu masyarakat. Dan begitulah
sebaliknya. Bagaimana menjelaskan tesis Norris dan Inglehart ini?
Berikut perbincangan Burhanuddin dari Jaringan Islam Liberal (JIL)
dengan Martin L Sinaga, seorang pendeta dan Purek III Sekolah Tinggi
Teologia (STT) Jakarta, Kamis (27/10) lalu.

BURHANUDDIN (JIL): Bung Martin, apa poin yang ingin dijelaskan Pippa
Norris dan Ronald Inglehart dalam buku The Sacred and the Secular yang
mencengangkan itu?

MARTIN SINAGA: Poinnya, dulu pada tahun 1960-1970-an, para intelektual
pernah membangun tesis bahwa nanti agama tidak akan laku dan tidak
akan punya alasan rasional lagi untuk diikuti. Tesis ketika itu
mengatakan, hanya orang-orang bodoh saja yang akan tetap beragama.
Tesis itu tampaknya dibangun atas pinsip optimisme dan rasionalisme
yang memprediksi kalau dunia modern akan menyapu habis agama-agama.
Begitulah kira-kira tesis besar para intelektual di masa itu. Atau
meminjam ungkapan Nietzsche, mereka mendeklarasikan bahwa God is dead
dan kitalah yang telah mebunuhnya.

Bertahun-tahun tesis itu dianut. Tapi pada tahun 1980-an, terjadi
Revolusi Iran. Dan pada tahun-tahun belakangan, ada gerakan
pentakolisasi Amerika Latin. Pada tahun-tahun ketika rezim komunis
berjatuhan, justu agama yang menjadi alternatif. Lantas muncul
pertanyaan: mati atau tidakkah teori sekularisasi yang dianut orang
selama ini?

Sebagian penulis Islam malah mengatakan Tuhan seolah-olah balas
dendam, karena dulu Dia diklaim mati. Dari tahun 1990-an sampai
sekarang, agama justru berjaya. Tapi, buku ini tetap menganjurkan
untuk tidak terlalu optimis dulu akan masa depan agama. Dan jangan
pula mengatakan bahwa Tuhan hidup lagi pada tahun-tahun belakangan
ini. Karena itu, Norris dan Inglehart melakukan survei; suatu riset
yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kematian tuhan, tapi
lebih khusus menyangkut kematian agama.

JIL: Jadi, buku ini hadir untuk mengajak orang tidak terlampau optimis
akan masa depan agama?

Dia mau mengatakan begini: "Oke, dulu kita menebak-nebak bahwa agama
akan berjaya atau malah tidak laku. Tapi sekarang mari kita berhitung
di lapangan!" Dan survei buku ini mengukur dengan ambisius dan dengan
topangan dana yang tiada tara dengan data yang diambil dari World
Values Survey. Survei itu seakan-akan mau mewakili 5 miliar manusia
sebagai populasinya. Dan penulis buku ini mau mengatakan bahwa hasil
kesimpulan mereka memang berdasarkan pemantauan dan perhitungan yang
njlimet, dengan dasar teori yang mereka sebut sebagai "kecemasan
eksistensial" atau tingkat existential security.

Kesimpulannya kira-kira begini: semakin tinggi tingkat kecemasan dan
ketidakpastian suatu masyarakat, semakin religius masyarakat itu. Tapi
bila semua lini kehidupan bisa diukur, masa depan kehidupan bisa
diprediksi, maka agama tidak akan lagi relevan. Dan proposisi itu
mereka buktikan dalam hitungan-hitungan yang mereka lakukan.

Nah, mereka lalu mengatakan, hanya di negara-negara miskinlah agama
akan tetap tumbuh subur, sebab di negara-negara itu, tingkat kecemasan
hidup begitu tinggi, dan karena itu orang membutuhkan agama untuk
membalut luka-luka dan ketidakpastian hidup mereka. Sementara di
negara-negara maju seperti Eropa, di mana kepastian hidup bisa
diprediksi, relevansi agama dalam kehidupan akan menurun dan cenderung
tidak akan lagi mereka bicarakan.

JIL: Sejauh apa tesis ini bisa dibuktikan?

Kalau melihat bagaimana data-data survei ini diambil, tampak sekali
bahwa prosesnya sangat sophisticated. Artinya, sulit buat kita untuk
melakukan bantahan kecuali setelah melakukan survei serupa. Klaimnya
sangat luar biasa. Sampel survei diambil dari 79 negara, selama jangka
waktu 20 tahun. Dari data itu dibuat trend dari bank data yang terkemuka.

Tapi dalam klaim tadi ada juga pengecualian dalam apa yang disebut
sebagai "American exceptionalism" atau perkecualian Amerika Serikat.
Soal perkecualian Amerika ini dikukuhkan juga oleh survei terakhir
Gallup Poll yang menunjukkan tingginya afirmasi masyarakat Amerika
terhadap agama. Bahkan dalam hal-hal yang sangat detil seperti
cerita-cerita gaib, kisah kapal Nuh, soal-soal yang selama ini hanya
menjadi bacaan para pendeta dan romo, ternyata banyak juga yang
dikenal oleh masyarakat Amerika.

JIL: Tapi pertanyaannya: apakan American exceptionalism itu tidak
dapat disebut kritik kedua penulis ini bahwa tesisnya keliru?

Nah dalam soal Amerika ini saya terkaget akan buku Da Vinci Code karya
Dan Brown. Buku itu sangat laku dan mengalahkan penjualan Harry
Potter. Itu menunjukkan bahwa orang Amerika memang masih mengerti
cerita-cerita Kristen, Yesus yang katanya menikahi Maria Magdalena,
dan mengenal persoalan agama secara cukup baik.

Tapi kalau fakta itu dikembalikan ke basis survei buku ini, mereka
akan mengatakan bahwa Amerika itu anomali dan melawan arah. Mereka
makmur, dan hidupnya cukup terprediksi, tapi tetap religius. Ini hanya
satu-satunya negara yang terkecuali dari survei. Mereka tidak berani
memberikan konklusi mengenai fakta ini, tetapi tetap menjelaskan bahwa
Amerika tidak punya prinsip seperti apa yang Eropa punya, yaitu soal
kesejahteraan dalam konsep welfare state, di mana para penganggur saja
tetap dibayar negara. Jadi kalau aku pengangguran, aku tidak akan mati
di Eropa dan bahkah dibayar negara.

Tapi di Amerika, tingkat perbedaan kelas antara yang kaya dan miskin
tinggi sekali. Dan di sana juga tinggi sekali tingkat imigrasinya.
Semua orang tetap berlomba-lomba untuk mendapatkan green card demi
tinggal di Amerika. Tapi di situlah letak penjelasannya. Masuknya
kelompok-kelompok imigran dari Asia, Korea, Amerika Latin, dan
lainnya, konon membawa muatan agama masing-masing. Jadi kalau
dihitung, orang Amerika yang tampaknya religius itu bisa dijelaskan
dengan memakai teori ekonomi agama pada mereka-mereka yang imigran ini.

Di Amerika itu ada hal yang sangat menarik. Para pekerja agama dan
rohani seperti para pendeta, hidupnya sangat tergantung pada dompet
jemaat. Di Eropa, para pendeta hidup dari pajak yang diurus negara,
sehingga mereka bisa tidur dan sudah pasti akan mendapat gaji.
Sementara di Amerika, mereka harus bekerja keras untuk membuat ajaran
agama jadi begitu menarik dan mampu mengumpulkan dana.

Karena itu, pendeta-pendeta di sana konon over supply dalam soal
agama. Artinya, terlalu banyak agama yang mereka pasok pada
masyarakat, sehingga masyarakat begitu keranjingan dalam beragama.

Kalau tidak salah, Morris dan Inglehart juga menggunakan pendekatan
rational choice dalam penelitiannya. Hasilnya, sebenarnya demand side
atau aspek permintaan akan agama itu pada dasarnya tetap, tapi berkat
kreativitas kalangan pemasok (supplier) agama seperti Anda, agama bisa
hidup semarak.

Mungkin itu salah satu faktor yang bisa diukur, karena mental buku ini
memang mengukur agama. Misalnya, penulisnya bertanya soal partisipasi
agama: masih ke gereja atau tidak; masih salat atau tidak; dan
seberapa penting agama bagi para respondennya. Mereka juga bertanya
soal isi agama yang masih mereka percayai, seperti doktrin
surga-neraka, malaikat, Allah, dll. Kalau pertanyaannya sebatas itu,
jawaban orang Amerika tampaknya masih sangat signifikan, entah karena
pasokan dari imam-imam dan pendeta-pendeta itu, atau karena faktor lain.

Buku ini memang hanya mengukur sebatas itu. Namun bagi saya, ada
sesuatu yang agak lain yang perlu dijelaskan dari buku ini, yaitu soal
kultur Amerika sendiri. Negara Amerika memang dibentuk dengan kultur
kerinduan terhadap kebebasan beragama. Jadi orang-orang yang lari dari
Eropa ke Amerika, dulunya memang terobsesi untuk mencari peluang
menikmati agama secara bebas. Ini membentuk karakter kebudayaan
mereka, sehingga agama sulit sekali dicerabut dari mereka. Meski
suplai agama pas-pasan, kalau sudah masuk Amerika, ia akan tetap
menjadi semacam identitas, sehingga agama kuat sekali terasa di sana.

JIL: Tapi kan tetap ada polarisasi antara masyarakat Amerika yang
religius dan kurang religus?

Norris dan Inglehart juga mengutip temuan survei pemilu Amerika tahun
2000 lalu. Dari situ diketahui bahwa yang memilih George W Bush adalah
orang-orang Selatan yang tradisional atau orang-orang yang tergiur
akan politik kanan, seperti isu anti-aborsi, anti-homoseksual,
pro-family values, pro-patriotisme Amerika, dll. Jadi ada belahan
demikian. Sementara, orang-orang di Utara Amerika adalah mereka-mereka
yang hidupnya cenderung individualis, terpelajar, berekonomi mapan,
memilih Al-Gore, dan cenderung pada sesuatu yang bersifat kiri.

Tapi yang juga menarik dari survei ini, karena tingginya aktivitas
agama di belahan Selatan Amerika, masyarakat agama menjadi aktif
sekali dalam membangun asosiasi-asosiasi religius yang punya makna
publik. Misalnya, asosiasi yang merawat panti jompo, memberi makanan
gratis bagi orang yang tidak punya rumah, menolong orang-orang tua dan
anak yatim.

Tapi dengan begitu pula, fundamentalisme kekristenan di sebelah
Selatan Amerika juga lebih hidup dan lebih kentara. Tapi sebenarnya,
secara umum agregat religiusitas orang Amerika memang tetap signifikan.

JIL: Bung Martin, teori dasar yang dikembangkan buku ini adalah soal
keinginan. Artinya, motif orang menganut agama itu lebih karena soal
security. Semakin rendah tingkat kecemasan dalam sebuah negara, maka
masyarakatnya akan semakin tidak beragama, dan begitu juga sebaliknya.
Tapi Anda juga pernah bercerita bahwa tidak sepenuhnya akan terjadi
demikian. Di Jerman yang dikenal sebagai negara dengan tingkat
security bagus, ternyata kecemasan dalam hidup juga banyak.

Benar juga kritik itu terhadap buku ini. Artinya, bagaimana kamu tahu
hakikat kecemasan itu sendiri. Buku ini hanya melihat soal kecemasan
itu pada tingkat nutrisi, pendapatan, dan tingkat human development
index (HDI). Padahal tingkat kecemasan juga bisa lahir dari orang
asing, dan bisa juga bersifat hal-hal yang psikologis. Jadi secara
teoritis, penelitian ini juga tidak terlalu solid, karena
mengasumsikan kecemasan material yang akan menyebabkan orang semakin
beragama. Jadi ada kelemahan teoritik. Walau demikian, penelitian ini
memang mengejutkan kita.

JIL: Kalau alasan dasar orang beragama karena kecemasan sebagaimana
penelitian Norris dan Inglehart, bagaimana menjelaskan orang yang
kaya, dengan tingkat kecemasan hidup yang rendah, tapi gandrung
mengikuti pengajian, seperti gejala sufisme kota di kota?

Buku ini menjelaskan bahwa kecemasan dan ketidakcemasan itu juga
proses sosialisasi sejak kecil. Orang kaya Indonesia bisa saja sangat
cemas sejak kecil; kuatir tetangganya akan merampok karena tetangganya
banyak yang miskin. Jadi orang kaya bisa saja sangat cemas. Kalau di
Eropa, seperti di negara-negara Skandinavia, sejak kecil orang sudah
terbiasa untuk memprediksi hidup. Kalau Anda akan naik kereta, Anda
tahu bahwa kereta akan datang tepat waktu pada jam 1. Jadi sejak
kecil, anak-anak di sana sudah tahu bahwa kereta datang di suatu halte
pada jam 1 tepat.

Jadi kecemasan berkurang, kehidupan lebih terprediksi, dan semua
temuan-temuan teknologi meyakinkan orang bahwa tidak ada hal-hal yang
terlalu mencemaskan keselamatan hidup. Dan bahkan, dalam buku-buku
gereja di Jerman, berita duka atas kematian itu biasanya memuat orang
yang sudah berumur rata-rata 80-90 tahun. Karena itu, sekarang muncul
beban baru dalam bentuk merawat orang tua. Di Belanda, orang-orang
mengusulkan euthanasia saja untuk mengurangi jumlah orang tua.

Jadi secara kualitatif, teori buku ini tidak mau masuk ke soal seperti
itu. Buku ini hanya ingin mengatakan bahwa ada human development index
yang luar biasa di Eropa, dan karena hidup di sana sudah terprediksi,
orang-orang tampaknya tidak relegius lagi.

Kesimpulannya, tingkat kecemasan hidup tidaklah tinggi di Eropa,
sehingga mereka berpendapat bahwa itu satu-satunya yang bisa
menjelaskan kenapa orang Eropa tidak terlalu bersemangat lagi dalam
beragama dan agama cenderung hilang di sana. Dari sudut itu, kita
sulit menyerang tesis ini. []





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/cRr2eB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke